PENYAMBUNG WARTA: Bahtsul Masail
Tampilkan postingan dengan label Bahtsul Masail. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahtsul Masail. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Oktober 2017

HIKMAH SYAR'I DI BALIK PEMBERSIHAN BULU KETIAK DAN BULU KEMALUAN (3)

ilustrasi


Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Terlebih dahulu kami mohon maaf karena kami akan mengajukan setidaknya tiga pertanyaan. Pertama adalah mengenai makna fitrah yang ada dalam hadits, “Lima perkara merupakan fitrah yaitu, mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.”

Kedua, kapan waktu yang tepat untuk mencukur bulu kemaluan dan bulu ketiak. Ketiga, mengenai hikmah di balik pencabutan bulu ketiak dan pencukuran bulu kemaluan. Kenapa bulu ketiak dicabut sedang bulu kemaluan dicukur, serta bolehkah kalau buku ketiak dicukur? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Soleh/Bogor)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Dalam kesempatan kali ini kami akan memberikan respon atau jawaban atas pertanyaan yang ketiga, yaitu mengenai hikmah kesunahan untuk mencabut ketiak dan mencukur bulu kemaluan. Sekaligus juga memberikan jawaban mengenai pertanyaan apakah boleh ketiak itu dicukur.

Hikmah dari mencabut bulu ketiak menurut keterangan kami dapatkan adalah bahwa ketiak merupakan tempat persemayaman bau tak sedap. Sebab di situ biasanya merupakan tempat daki dan bercampur dengan keringat. Dengan mencabutnya setidaknya bisa mengurangi bau tersebut.

Lain halnya ketika bulu ketiak itu dicukur atau dipotong, bukan dicabut. Pencukuran bulu ketiak akan menyebabkan pertumbuhannya menjadi semakin lebat dan menambah bau ketiak. Oleh karenanya rekomendasi yang diberikan adalah pencabutan buku ketiak bukan pencukuran.  Demikian sebagaimana yang kami pahami dari keterangan berikut ini.

اَلْحِكْمَةُ فِي نَتْفِهِ أَنَّهُ مَحَلٌّ لِلرَّائِحَةِ الكَرِيهَةِ وَإِنَّمَا يَنْشَأُ ذَلِكَ مِنَ الْوَسَخِ اَلَّذِي يَجْتَمِعُ بِالْعَرَقِ فِيهِ فَيَتَلَبَّدُ وَيهِيجُ فَشُرِعَ فِيهِ النَّتْفُ اَلَّذِي يُضْعِفُهُ فَتَخِفُّ الرَّائِحَةُ بِهِ بِخِلَافِ الْحَلْقِ فَإِنَّهُ يُقَوِّي الشَّعْرَ وَيُهَيِّجُهُ فَتَكْثُرُ الرَّائِحَةُ لِذَلِكَ

“Hikmah dari mencabut bulu ketiak adalah bahwa ketiak merupakan tempat bersemayamnya bau tak sedap. Dan bau tak sedap itu akibat dari daki yang bercampur dengan keringat yang ada di dalam ketiak yang kemudian menyebabkan bulu ketiak menjadi kempal dan lebat. Lantas disyariatkan mencabut bulu di ketiak dimana pencabutan tersebut bisa melemahkan bulu ketiak kemudian mengurangi baunya. Berbeda dengan mencukurnya yang malah menguatkan bulu dan melebatkannya sehingga semakin menambah bau (tak sedap) ketiak tersebut,” (Lihat Ibnu Hajr Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz X, halaman 344).

Lantas jika yang direkomendasikan adalah pencabutan bulu ketiak, apakah boleh mencukurnya? Jawabannya, tentu diperbolehkan juga mencukur bulu ketiak dan berhak mendapatkan kesunahan, meskipun hal ini kurang afdhal. Sebab, yang afdhal adalah mencabutnya sebagaimana bunyi redaksi haditsnya.

