PENYAMBUNG WARTA: Akhlak
Tampilkan postingan dengan label Akhlak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akhlak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Februari 2019

Bolehkah Berdoa Memohon Kematian dalam Islam?



Dalam menjalani bahtera kehidupan, seorang manusia pastinya melewati lika-liku jalan kehidupan, kadang bernasib baik dan kadangan sebaliknya. Jalan baik menghadapi semuanya adalah pasrah dengan ketentuan Allah Swt.

Namun ada kalanya, ketika seseorang berada pada titik jenuh dan lelah dalam menghadapi segala masalah yang menimpanya, tak jarang terbersit dalam hati bahwa jalan keluarnya adalah memohon kepada Allah untuk memutus ajalnya. Lantas apakah boleh berdoa memohon kematian?

Dalam kitab hadits Sunan An-Nasâi tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas RA:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَا لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan mati sebab kesengsaraan yang menimpanya,” (HR An-Nasâ`i).

Hadits di atas menunjukkan suatu larangan akan meminta kematian karena kesengsaraan yang menimpanya, seakan-akan menunjukkan kejenuhannya dalam menerima takdir Allah SWT. Padahal jika ia mampu menghadapinya, maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala.

Namun ada pengecualian, sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Sindi dalam Hâsyiyah Sunan An-Nasâi:

وَلَا يُكْرَهُ التَّمَنِّي لِخَوْفٍ فِي دِيْنِهِ مِنْ فَسَادٍ

Artinya, “Dan tidak makruh meminta mati karena takut agamnya rusak,” (Lihat Syekh Abul Hasan As-Sindi, Hâsyiyatus Sindi ‘alân Nasâ`i, [Maktabah al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah], juz IV, hal 2).

Meski demikian ketika seseorang melakukan kemaksiatan dan dosa, hingga putus harapan dari ampunan Allah SWT dan terbersit dalam benaknya bahwa kematian adalah satu-satunya jalan keluar agar tidak berbuat dosa lagi bukanlah suatu hal yang baik.

Nabi SAW bersabda:

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْمَوْتَ، إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا، وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ

Artinya, “Janganlah salah seorang dari kalian berharap untuk mati, ada kalanya ia seorang yang baik, barang kali kebaikannya akan bertambah, dan ada kalanya dia adalah orang yang berbuat keburukan, barang kali ia akan bertobat dari kesalahannya,” (HR An-Nasâ`i).

Syekh Abul Hasan As-Sindi menjelaskan hadits di atas dalam Hâsyiyah-nya:

اما يكون محسنا فليس له أن يتمنى فإنه لعله يزداد خيرا بالحياة وأما مسيئا فكذلك ليس له أن يتمنى فإنه لعله أن يستعتب أي يرجع عن الإساءة ويطلب رضا الله تعالى بالتوبة

Artinya, “Ada kalanya dia adalah seorang yang berbuat baik, maka tidak berhak baginya berharap untuk mati, barang kali kebaikannya akan bertambah jika ia hidup, dan ada kalanya dia orang yang berbuat keburukan, begitu pula tidak berhak baginya berharap untuk mati, barang kali ia tobat atau berhenti dari perbuatan buruk itu dan meminta keridhaan Allah SWT dengan bertobat,” (Lihat Syekh Abul Hasan As-Sindi, Hâsyiyatus Sindi ‘alân Nasâ`i, [Maktabah al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah], juz IV, hal 2).

Berharap mati memang tidak boleh, apalagi disebabkan oleh kesengsaraan yang menimpa kita, karena kita tidak tahu apakah kematian ketika itu adalah hal baik atau buruk untuk kita. Maka dari itu, Nabi menganjurkan agar tidak berdoa meminta kematian, namun berdoalah memita kebaikan seperti doa berikut ini:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

Artinya, “Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku, dan wafatkanlah aku selama wafat itu baik bagiku,” (HR An-Nasâ`i).

Dari penjelasan di atas, hendaknya kita selalu bersabar atas ujian yang menimpa dalam kehidupan kita, barang kali ujian tersebut merupakan ladang pahala bagi kita di akhirat kelak. Wallahu a’lam.


(Ustadz Amien Nurhakim)
sumber NU Online

Minggu, 08 Oktober 2017

HUKUM MAKAN DI DALAM MASJID


Dalam islam, fungsi masjid tidak hanya untuk shalat atau I’tikaf. Dulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan banyak aktivitas bersama para sahabatnya di masjid. beliau mengajar di masjid, menyiapkan pasukan di masjid, mendengarkan obrolan dan syair mereka di masjid. Hanya saja, mereka senantiasa menjaga kehormatan masjid, dengan tidak mengangkat suara di masjid.
Di sana ada beberapa perbuatan yang dilarang untuk dilakukan di masjid, seperti jual beli, atau mengumumkan barang hilang. Karena perbuatan ini bertentangan dengan kehormatan masjid.

