PENYAMBUNG WARTA: Akidah
Tampilkan postingan dengan label Akidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akidah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 September 2017

DARAH HAID MAKANAN JIN?



Benarkah darah haid itu makanannya jin? Sehingga kita tidak boleh membuang bekas darah haid di dalam rumah…

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Berikut beberapa hadis yang menyebutkan makanan bagi jin,

[1] Tulang yang hewannya disembelih atas nama Allah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendakwahi sekelompok jin. Lalu mereka meminta bekal bahan makanan (zad), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِى أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا وَكُلُّ بَعَرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ

Kalian memiliki bahan makanan, di setiap tulang yang hewannya disembelih dengan menyebut nama Allah, maka ketika kalian pegang akan menjadi penuh dengan daging. Sementara kotoran hewan akan menjadi makanan bagi binatang kalian (jin). (HR. Muslim 1035).

Dan untuk makanan berupa daging dari tulang yang dibacakan nama Allah ketika menyembelih hewannya, ini khusus untuk jin muslim.

[2] Makanan yang dikonsumsi manusia.

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لَا يُذْكَرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ

Sesungguhnya setan mereka makan yang tidak diawali dengan bacaan basmalah. (HR. Muslim 5378)

Dalam hadis yang lain, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ

Ketika seseorang masuk ke dalam rumahnya, lalu menyebut nama Allah (membaca basmalah) ketika masuk rumah dan ketika makan, maka setan akan mengatakan, tidak ada tempat menginap bagi kalian dan tidak ada makan malam. (HR. Muslim 5381).

[3] Bahan makanan yang dikonsumsi manusia

Dalil tentang ini adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah ditugasi untuk menjaga makanan zakat fitrah, kemudian selama 3 malam ada jin yang mencuri makanan itu, hingga ditangkap Abu Hurairah. Dan jin itu dibebaskan setelah dia mengajarkan ayat kursi agar dibaca sebelum tidur. (HR. Bukhari 2311).

Apakah darah haid juga termasuk makanan jin?

Kami tidak menjumpai adanya keterangan maupun riwayat yang menyatakan bahwa darah haid adalah makanannya jin. Sementara masalah gaib, pada asalnya manusia tidak tahu, kecuali dia memiliki sumber informasi dari dalil atau peristiwa yang ditampakkan kepadanya. Jika tidak, maka informasinya  tidak diterima.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
diteruskan dari konsultasisyariah

Rabu, 13 September 2017

JANGAN JADIKAN KUBUR SEBAGAI SESEMBAHAN

Banyak di antara kaum muslimin yang menjadikan kubur Nabi sebagai sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berdoa dan melakukan berbagai macam aktivitas ibadah di dekatnya.

Pengagungan yang Melebihi Batas
Masih banyak kita jumpai kaum muslimin yang bersikap berlebih-lebihan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengagungkan Nabi dengan melebihi batas, sampai-sampai mengangkatnya kepada derajat sejajar dengan Allah Ta’ala, yang memiliki sifat-sifat rububiyyah seperti mencipta, mengurus makhluk, mendatangkan manfaat dan menolak mudharat. Sehingga mereka pun banyak yang menujukan doa dan permohonan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang membuat syair, “Semoga keberkahan dan keselamatan dilimpahkan untukmu wahai Rasulullah. Telah sempit tipu dayaku, maka perkenankanlah (hajatku) wahai kekasih Allah.” Inilah bukti keberhasilan setan dalam menggelincirkan manusia dari jalan tauhid yang lurus. Demikianlah sikap berlebih-lebihan mereka, sehingga banyak di antara kaum muslimin yang menjadikan kubur Nabi sebagai sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berdoa dan melakukan berbagai macam aktivitas ibadah di dekatnya.

Makna “Muhammad Rasulullah”

Beriman bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai utusan Allah Ta’ala, adalah dengan membenarkan berita yang beliau sampaikan, menaati apa yang beliau perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan menyembah Allah Ta’ala dengan apa yang beliau syariatkan. Keempat hal itulah yang merupakan bukti kecintaan dan ketaatan kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak sebagaimana kaum Nashrani yang berlebih-lebihan dalam menyanjung Isa ‘alaihissalaam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوْا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

”Janganlah kaliah berlebih-lebihan memuji (menyanjung) diriku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam (Nabi Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah,’Hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari no. 3445).

Maksud berlebih-lebihan dalam memuji adalah tidak menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana orang-orang Nasrani menyembah Isa Ibnu Maryam ‘alaihis salaam sampai terjerumus kepada kesyirikan. Rasulullah tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat serta tidak pula mengetahui hal yang ghaib. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

”Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik (mendatangkan) manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak mudharat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyak-banyaknya, dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al A’raaf [7]: 188).

Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk mengatakan, “Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya.” “Hamba Allah” maksudnya, bahwa kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap beliau, karena beliau adalah hamba dan bukan Rabb (Tuhan). “Rasul-Nya” maksudnya, bahwa beliau adalah hamba yang paling mulia yang Allah Ta’ala pilih sebagai utusannya dan tidak boleh kita dustakan.