أَمَّا نَتْفُ الْإِبْطِ فَسُنَّةٌ بِالْاِتِّفَاقِ وَالْأَفْضَلُ فِيهِ اَلنَّتْفُ لِمَنْ قَوِيَ عَلَيْهِ وَيَحْصُلُ أَيْضًا بَالْحَلَقِ وَبِالنُّورَةِ.

Artinya, "Menurut kesepakatan para ulama, mencabut bulu ketiak adalah sunah. Afdhalnya dalam hal ini mencabutnya bagi orang yang memang kuat menahan sakitnya, kendati demikian kesunahan tersebut bisa diperoleh dengan mencukur atau menghilangkannya dengan memakai tawas.”

Inti dari penjelasan itu adalah penjagaan kebersihan, di mana untuk kasus bulu ketiak sebaiknya dicabut bagi orang yang memang mampu menahan rasa sakitnya. Berbeda dengan bulu kemaluan di mana cukup hanya dengan mencukur sudah dianggap cukup untuk membersihkannya. Di samping itu mencabut bulu kemaluan tentunya akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, karenanya rekomendasi yang diberikan adalah dengan mencukurnya.

Namun rekomendasi pencukuran bulu kemaluan itu menurut keterangan yang kami pahami dalam kitab Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib itu diperuntukkan untuk laki-laki. Sedang untuk perempuan sebaiknya atau yang afdhal adalah mencabutnya.

Salah satu hikmahnya adalah menurut para ulama bahwa mencabut bulu kemaluan itu bisa mengendalikan syahwat, sedang mencukurnya itu bisa menguatkannya. Berbeda dengan para para ulama tersebut adalah argumen yang dikemukakan oleh Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa mencabut bulu kemaluan (bagi perempuan) itu bisa melembutkan kemaluannya.

وَالْأَفْضَلُ لِلذَّكَرِ الْحَلْقُ وَلِغَيْرِهِ النَّتْفُ، وَقَالُوا فِي حِكْمَتِهِ، إنَّهُ يُضْعِفُ الشَّهْوَةَ، وَالْحَلْقُ يُقَوِّيهَا وَعَكَسَ الْمَالِكِيَّةُ. وَقَالُوا: لِأَنَّ نَتْفَهَا يُرْخِي الْفَرْجَ

Artinya, “Yang paling afdhal bagi laki-laki adalah mencukur bulu kemaluan, sedangkan bagi perempuan adalah mencabutnya. Para ulama berkata tentang hikmahnya, ‘Bahwa mencabut bulu kemaluan itu bisa mengendalikan syahwat, sedang mencukurnya itu bisa menguatkan syahwat. Berbeda dengan ulama dari kalangan Madzhab Maliki, mereka menyatakan; ‘Karena mencabut bulu kemaluan (bagi perempuan) itu bisa melembutkan kemaluannya,’” (Lihat Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz I, halaman 337).

Menarik apa yang dikemukakan oleh para ulama tersebut mengenai hikmah pencabutan dan pencukuran bulu kemaluan. Rekomendasi bagi perempuan adalah pencabutan bulu kemaluan karena dianggap dapat mengendalikan syahwatnya. Sedangkan menurut pandangan dari Madzhab Maliki hal itu dianggap bisa melembutkan kemaluannya.

Sedang untuk laki-laki direkomendasikan untuk mencukurnya karena diangap akan mampu menambah daya vitalitasnya. Kendati demikian bahwa yang afdhal bagi perempuan mencabut bulu kemaluan.

Tetapi hemat kami, pandangan ini harus dibaca dalam konteks bagi perempuan yang memang sanggup menahan rasa sakitnya. Jika memang tidak sanggup, maka mencukur bulu kemaluannya juga tidak menjadi masalah dan berhak mendapatkan kesunahan, meskipun tidak mendapatkan keafdhalan atau keutamaan. Sebab, yang utama menurut pandangan ini adalah mencabutnya.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan  baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwmith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


(Mahbub Ma’afi Ramdlan)

Jumat, 06 Oktober 2017

INI WAKTU MENURUT SYAR'I UNTUK BERSIHKAN BULU KETIAK DAN BULU KEMATIAN(2)

ilustrasi


Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Terlebih dahulu kami mohon maaf karena kami akan mengajukan setidaknya tiga pertanyaan. Pertama adalah mengenai makna fitrah yang ada dalam hadits, “Lima perkara merupakan fitrah, yaitu mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.”