Makan minum dan tidur, selama tidak dijadikan kebiasaan, termasuk kegiatan yang boleh dilakukan di masjid. Karena tidak bertentangan dengan kehormatan masjid. Seperti yang  dilakukan ketika I’tikaf.
Sahabat Abdullah bin Harits az-Zubaidi mengatakan,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ

Di zaman Nabi Kami makan roti dan daging di dalam masjid. (HR. Ibnu Majah 3425, dan dishahihkan al-Albani)
An-Nawawi mengatakan,
قال الشافعي والأصحاب: يجوز للمعتكف وغيره أن يأكل في المسجد ويشرب ويضع المائدة، ويغسل يده بحيث لا يتأذى بغسالته أحد، وإن غسلها في الطست فهو أفضل، …. قال أصحابنا: ويستحب للآكل أن يضع سفرة ونحوها ليكون أنظف للمسجد وأصون
As-Syafi’i dan para ulama syafi’iyah mengatakan, boleh bagi orang yang I’tikaf atau yang lainnya untuk makan, minum, dan membawa makanan di masjid. Demikian pula cuci tangan di masjid, selama kotorannya tidak mengganggu orang lain. Jika cuci tangan dilakukan di wadah, itu lebih bagus…. Para ulama syafi’iyah  mengatakan, “Dianjurkan bagi orang yang makan untuk memasang alas atau semacamnya agar lebih menjaga kebersihan masjid.” (al-Majmu’, 6/534).
Keterangan yang lain disampaikan oleh Syaikhul Islam. Beliau memberikan batasan,

إن الأكل والنوم في المسجد لا بأس به ما لم يتخذ عادة

Makan dan tidur di masjid diperbolehkan, selama tidak dijadikan kebiasaan. (al-Fatawa al-Mishriyah)

Bagaimana Jika itu Mengotori Majid?

Jika ada kegiatan yang menyebabkan masjid menjadi kotor, maka kaffarahnya (penebusnya) adalah dengan membersihkannya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبُصَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

Meludah di masjid adalah kesalahan, kaffarahnya adalah menguburnya. (HR. Ahmad 13112, Nasai
 731, dan dishahihkan al-Albani)
Bagaimana Jika Ada Takmir yang Melarang?

Jika takmir membuat aturan, dilarang makan di masjid, maka jamaah wajib untuk mentaatinya. Karena aturan ini menjadi syarat bagi siapa saja yang mampir di masjid ini. Sehingga jamaah wajib menghargainya, terlepas dari latar belakang apapun pelarangan ini.
Dan tentu saja, takmir melarang ini untuk kemaslahatan masjid dan jamaah. Sebagai penggantinya, jamaah bisa makan di serambi atau di luar ruangan.
Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits 
disalin dari konsultasisyariah

Rabu, 13 September 2017

LARANGAN DAN BAHAYA SIKAP SOMBONG (TAKABUR)

SOMBONG atau takabur secara bahasa artinya membanggakan diri.

Dalam Kamus Bahasa disebutkan, takabur adalah merasa diri mulia (merasa hebat, merasa pandai, dsb); dama dengan pengertian angkuh dan sombong.

Sombong artinya menghargai diri secara berlebihan; sama dengan congkak dan pongah.
Menurut istilah, takabur atau sombong adalah sikap berbangga diri dengan beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang paling hebat dan benar dibandingkan dengan orang lain.


Dalam Islam, takabur adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)

Dosa Pertama & Sifat Iblis

Takabur adalah dosa pertama yang dilakukan iblis.

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)

Karenanya, Islam melarang umatnya bersikap sombong.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS An Nisa: 36)

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18) 

Hadits tentang Kesombongan (Takabur)

Banyak sekali hadits Nabi Muhammad Saw tentang sombong, di antaranya terdapat dalam Shahihain (Kitab Bukhari Muslim) sebagai berikut:
  1. Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. (HR. Muslim)
  2. Barangsiapa memanjangkan pakaiannya (sehingga menyeret di tanah) karena kesombongannya maka Allah tidak akan memandangnya kelak pada hari kiamat. (HR. Bukhari dan Muslim)
  3. Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya. (HR. Muslim)
  4. Selagi orang berjalan dan merasa bangga dengan tutup kepala dan kedua baju rangkapnya maka tiba-tiba dia dibenamkan ke dalam tanah lalu dia bergelimang di dalam tanah sampai hari kiamat. (HR. Muslim)

Kitab-kitab hadits lain juga banyak memuat tentang larangan dan bahaya sikap sombong, di antaranya:

"Ada tiga perkara yang membinasakan yaitu hawa nafsu yang dituruti, kekikiran yang dipatuhi, dan seorang yang membanggakan dirinya sendiri" (HR. Ath-Thabrani dan Anas)

"Barangsiapa membanggakan dirinya sendiri dan berjalan dengan angkuh maka dia akan menghadap Allah dan Allah murka kepadanya" (HR. Ahmad).