Larangan Menjadikan Kubur Nabi sebagai Masjid (baca: tempat beribadah)

Meskipun sudah sedemikian jelas dan gamblang bukti-bukti kebenaran tauhid dan kebatilan syirik, namun banyak di antara kaum muslimin yang melalaikannya dan meremehkannya dengan wujud tidak mau mempelajarinya. Sehingga setan dengan mudah menyesatkan dan mencampakkan mereka ke dalam lembah kesyirikan. Dan di antara sebab terpenting merasuknya kesyirikan ke dalam diri seseorang adalah sikap berlebih-lebihan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shalih lainnya. Mereka menganggap bahwa Nabi adalah adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala, bahkan memiliki kedudukan yang sejajar dengan Allah Ta’ala sehinga boleh menujukan berbagai macam ibadah dan doa kepadanya. Oleh karena itu, mereka pun menjadikan kubur Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesembahan selain Allah Ta’ala. Padahal, terdapat begitu banyak dalil yang menunjukkan keharamannya.

Dalam sebuah hadits dikatakan,

لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ» ، لَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ – أَوْ خُشِيَ – أَنَّ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا

”Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid, (Aisyah berkata), ‘Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburnya akan dijadikan masjid’”  (HR. Bukhari no. 1390, 4441 dan Muslim no. 529).

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum wafat,

ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك

”Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kubur nabi-nabi dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai masjid (tempat ibadah). Tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu dari perbuatan itu.” [HR. Ibnu Abi Syaibah. Syaikh Albani berkata,”Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim” (Tahdziirus Saajid, hal. 22).

Demikianlah sikap Nabi yang sangat keras dalam melarang umatnya untuk menjadikan kubur Nabi sebagai tempat ibadah meskipun ibadah tersebut ikhlas ditujukan kepada Allah Ta’ala. Kalau menjadikan kubur Nabi sebagai tempat ibadah kepada Allah Ta’ala saja sudah dilaknat, lalu bagaimana lagi jika ibadah tersebut ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah karena sangat mengkhawatirkan kuburnya akan dijadikan sebagai sesembahan selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللهم لا تجعل قبري وثنا لعن الله قوما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

”Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala (yang disembah). Allah melaknat orang-orang yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai temnpat ibadah” (HR. Ahmad no. 7358. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Tahdziirus Saajid, hal. 25).

Dan bukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan hal ini adalah inilah yang Rasulullah wasiatkan menjelang beliau wafat. Dan tidaklah seseorang berwasiat tentang sesuatu hal, kecuali hal tersebut adalah perkara yang sangat penting dan harus diperhatikan. Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata, “Tatkala Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika beliau dalam keadaan itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى اليَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

’Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah” (HR. Bukhari no. 435, 3453, 4443, 5815 dan Muslim no. 531).

Nabi menyampaikan larangan lima hari sebelum wafat dan menyampaikan berita laknat Allah ketika hendak wafat. Ini adalah bukti bahwa hal itu sangat diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau sangat khawatir umatnya akan meniru perbuatan Yahudi dan Nasrani tersebut. Namun tampaknya banyak dari umat ini yang tidak menggubris keprihatinan beliau.

Bagaimana Mewujudkan Cinta Kepada Nabi?

Sesungguhnya wujud cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berupa ketaatan kepadanya, yang diekspresikan dalam bentuk berdoa (memohon) kepada Allah Ta’ala semata dan tidak berdoa kepada selain-Nya, meskipun ia seorang Rasul atau wali yang dekat di sisi Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

”Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah” (HR. Tirmidzi no. 2516. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Dan apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dirundung duka cita, maka beliau membaca doa,

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ

”Wahai Dzat yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan” (HR. Tirmidzi no. 3524. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

***

Disempurnakan pada pagi hari, Rotterdam NL 25 Rajab 1438/22 April 2017

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,


Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Selasa, 12 September 2017

UJIAN KAUM MUKMIN & TANTANGAN DAKWAH ISLAM


Orang beriman (Muslim) senantiasa mendapatkan cobaan sebagai ujian akan kesungguhan imannya. Allah SWT akan meninggikan derajat kaum Muslim yang lolos dalam ujian-Nya.

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukumi di antara mereka, ialah ucapan 'kami dengar dan kami patuh'. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS 24:51).

KEPUTUSAN seorang manusia untuk memeluk Islam, menyatakan keimanannya pada Allah SWT sebagai Tuhannya dan meyakini Muhammad Saw sebagai utusan-Nya, merupakan keputusan tepat sekaligus mengandung sejumlah risiko.

Ketika seseorang mengatakan beriman, Allah SWT tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi akan memberinya ujian demi ujian --juga serangkaian hak dan kewajiban sebagai konsekuensi-- untuk mengetahui apakah ia benar-benar beriman atau sebatas pengakuan lisan saja. 

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan 'kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar (imannya) dan orang-orang yang dusta (munafik)" (Q.S. 29:2-3)

Ibarat seorang jejaka yang menyatakan cintanya pada seorang gadis, ia tentu harus membuktikan cintanya itu dengan aksi konkret, sehingga sang gadis benar-benar merasa yakin. Seorang mukmin pun demikian. Ia harus menunjukkannya dengan sikap atau amal, betapa ia benar-benar beriman pada Allah Swt sehingga ia menjadi mukmin sejati dan berhak hidup bahagia dunia-akhirat.