Kedua, kapan waktu yang tepat untuk mencukur bulu kemaluan dan bulu ketiak. Ketiga, mengenai hikmah di balik pencabutan bulu ketiak dan pencukuran bulu kemaluan. Kenapa bulu ketiak dicabut sedang bulu kemaluan dicukur, serta bolehkah kalau bulu ketiak dicukur? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Soleh/Bogor)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Dalam kesempatan ini kami akan menjawab pertanyaan kedua, yaitu tentang kapan waktu yang baik untuk mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu ketiak.

Sebagaimana yang sudah maklum bahwa mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan itu hukumnya sunah atau dianjurkan. Lantas kapan waktu yang terbaik untuk mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan?

Mengenai waktu mencabut bulu ketiak akan berbeda-beda setiap orang. Ada yang bulu ketiaknya cepat panjang, ada juga yang pertumbuhannya lambat. Oleh karena itu waktu terbaik untuk mencabut bulu ketiak berbeda-beda di antara individu, tergantung tingkat pertumbuhan bulu ketiaknya.

وَأَمَّا نَتْفُ الْاِبْطِ فَمُتَّفَقُ أَيْضًا عَلَى اَنَّهُ سُنَّةٌ وَالتَّوْقِيتُ فِيهِ كَمَا سَبَقَ فِي الْاَظْفَارِ فَاِنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْاَشْخَاصِ وَالْاَحْوَالِ ثُمَّ السُّنَّةُ نَتْفُهُ كَمَا صَرَحَ بِهِ الْحَدِيثُ 

Artinya, “Adapun mencabut bulu ketiak juga disepakati (oleh para ulama) tentang kesunahannya. Sedangkan penetapan waktu mencabut ketiak seperti penetapan waktu memotong kuku dimana waktunya berbeda-beda sesuai perbedaan individu dan keadaan. Kemudian yang sunah adalah mencabutnya sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah Al-Irsyad, juz I, halaman 341).

Demikian juga waktu untuk mencukur bulu kemaluan waktu yang pas atau terbaik melihat kondisi setiap orang. Karena memang faktanya pertumbuhan bulu kemaluan setiap orang tidak sama, ada yang cepat panjang ada yang lama.

وَالتَّوْقِيتُ فِي حَلْقِ الْعَانَةِ عَلَى مَا سَبَقَ مِنِ اعْتِبَارِ طُولِهَا: وَاَنَّهُ اِنْ اَخَّرَهُ فَلَا يُجَاوِزُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا

Artinya, “Penetapan waktu mencukur bulu kemaluan sebagaimana yang telah dijelaskan dilihat dari sisi panjangnya. Jika dibiarkan, maka jangan sampai melebihi empat puluh hari,” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz I, halaman 342).

Berangkat dari penjelasan singkat ini dapat ditarik simpulan bahwa waktu terbaik untuk mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan berbeda-beda setiap orang. Ada yang cepat panjang, ada yang lama. Jika memang bulu ketiak sudah panjang, maka sebaiknya segera dicabut begitu juga bulu kemaluan segera dicukur apabila sudah panjang, dan jangan dibiarkan sampai melebihi empat puluh hari. Hal ini didasarkan kepada salah satu sabda Rasulullah SAW berikut ini,

عن أَنَسِ بنِ مَالِكٍ ، قَالَ: وُقِّتَ لَنَا في قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الأَظْفَارِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ وَنَتْفِ الإِبِطِ أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Artinya, “Dari Anas Bin Malik RA ia berkata, ‘Kami diberi batas waktu (oleh Rasulullah SAW) dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan mencabut bulu agar kami tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam,’” (HR Muslim).