Semoga kita dijauhkan dari sikap sombong, takabur, menolak kebenaran, dan merendahkan orang lain. Amin...! 


Selasa, 12 September 2017

TAFSIR QS AN-NAJM:32 - JANGAN MERASA DIRIMU SUCI


JANGAN sok suci! Jangan sok ngerasa benar lantas mencela atau memaki dan menyalahkan orang lain! Begitu kira-kira pesan yang dikandung penggalan QS An-Najm:32. 

Jangan merasa diri bersih dan hebat. Hanya Allah SWT Yang Mahatahu kadar keimanan, ketakwaan, dan amal saleh kita.

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

"Maka janganlah kamu merasa dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa." (QS. An-Najm : 32).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: "Jangan kalian puji diri kalian (membanggakan diri) dan bersyukur pada diri kalian serta menyanjung-nyanjung amalan kalian.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ketika Rasulullah saw. sedang shalat, lewatlah beberapa orang di hadapan beliau dengan bersikap sombong. Ayat ini (An-Najm: 59-62) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, sebagai teguran kepada orang-orang yang bersikap demikian. 

Media Sosial merupakan godaan terbesar saat ini untuk melaksanakan perintah Allah SWT tersebut. Membanggakan diri, menyanjung amal, atau pamer kebaikan dan kesuksesan menjadi fenomena di media sosial.

Narsis dan selfie di Media Sosial Suburkan Ujub dan Riya. Muslim yang baik tidak akan memamerkan amal kebaikan di medsos.

Semoga Allah SWT memberi kita kekuatan untuk tidak 'ujub, takabur, dan merasa suci. Amin...! Wallahu a'lam bish-shawabi.

sumber: risalahislam.

Senin, 21 Agustus 2017

KATAKAN ‘TIDAK’ PADA SETAN



Di sudut-sudut kampung penulis, terpampang tulisan dalam bentuk spanduk yang berbunyi: “kawasan bebas pekat”. Sebuah tulisan yang mengisyaratkan bahwa seluruh penduduk kampung diimbau untuk tidak melakukan tindakan apa pun yang bermakna maksiat, yang dikenal dalam khazanah budaya Jawa dengan sebutan “mo limo”, singkatan dari “maling, madat, minum, madon lan main”. Kurang lebih dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan dengan sikap “antipencurian, antirokok (candu), antiminuman keras, antiprostitusi dan antiperjudian” dalam segala bentuk derivasinya. Atau di kampus, salah satu sudut kampus penulis, terpampang sebuah spanduk berukuran besar bertuliskan: “say no to drug”. Sebuah sikap yang memerlukan komitmen tinggi dari seluruh komunitas yang berada pada kawasan tersebut.

Kalau di kampung dan kampus penulis, orang begitu apresiatif terhadap pesan moral pada spanduk itu, kenapa masih banyak orang yang masih belum paham terhadap imbauan para ulama dan tokoh masyarakat untuk tidak bersikap toleran terhadap segala sesuatu yang memang tidak selayaknya disikapi dengan (sikap) “tasamuh?” Apakah belum saatnya umat ini menyatakan “tidak” terhadap sesuatu yang harus disikapi dengan sikap “tidak”?. Dan bahkan pertanyaan radikalnya: “Apakah umat ini boleh dilarang untuk menyatakan yang haram adalah haram, dan yang halal adalah halal?”, padahal Rasulullah saw, dalam Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dari (sahabat) An-Nu’man bin Basyir, pernah menyatakan: “innal halâla bayyin, wa innal harama bayyin …” (yang halal dan yang haram sudah [sangat] ‘jelas’) , dan kita – umat Islam – tinggal menyikapinya dengan tegas, seperti apa yang dinyatakan oleh Allah dalam Qs Al-Baqarah [2]: 208: “… wa lâ tattabi’û khuthuwâtisy syaithân …” (jangan sampai kamu sekalian mengikuti langkah-langkah setan); dan juga bisa kita simak firmanNya dalam Qs Al-Baqarah [2]: 256: “qad tabayyanar rusydu minal ghayyi” (sesungguhnya sudah jelas sesuatu yang benar ketika dikomparasikan dengan sesuatu yang sesat).