Al-Quran menggambarkan, orang yang menyatakan beriman ibarat melakukan transaksi jual-beli dengan Allah SWT. Orang tadi "membeli" surga dengan jiwa-raganya, atau "menjual" jiwa, raga, dan hartanya pada Allah Swt dengan bayaran keridhaan dan surga-Nya. 

"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberi imbalan surga pada mereka." (Q.S. at-Taubah:111)

“Dan sebagian manusia ada yang menyerahkan diri mereka untuk mendapatkan keridaan Allah...” (Q.S. al-Baqarah:107)

Mukmin yang benar-benar beriman adalah mereka yang siap menyerahkan segala yang ada padanya pada Allah Swt. Ia siap melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pun siap melaksanakan atau menghadapi segala ujian dari-Nya, untuk menunjukkan kesungguhan keimanannya.
Mukmin sejati mempunyai sikap dasar sami'na wa atho'na, kami dengar dan kami patuh.
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukumi di antara mereka, ialah ucapan 'kami dengar dan kami patuh'. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS 24:51).

"Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketentuan akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya (berpaling dari ketentuan itu), maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata" (QS 33:36).

Jenis-Jenis Ujian & Cobaan
1. Ujian Kebaikan & Keburukan, Kesenangan & Kesusahan
Ujian Allah Swt bagi setiap mukmin antara lain berupa kebaikan dan keburukan, kesenangan dan kesusahan (QS. 21:35, 89:15-16)). 

Setiap mukmin sejati akan menghadapi kebaikan dengan bersyukur dan menyikapi keburukan dengan bersabar dan tawakal. Kemudian ujian berupa harta dan diri (QS. 3:186), pangkat atau jabatan (QS. 6:165), dan lainnya. 
Seorang mukmin sejati tidak akan lupa diri dan bersikap takabur ketika mendapatkan kesenangan, kebaikan, harta, dan pangkat. Karena ia menyadari bahwa itu semua adalah ujian Allah Swt.. Artinya, Dia mengujinya apakah kesenangan dan lainnya itu akan disikapi dengan syukur, dipergunakan sesuai garis yang ditentukan-Nya, atau malah kufur dan menyalahgunakannya.
Demikian pula ketika seorang mukmin menghadapi kesusahan, keburukan, atau musibah. Ia akan menyikapinya dengan sabar dan tawakal. Ia sadar bahwa semua itu merupakan ujian dari Allah Swt..

2. Jihad Fi Sabilillah
Setiap mukmin juga harus siap berjihad di jalan Allah Swt. (QS. 9:16), yaitu berjuang dengan mengerahkan segala daya, upaya, harta, dengan pengorbanan jiwa, raga, harta, ilmu, dan segala apa yang dimiliki demi tegaknya syiar Islam. 
Jihad merupakan kunci tegaknya kejayaan Islam. Itulah sebabnya, pihak-pihak yang tidak menghendaki kejayaan Islam terus berupaya memadamkan api semangat jihad di kalangan umat Islam, antara lain dengan mengasosiasikan jihad dengan terorisme atau radikalisme. 
Mereka belum mengerti, atau pura-pura tidak mengerti, bahkan aksi kekerasan yang dilakukan umat Islam merupakan bentuk perlawanan atas kezhaliman yang mereka alami. Hamas dan Jihad Islam di Palestina, misalnya, terpaksa menempuh jalur kekerasan karena untuk menghadapi mesin perang Israel yang menyalak setiap hari.

Setiap mukmin menyadari, ajaran Islam bukan hanya untuk diamalkan, didakwahkan, tetapi juga harus dilindungi atau dijaga kesucian dan keluhurannya. Setiap mukmin tidak akan rela jika ada pihak yang melecehkan Islam, baik melalui penghujatan terhadap Al-Quran, Nabi Muhammad, penistaan masjid, maupun propaganda yang memburukkan citra Islam.

Namun demikian, setiap mukmin pun (harus) menyadari, termasuk pelecehan Islam juga jika wahyu Allah Swt. ini diabaikan dalam kehidupan sehari-hari alias tidak diamalkan.

Tantangan Dakwah
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw yang menghadapi tantangan berat dalam dakwah Islam, mulai fitnah, penghinaan, hingga ancaman pembunuhan, maka saat ini pun aktivis dakwah sudah, sedang, dan akan mengalaminya.

Pemblokiran situs-situs dakwah Islam baru-baru ini oleh pemerintah, merupakan bagian dari tantangan dan ujian dakwah Islam, juga bagian dari ujian keimanan sekaligus risiko perjuangan atau risiko dakwah. 
Kita sangat sadar, belakangan ini para aktivis Islam tengah disorot dan dibidik kaum anti-Islam. Mereka khawatir kekuatan Islam manggung di pentas dunia dan menyingkirkan nila-nilai jahili yang mereka usung.
Kaum mukmin (umat Islam) memang tengah berada dalam ujian besar belakangan ini, akibat kampanye gencar antiterorisme yang dilancarkan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat. Namun sangat jelas, arahnya adalah pelumpuhan kekuatan Islam.