Menurut An-Nawawi, makna hadits ini adalah tidak ada pembiaran melebihi empat puluh hari. Tetapi bukan berarti mereka memiliki waktu atau diizinkan secara mutlak untuk melakukan pembiaran selama empat puluh hari. Demikian yang kami pahami dari pernyataannya berikut ini,

فَمَعْنَاهُ لَا يَتْرُكُ تَرْكًا يَتَجَاوَزُ بِهِ أَرْبَعِينَ لَا أَنَّهُمْ وَقْتٌ لَهُمْ اَلتَّرْكُ أَرْبعِينَ

Artinya, “Pengertian hadits ini adalah tidak membiarkan melebihi empat puluh (hari, pent), bukan dalam pengertian mereka memiliki waktu empat puluh (hari untuk membiarkannya, pent),” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin Al-Hajjaj, Beirut, Daru Ihya`it Turatsil Arabi, cet kedua, 1392 H, juz III, halaman 139).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwmith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


(Mahbub Maafi Ramdhan)

Kamis, 05 Oktober 2017

MAKNA KATA FITRAH (1)

ilustrasi


Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Terlebih dahulu kami mohon maaf karena kami akan mengajukan setidaknya tiga pertanyaan. Pertama adalah mengenai makna fitrah yang ada dalam hadits, “Lima perkara merupakan fitrah yaitu, mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.”

Kedua, kapan waktu yang tepat untuk mencukur bulu kemaluan dan bulu ketiak. Ketiga, mengenai hikmah di balik pencabutan bulu ketiak dan pencukuran bulu kemaluan. Kenapa bulu ketiak dicabut sedang bulu kemaluan dicukur, serta bolehkah kalau buku ketiak dicukur? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Soleh/Bogor)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kami. Pertama, terkait soal makna fitrah dalam hadits yang membicarakan lima hal yang merupakan fitrah, di antaranya adalah soal mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu ketiak.

Kedua, mengenai kapan waktu yang tepat untuk mencabut bulu ketiak dan memotong bulu kemaluan. Sedang ketiga adalah tentang hikmah di balik pencukuran rambut kemaluan, dan pencabutan rambut ketiak.

Dalam kesempatan ini kami akan menjawab pertanyaan pertama terlebih dahulu, yaitu mengenai maksud dari kata fithrah yang terdapat dalam hadits mengenai lima hal yang merupakan fitrah. Redaksi hadits adalah berikut ini.


خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ: الِاسْتِحْدَادُ والْخِتَانُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ

Artinya, “Lima perkara merupakan fitrah, yaitu mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku,” (HR Muslim).

Para ulama berbeda pendapat ketika menafsirkan kata ‘fitrah’ dalam hadits tersebut. Misalnya dari kalangan Madzhab Syafi’i seperti Abu Ishaq As-Syirazi dan Al-Mawardi menafsirkan kata ‘fitrah’ dalam hadits tersebut dengan agama (ad-din). Sedangkan mayoritas ulama menurut Al-Khaththabi menafsirkannya dengan sunah atau kebiasan yang biasa dipraktikkan.

خَمْس مِنْ الْفِطْرَة ) قَالَ النَّوَوِيّ : هِيَ بِكَسْرِ الْفَاء وَأَصْلهَا الْخِلْقَة قَالَ تَعَالَى { فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا }وَاخْتَلَفُوا فِي تَفْسِيرهَا فِي هَذَا الْحَدِيث فَقَالَ الشَّيْخ أَبُو إِسْحَاق الشِّيرَازِيّ فِي الْخِلَاف وَالْمَاوَرْدِيّ فِي الْحَاوِي وَغَيْرهمَا مِنْ أَصْحَابنَا هِيَ الدِّين ، وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ فَسَّرَهَا أَكْثَر الْعُلَمَاء فِي هَذَا الْحَدِيث بِالسُّنَّةِ 