Umat ini sebenarnya sudah memiliki standar baku dalam hal yang terkait dengan sikap keberagamaannya. Ada sesuatu yang masuk dalam kategori ‘ats-tsawâbit’ (semua hal yang tak mungkin berubah dan diubah untuk selamanya), yang di dalam istilah ushul fiqihnya dikenal dengan al-Qath’iyyât (sesuatu yang sudah pasti), atau yang juga dikenal dalam studi Hadits dengan sebutan ‘mutâwatir ‘amaliy’ (serangkaian Hadits yang sudah menjadi sesuatu yang diamalkan intisari ajarannya secara kolektif, dan tak pernah dipertanyakan keabsahannya). Seperti: “keabsahan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir”; sebagaimana halnya kewajiban shalat lima waktu yang secara kolektif disepakati dalam bentuk ijma’. Semua itu tak mungkin diusik, apalagi digugat keabsahannya oleh seseorang atau kelompok orang dengan mengatasnamakan “Islam”.
Andaikata ada yang berani mengusik atau menggugat keabsahannya, jangan salahkan bila resistensi atas usikan dan gugatan itu akan menjadi sesuatu yang sulit dibendung. Umat Islam, pada umumnya, akan menjadi ‘gerah’ dan bisa jadi ‘marah’, dan sulit dikendalikan, karena keyakinannya sudah diusik dan digugat oleh orang-orang yang dianggap melawan arus besar pemahaman (dogmatik) mereka.

Penulis –hingga saat ini– masih belum bisa paham, kenapa masih banyak orang, yang dengan lantangnya meneriakkan kata ‘toleransi’ dalam konteks kebebasan dengan mengatasnamakan –misalnya– HAM (Hak Asasi Manusia). Apakah mereka tidak sadar, bahwa di seberang mereka juga ada HAM orang lain yang perlu dilindungi? Lebih jauh lagi penulis juga bertanya: “Apakah hidup ini harus hanya dibekali dengan kesadaran terhadap HAM untuk diri sendiri, tanpa harus ada kesadaran untuk melakukan sejumlah kewajiban dengan konsep KAM (Kewajiban Asasi Manusia), ketika kita sudah berada di ruang publik?” Semestinya, di saat kita merasa terusik ketika ada seseorang tengah melanggar HAM kita, kita pun juga harus tahu bahwa di seberang kita pasti ada sejumlah orang yang akan terusik ketika HAM mereka terlanggar. Ironis, bila ada sejumlah aktivis HAM yang begitu ‘dungu’ untuk memahami konsep HAM secara resiprokal (timbal-balik). Meneriakkan ‘yel-yel’ HAM, tetapi mereka sendiri tidak memahami apa esensi teriakan mereka.

Mencermati fenomena ini, penulis tiba-tiba ingat terhadap pernyataan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyâ ‘Ulûmiddîn, bahwa ada sekelompok orang yang tidak boleh tidak harus kita abaikan, dan sudah saatnya saat ini kita abaikan, termasuk teriakan-teriakannya, yaitu: rajulun lâ yadrî wa lâ yadrî annahu lâ yadrî (seseorang yang tidak tahu dan benar-benar tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu), orang ‘dungu’ yang tak sadar dengan ke’dungu’annya.

Bagi kita yang masih siuman dan sadar-diri untuk ber-Islam, jangan bimbang dan ragu untuk menyatakan bahwa setan adalah setan, dan jangan sampai terkecoh oleh ‘jubah’ mereka yang selalu bisa dipakai dengan penampilan-penampilan kosmetikalnya. Jangan katakan yang ‘halal’ menjadi ‘haram’, dan sebaliknya yang ‘haram’ menjadi ‘halal’. Tunjukkan konsistensi kita dengan sikap istiqamah yang harus kita tanam kokoh di hati kita, agar kita tetap bisa dengan lantang berteriak: “… isyhadû bi annâ muslimûn” (bersaksilah anda semua, bahwa kita adalah orang-orang Islam sejati) Ali Imran [3]: 64, meskipun bisa jadi membawa konsekuensi ‘negatif’, kita akan terpinggirkan karena sikap istiqâmah kita di tengah kerumunan orang-orang yang – dengan ke- ’dungu’annya – tengah menikmati kue-kue kenikmatan duniawi, dengan sejumlah pola budaya ‘korup’ mereka.

Sekali lagi, penulis teriakkan, katakan dengan tegas: “say no to satan” (katakan tidak kepada setan), dengan risiko apa pun! l

MUHSIN HARIYANTO
Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Tidak tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta


Ad Placement