Akhirulkalam
Beratkah menjadi seorang mukmin (muslim)? Tidak, jika keimanan itu ikhlas atau sepenuh hati. Orang beriman sudah menyerahkan sepenuh jiwa-raganya hanya untuk Allah. 

Ya, berat, jika keimanannya setengah hati atau terpaksa. Al-Quran sendiri mensinyalir adanya orang yang beriman setengah hati.

"Dan di antara manusia ada yang mengabdi pada Allah dengan berada di tepi (setengah hati, ragu-ragu). Jika kebaikan menimpanya, ia merasa tenang dan jika ditimpakan padanya kerugian berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan akhirat dan itulah kerugian yang nyata." (QS. Al-Hajj:11). 

Semoga kita, kaum Muslimin-Muslimat di mana pun, mampu mengatasi ujian keimanan dan tantangan dakwah Islam. Allah SWT menilai upaya (ikhtiar) yang kita lakukan, bukan hasi. Hasil, Allah yang menentukan sebab Dia Mahatahu yang terbaik. Wallahu a'lam bish-shawabi. 

sumber: risalahislam

PENGERTIAN TAUHID

Tauhid adalah sikap dasar seorang muslim yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan dipatuhi segara perintah dan larangan-Nya. Tauhid juga menjadikan seorang muslim hanya menjadikan Allah Swt sebagai tujuan.

Secara harfiyah, tauhid artinya “satu”, yakni Tuhan yang satu, tiada Tuhan selain-Nya (keesaan Allah). Tauhid terangkum dalam kalimat tahlil, yakni Laa Ilaaha Illaallaah (tiada Tuhan selain Allah).

Tauhid menjadi inti ajaran agama para nabi dan rasul, sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir, tidak ada lagi nabi/rasul setelahnya.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An-Nahl: 36).

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS Al Anbiyaa’ : 25).

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At Taubah: 31)

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS Az Zumar: 2-3).

 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS Al Bayyinah: 5).

Tauhid adalah penopang utama yang memberikan semangat dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Orang yang bertauhid akan beramal untuk dan hanya karena Allah semata.

Macam-Macam Tauhid
Tauhid terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

1.Tauhid Rububiyyah adalah keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta; bahwa Allah adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka.

 “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1).

2. Tauhid Uluhiyyah adalah keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Qs. Al-Fatihah: 5).

3. Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah keyakinan bahwa hanya Allah yang memiliki nama dan sifat yang sesuai dengan yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan hadits, yakni Asmaul Husna.

 “Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180). Wallahu a’lam. Disarikan dari berbagai sumber.

Jumat, 24 Maret 2017

PROAKTIF MENJEMPUT HIDAYAH



Ketika ajal kematian Abu Thalib sudah sangat dekat, Nabi Muhammad SAW., meminta pamannya itu untuk mengucapkan dua kalimah syahadat.  Abu Jahal dan Abdullah ibn Umayyah yang pada saat itu berada di dekatnya juga bertanya kepada Abu Thalib, apakah engkau membenci agama Abdul Muthallib? Kepada keduanya Abu Thalib menyatakan tetap mengikuti agama Abdul Muthallib. Nabi SAW sangat sedih, dan menjanjikan untuk memintakan ampunan kepada Allah SWT bagi pamannya yang selama ini membela dakwah beliau.

Pada saat itu turunlah ayat: “Seungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang engkau cintai, tetapi Allahlah yang dapat memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Qashash/28:52). Hidayah berarti petunjuk yang dapat “menjinakkan hati” yang tidak beriman kepada Allah lalu menjadi Mukmin melalui proses berislam memang merupakan hak prerogatif Allah. Hidayah yang satu ini memang tidak bisa “dijemput” oleh siapapun.

Oleh karena hidayah itu tidak selamanya berkaitan dengan “perubahan keyakinan” dalam beragama, maka setiap muslim perlu  “menjemput” hidayah-hidayah yang terkait dengan ajaran dan nilai utama bagi kehidupan masa kini dan mendatang. Salah satu  hidayah itu adalah petunjuk untuk menjadi semakin taat dan bertaqwa kepada Allah SWT. Setiap Muslim wajib menjemput berbagai hidayah dari Al-Quran dan As-Sunnah agar tetap berada di jalan yang benar dan lurus.

Setiap Muslim bahkan wajib berdoa untuk meminta hidayah “jalan yang benar dan lurus” setiap kali melaksanakan shalat. “Tunjukkan kami jalan yang benar dan lurus” (QS al-Fatihah/1:6), adalah ayat yang wajib dibaca oleh orang yang shalat. Menurut Sayyid Qutb, penulis tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, doa meminta hidayah “jalan yang benar dan lurus” itu lebih komprehensif daripada doa: Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina azaban nar. Karena baik tidaknya seseorang dalam hidup di dunia maupun di akhirat sangat ditentukan oleh hidayah jalan yang benar dan lurus tersebut. Sedangkan Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar,  memaknai “hidayah berada di jalan lurus” itu adalah ajaran Islam. Artinya, menjemput hidayah berarti berusaha memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara istiqamah (penuh komitmen dan konsistensi, tidak setengah-setengah, dan tidak asal-asalan).

Menjemput hidayah pada dasarnya merupakan proses “imanisasi dan islamisasi diri”. Proses ini menghendaki reformasi iman, ilmu, dan amal. Hidayah tidak akan mengakar kuat dalam diri seseorang jika kadar imannya lemah. Karena iman itu fluktuatif (naik turun) –seperti dikatakan al-Ghazali (w. 1111 M)—maka iman perlu direfresh (disegarkan dan dicerahkan) secara terus-menerus.

Iman dapat dicerahkan dan diaktualisasikan dengan ilmu. Ilmu harus terus dicari dan dikembangkan agar membuahkan amal yang baik dan bermakna, berupa kesalehan personal, sosial, moral, dan kultural. Iman yang dilandasi ilmu (iman ilmiah) dan ilmu yang berakar pada iman yang kokoh (ilmu imani) dapat melahirkan amal yang berdayaguna dan bernilai bagi kemanusiaan.

Karena itu, ketika murid-muridnya “protes” kepada sang guru lantaran sudah jenuh dan tidak dipindah-pindah ke pelajaran (surat al-Qur’an) baru, yang berarti secara kognitif mereka sudah berilmu, KH. Ahmad Dahlan bertanya singkat kepada mereka: “Sudahkah ilmu dan pesan moral yang terkandung dalam surat al-Ma’un itu sudah kalian amalkan dalam bentuk gerakan sosial yang bermanfaat bagi kemanusiaan?” Dengan pendekatan teologi transformatif, model pembelajaran dan aktulisasi hidayah ala KH. Ahmad Dahlan ini kemudian membuahkan dua pelajaran terpetik (lessons learned) sekaligus. Pertama, hidayah (baca: ilmu dan nilai) dari al-Qur’an tidak bermakna jika tidak ditindaklanjuti dan dikembangkan dalam bentuk amal usaha (jihad sosial) yang bermanfaat bagi umat. Kedua, metodologi tafsir transformatif yang sangat efektif dalam memahami dan menerjemahkan pesan-pesan kitab suci menjadi gerakan sosial kultural yang berorientasi kepada perubahan dan perbaikan kualitas umat.

Proses islamisasi diri (internaslisasi hidayah) memerlukan kesadaran dan motivasi personal yang kuat. Dalam hal ini, Nabi SAW pernah memberikan rambu-rambu kehidupan penuh hidayah dengan menyatakan: “Kebersihan itu pangkal iman, mengucapkan alhamdulilah itu dapat memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah itu dapat memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi, shalat itu cahaya (hati), shadaqah itu bukti (kepedulian sosial), sabar itu pelita, al-Qur’an itu hujjah (dasar penalaran)…” (HR Muslim).

Jika hadis tersebut diaktulisasikan untuk menjemput hidayah, maka setiap Muslim harus berpola hidup bersih lahir dan batin, bergaya hidup penuh zikir, tekun dan istiqamah dalam melaksanakan shalat dan shadaqah, bernalar dengan logika al-Qur’an, dan berhias diri dengan kesabaran. Semua itu mudah diucapkan, tetapi tidak selalu mudah dilaksanakan. Kata kunci untuk dapat menjemput hidayah itu adalah mau memulai dari diri sendiri dan mau mengevaluasi diri dengan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan iman, ilmu, dan amal; teladan iman, islam, dan ihsan; dan teladan zikir, pikir, dan taghyir (perubahan diri menuju kehidupan yang lebih baik).

Selain itu, proaktif menjemput hidayah juga perlu kesungguhan dalam berinteraksi dengan sumber ajaran dan nilai Islam. Muhammad Iqbal, tokoh pembaharu pemikiran Islam asal Pakistan, pernah ditanya: “Mengapa dewasa ini umat Islam mengalami kemunduran, padahal al-Qur’an yang dipedomaninya saat ini sama dengan al-Qur’an yang dipedomani ketika umat Islam maju?”Iqbal menjawab singkat: “Dewasa ini, umat Islam mundur karena al-Qur’an lebih sering dibacakan kepada orang-orang yang sudah mati, daripada dibacakan kepada orang-orang yang masih hidup dan berpikir.”

Jawaban Iqbal tersebut menginspirasi kita semua untuk menyatakan bahwa al-Qur’an harus terus dijadikan sebagai hidayah, bukan dibacakan kepada yang sudah mati sebagai hadiah. Sebagai hadiah, yang mendapat manfaat –kalau memang benar memberi manfaat— hanyalah mereka yang sudah di alam kubur. Sebaliknya, dibaca sebagai hidayah, manfaatnya akan menjadi sumber nilai, inspirasi, motivasi, dan transformasi bagi umat manusia yang masih hidup. Jadi, selagi masih hidup, amalkanlah selalu perintah pertama Allah dalam kitab suci-Nya: Iqra’ bismi Rabbik (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Dengan falsafah Iqra’ ini, kita bisa proaktif menjemput hidayah dan menghadirkannya di tengah-tengah kehidupan kita. Bukankah banyak orang yang mengaku beragama Islam tetapi masih jarang membaca al-Qur’an, apalagi memahami dan mengamalkan pesan-pesan moralnya?  Oleh Dr. Muhbib Abdul Wahab

Jumat, 17 Februari 2017

TEGUH DALAM PRINSIP, LUWES DALAM USAHA



Suara Muhammadiyah– Untuk mengubah keadaan atau sesuatu, paling tidak ada dua faktor yang perlu diperhatikan, yaitu faktor apa yang disebut “prinsip” dan faktor yang disebut “usaha”. Dan faktor tersebut seperti muka dari sebuah koin. Prinsip saja tidak cukup kalau tanpa usaha. Sebaliknya, usaha saja tak cukup tanpa prinsip yang jelas.

Bagi orang beriman kepada Allah SwT dan Rasul-Nya, masalah yang disebut “prinsip” di atas sangat ditekankan. Bahwa apa yang disebut “iman” itu sendiri merupakan salah satu bentuk darai yang disebut “prinsip”. Apa pengertian kata kunci “prinsip” itu? Prinsip adalah asas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, 2005: 896).

Dalam agama Islam, iman adalah prinsip, iman adalah kebenaran yang diyakini yang menjadi pokok dasar berpikir dan beramal shalih. Dalam kata kunci “prinsip” terkandung unsur keteguhan hati , dorongan untuk mewujudkannya dalam tindakan, semangat atau energy untuk bergerak, dan daya tahan terhadap segala rintangan. Jika orang berpikir dan bertindak atas dasar prinsip dapat dipastikan dalam dirinya akan muncul keinginan yang kuat dan energi untuk bertahan yang kuat pula.

Karena dalam kata kunci “prinsip” terdapat faktor “kebenaran”, maka orang yang mempertahankan prinsip pada hakikatnya adalah orang yang memperjuangkan “kebenaran”, bukan sekedar untuk memuaskan egoisme (rasa ke-aku-an), keras kepala, membabi buta, dan sebagainya. Dalam “iman”, sebagai contoh, maka “kebenaran” yang diyakini adalah bersumber dari teks, yaitu Al-Qur’an dan juga As-Sunnah al-maqbullah, bukan semata-mata bersumber pada temuan atau rekayasa pribadi. Kalau dalam Al-Qur’an antara “iman” dan “amal shalih” senantiasa dikaitkan, maka itu berarti amal shalih merupakan hasil dari implementasi iman sebagai prinsip.  Dari titik pandang ini, maka bagi seseorang yang benar-benar mengaku beriman, maka sama sekali tidak dibenarkan sifat pemuasan egoisme, sifat keras kepala, sifat membabi buta, dan sebagainya dijadikan topeng atau berlindung dibalik dalih memegang prinsip atau iman. Kemunafikan seperti ini perlu benar-benar dihindari.

Selanjutnya, faktor “usaha” juga sangat ditekankan oleh Al-Qur’an (Ar-Ra’d [13]: 11; At-Taubah [9]: 105; Az-Zalzalah [99]: 7-8). Usaha adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, 2005: 1254). Ini berarti, dalam kata kunci “usaha” tersebut terkandung unsur keinginan untuk bergerak, dorongan untuk mengubah (dari tidak memiliki ke memiliki, dari kurang menjadi tercukupi, dari satu kondisi ke kondisi yang lain), dan kesadaran adanya proses (tindakan yang berkesinambungan sampai mencapai maksud). Apa yang disebut “usaha” ini dalam Al-Qur’an ditekankan adalah yang dalam ilmu bekerja modern disebut “kerja sistem”, yaitu kerja yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling mendukung, saling bersinergi, untuk mencapai suatu maksud.

Dalam Al-Qur’an kerja sistem semacam ini diidentifikasikan dalam kata kunci “qaum”,  yang berarti sekelompok orang, bukan  seorang pribadi (Ar-Ra’ad [13] 11). Dengan demikian, nuansa yang terdapat setiap usaha, apakah itu dilakukan sendiri-sendiri, apalagi yang dilakukan secara bersama-sama, adalah kerja “qaum”, kerja kelompok, kerja sistem. Oleh karena itu, diperlukan sikap saling menghargai satu orang dengan orang lainnya, antara satu unsur/komponen dengan unsur/komponen lainnya, dan satu faktor dengan faktor lainnya. Di dalam kerja sistem perlu diperhatikan apa yang terjadi di wilayah internal kelompok maupun di wilayah eksternalnya. Dengan demikian akan dapat diambil keputusan usaha terbaik dan kondisi terbaik dalam pelaksanaan usaha tersebut Atau dengan kata lain, usaha itu perlu luwes.

Ada Hadits yang berbunyi, “Man kaana yu’minu bi-‘l-laahi wa-‘l-yaumi-‘l aakhiri falyaqul khairan au liyashmut (= barangsiapa menghayati iman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah dia berkata yang baik atau lebih baik diam) (Hadits riwayat Imam Muslim). Dalam konteks tentang “prinsip” dan “usaha” di atas bagaimana pemahamannya? Menurut penulis, Hadits ini lebih cenderung menyangkut masalah “usaha”. Bahwa bagi umat yang beriman, masalah yang diusung sebagai prinsip adalah tentang “ajaran yang benar”, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah al-maqbullah, dan keutuhan agama Islam itu sendiri. Al- Qur’an, As-Sunnah dan Islam oleh Al-Qur’an disebut “al-haqq”, yang ketika DR M Quraish Shihab menafsirkan ayat: “al-haqqu min rabbika fa laa takun min-al-muntariin” (Ali Imran [3]: 60), ulama tafsir tersebut menerjemahkan kata “al-haqq” dengan: kebenaran mutlak. Kemutlakan tersebut dipahami dari bentuk kalimat ma’rifah/definite yakni huruf “alif” dan “laan” yang menghiasi kata “haqq” (Tafsir Al-Mishbah, volume 2, 2000: 102, 1033).

Dengan demkian, bagi orang beriman untuk mengatakan dan menyampaikan “al-haqq” adalah niscaya. Artinya, kapan pun dan dimana pun orang beriman wajib mengatakan dan menyampaikan al-haqq itu tanpa menambah-nambah, apalagi mengurang-ngurangi. Sungguhpun begitu usaha untuk mengatakan dan menyampaikan “al-haqq” tersebut perlu luwes. Artinya, kalau memang kondisi yang mendukung untuk keberhasilan penyampaian “al-haqq” ada dan memadai, makamomen atau kesempatan itu “al-haqq” harus disampaikan. Namun, kalau kondisi belum memungkinkan karena berbagai sebab yang melingkunginya, maka dapat ditahan dulu penyampaian “al-haqq” tersebut, yang dalam bahasa Hadits di atas dengan  kata “li yashmut (lebih baik diam). Tindakan “diam” ini bukan karena tidak berani mengatakan atau menyampaikan “al-haqq” , atau bersikap pengecut, melainkan harus dipahami sebagai keluwesan untuk “usaha” sebagai sebuah proses. Kata peribahasa, “kena ikannya tetapi tidak keruh airnya“
Wallaahu a’lam bishshawaab. 

Oleh Dr Mohammad Damami MAg

Kamis, 05 Mei 2016

MENGAPA NABI ISA ALAIHISAM DIBUNUH DAN DIJADIKAN "TUHAN"

Add caption

Pertanyaan:

Apa sebab “kaum Nasrani yang tidak setuju dakwahnya Isa as, mengejar­-ngejar dan membunuhnya, sekalipun sudah diganti oleh Allah SWT, tetapi toh olehnya Isa as juga dibunuh, kok malah disembah-sembah dan dijadikan Tuhannya?”

Jawaban:

Sebelum menjawab substansi-substansi pertanyaan Bapak, terlebih dahulu kita sebagai orang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunah serta memperhatikan kitab-kitab tafsir dan data-data sejarah.

Di dalam al-Qur’an S. an-Nisa’ ayat 157 Allah berfirman:

Artinya: “Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah (mereka menyebut Isa putera Maryam itu Rasul Allah ialah sebagai ejekan, karena mereka sendiri tidak mempercayai kerasulan Isa itu)”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka ………. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.” [QS. an-Nisa’ (4): 157]

Penjelasan:

 Yang dimaksud dengan ucapan “mereka” ialah orang-orang Yahudi dan Romawi, bukan orang-orang Nasrani. Anggapan bahwa yang mengejar-ngejar dan membunuh Nabi Isa as adalah orang Nasrani adalah persepsi atau anggapan yang salah. Selanjutnya ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Isa as tidak meninggal karena dibunuh, tetapi yang dibunuh oleh tentara Romawi waktu itu adalah orang lain yang diserupakan (oleh Allah) sebagai Isa as. Orang itu namanya Yahuza al-Askharayuti yang disangka oleh yang membunuh sebagai Isa as.

Begitulah keterangan yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir, juga dalam kitab-kitab Injil, antara lain dalam kitab Injil Barnabas. Bahkan dalam ayat 158 S. an-Nisa, Allah berfirman:

Artinya: “Tetapi Allah telah mengangkat (Isa as) kepada-Nya.” [QS. an-Nisa’ (4): 157]

Hanya mengenai perkataan “mengangkat” Isa oleh Allah sendiri ada dua penafsiran di kalangan para ahli tafsir, ahli hadis dan para fukaha, dengan memperhatikan sejumlah hadis-hadis Nabi saw serta dipertautkan pula kepada firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 55 yang berbunyi:

Artinya: “Sesungguhnya Aku (Allah) yang mewafatkan dan mengangkat engkau kepadaku.” [QS. Ali Imran (3): 55]

Masalah ini tidak kami uraikan lebih jauh, karena tidak ada korelasi dan substansinya dengan pertanyaan Bapak.

Barangkali yang perlu kami tambahkan uraian tentang anggapan kaum Nasrani bahwa Nabi Isa as mati dibunuh/disalib atas kemauan Nabi Isa as sendiri, untuk menebus dosa Nabi Adam dan anak cucu keturunannya yang dianggap sebagai dosa warisan. Faham ini pun sebenarnya sangat keliru, sebab Nabi Adam as telah minta ampun kepada Allah dan Allah telah mengampuninya seperti tersebut dalam surat al­-Baqarah ayat 27:

Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Baqarah (2): 37]

Al-Qur’an juga mengajarkan bahwa dosa seseorang tidak ditanggung oleh orang lain. Jadi keyakinan orang Nasrani dalam masalah tersebut sangat-sangat keliru, yang oleh pengarang Tafsir al-Munir Wahbah az-Zuhaili disebut dengan sebutan “dugaan orang Nasrani belaka” bahkan tambah Wahbah az-Zuhaili: “Persoalan tebusan dosa itu tidak bisa diterima oleh orang yang berfikir normal

Di dalam tafsir al-Manar, as-Sayyid Rasyid Ridha rnenjelaskan tentang asal-usul paham/keyakinan Isa as disalib, sebagai berikut:

Artinya: “Bahwasannya cerita penyaliban (Isa as) tidak ada sandarannya yang bersambung kepada individu-individu yang diriwayatkan dari mereka. Orang-orang yang meriwayatkan cerita itu benar-benar tidak dikenal secara meyakinkan, sebagaimana diketahui dari Ensiklopedi Perancis dan buku-buku lainnya yang dikarang oleh ilmuwan-ilmuwan Eropa secara bebas, sebenarnya sesuatu yang dapat diperoleh dari kumpulan riwayat-riwayat tersebut yang terputus sandaranya itu adalah bahwa orang pertama yang membuat kepercayaan (aqidah) salib di kalangan orang-orang Nasrani sekarang ini adalah Paulus yang berdarah Yahudi, dia adalah orang yang sangat benci dan memusuhi al-Masih as.”

Bahkan lanjut Rasyid Ridla, Paulus sengaja mengakui dirinya sebagai orang Nasrani supaya apa yang disampaikan dapat dipercaya dan diterima oleh orang-orang Nasrani. Ia tak ubahnya sebagai musang berbulu ayam (munafik).

Hal ini mengingatkan kita kepada peran yang dimainkan Ibnu Saba’ (orang Yahudi) di zaman Islam yang mencoba untuk merusak akidah orang-orang Islam dengan mengatakan bahwa orang yang berhak sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib.

Ibnu Saba’ berargumen bahwa Nabi saw pernah mengatakan, kedudukan Nabi saw dan ‘Ali adalah seperti kedudukan Musa as dengan Harun as. Usaha Ibnu Saba’ dapat dikatakan setengah berhasil di masa Khalifah Usman dan Khalifah ‘Ali. Dia dapat mengadudomba antara umat Islam yang mengakibatkan timbul malapetaka besar (الفِتْنَةُ الْكُبْرَى) dengan terbunuhnya Khalifah Usman dan juga peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang menimpa umat Islam di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

Kami tegaskan sekali lagi bahwa Isa as tidak dibunuh oleh orang-orang Nasrani dan tidak pula dibunuh oleh orang-orang Yahudi, tetapi yang dibunuh oleh tentara Romawi atas provokasi orang-orang Yahudi adalah orang yang bernama Yahuza al-Ashkarayuti seperti telah kami sebutkan di atas.

Mengenai mengapa kemudian orang-orang Nasrani menjadikan Isa as sebagai Tuhan dan disembah oleh mereka. Hal itu berpangkal pada keyakinan kaum Nasrani bahwa Isa as adalah anak Tuhan, karena Isa as lahir tidak punya bapak yang berupa manusia, oleh orang-orang Nasrani dianggap bahwa Allah telah bertajalli (bersenggama) dengan Maryam. Di dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 30 disebutkan:

Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “al-Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”

Di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 59 Allah berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya _issal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.”

Sehubungan dengan ayat ini, Ibnu Katsir berkomentar:

Artinya: “Di dalam ayat mulia ini Allah Tabaraka wata’ala bermaksud untuk menampakkan kekuasaannya bagi makhluk-Nya ketika Ia menciptakan Adam tidak dan laki-laki (ayah) dan tidak dari perempuan (ibu), dan Dia menciptakan Hawa’ dari laki (Adam) tanpa perempuan (ibu) dan Dia menciptakan Isa dari perempuan (ada ibu) tanpa laki-laki (ayah) sebagaimana Dia telah menciptakan makhluk lainnya dari laki (ada ayah) dan perempuan (ada ibu).” [Tasir al-Qur’an al-Adhim, I: 323]

Menurut/sepanjang penyelidikan kami ayat 59 Surat Ali ’Imran ini turun sehubungan dengan perilaku orang-orang Nasrani Najran dimana mereka menjadikan kelahiran al-Masih as yang bersifat mu’jizat itu sebagai dalil atas ketuhanan isa as dan sebagai anak Allah, lalu turun ayat di atas merespon perilaku salah mereka itu dalam anggapan yang demikian itu. [baca حَيَاةُ اْلمَسِيحِ , karangan dari Hanan Qarquni hal 150]

Dengan uraian singkat ini kiranya sudah terjawab dua substansi dalam pertanyaan itu, yaitu mengapa Isa as dikejar-kejar dan ingin membunuhnya, serta mengapa Isa itu disembah dan dijadikan Tuhan oleh orang-orang Nasrani. Semoga jawaban ini bermanfaat bagi Bapak dan teman-teman Bapak lainnya dan teruskan berda’wah.

Wallahu a’lam bish-shawab
pertanyaan dijawab oleh Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Ad Placement