Artinya, “Menurut An-Nawawi, bahwa kata yang terdiri dari huruf fa-th-ra-ta (marbuthah) itu berharakat kasrah pada huruf fa-nya dan makna asalnya adalah khilqah (penciptaan). Allah SWT berfirman, ‘Tetaplah atas fitrah (penciptaan) Allah yang telah menciptakaan manusia menurut fitrah itu,’ (QS Ar-Rum [30]: 30). Para ulama berselisih pendapat mengenai tafsir yang tepat terhadap kata fitrah dalam hadits ini. Menurut Syaikh Abu Ishaq As-Syirazi dalam kitab Al-Khilaf, Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi dan para ulama selain keduanya dari kalangan Madzhab Syafi’i maka fitrah dalam hadits tersebut adalah agama (ad-din). Menurut Al-Khaththabi, kebanyakan para ulama menafsirkan kata fitrah dalam hadits tersebut adalah sunah (kebiasaan yang biasa dipraktikkan atau dilakukan). (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah Al-Irsyad, juz I, halaman 338).

Namun pandangan mayoritas ulama yang menafsirkan kata ‘fithrah’ dalam hadits tersebut dengan sunah dikritisi oleh Ibnus Shalah. Bagi Ibnus Shalah, penafsiran kata ‘fithrah’ dengan ‘sunah’ jelas akan menimbulkan kesulitan atau kerancuan tersendiri. Sebab, secara bahasa makna sunah itu jauh sekali dari makna fitrah.

Oleh karena itu ia memberikan tawaran baru untuk menyelasaikan problem tersebut. Menurutnya, ada yang dibuang sebelum kata fithrah (penciptaan) dalam hadits tersebut yaitu bisa kata ‘sunah’ atau ‘adab’.

Jadi asalnya adalah sunatul fithrah (kebiasaan dari fitrah atau penciptaan) atau adabul fithrah (etika yang lahir dari fitrah). Konsekuensi dari pembuangan tersebut menjadikan kata fithrah menempati posisi kata yang dibuang yaitu sunah atau adab.

وَقَالَ أَبُو عَمْرٍو اِبْن ُالصَّلَاحِ : وَفِيهِ إِشْكَالٌ لِبُعْدِ مَعْنَى السُّنَّة مِنْ مَعْنَى الْفِطْرَة فِي اللُّغَة قَالَ : فَلَعَلَّ وَجْهَهُ أَنَّ أَصْله سُنَّةَ الْفِطْرَة أَوْ آدَابُ الْفِطْرَة حُذِفَ الْمُضَاف وَأُقِيمَ الْمُضَاف إِلَيْهِ مَقَامَهُ

Artinya, “Menurut Abu ‘Amr Ibnus Shalah, dalam konteks ini (yaitu pemaknaan fitrah dengan sunah) terdapat persoalan serius (musykil) sebab secara bahasa terdapat jarak yang jauh antara makna sunah dengan fithrah.  Karena itu menurutnya kemungkinan yang tepat adalah bahwa asalnya adalah tersusun dari sunatul fithrah atau adabul fithrah, kemudian dibuang mudhaf-nya (kata sunah atau adab) sehingga kata al-fithrah (mudhaf ilaih) menempati posisi kata sunah atau adab,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz I, halaman 338).

Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama dalam menafsirkan kata fithrah yang terdapat dalam hadits tersebut, menurut Muhyiddin Syaraf An-Nawawi tafsir yang tepat atas kata fithrah dalam konteks ini adalah sunah. Sebab, tak bisa disangkal bahwa terdapat riwayat dari sunah Nabi saw mengenai memotong jenggot, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.

قُلْتُ تَفْسِيرُ الْفِطْرَةِ هُنَا بِالسُّنَّةِ هُوَ الصَّوَابُ: فَفِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مِنَ السُّنَّةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَنَتْفُ الْاِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْاَظْفَارِ

Artinya, “Menurut saya (Muhyiddin Syaraf An-Nawawi) tafsir kata fitrah yang tetap atau benar dalam hadits tersebut adalah sunah. Sebab, terdapat riwayat dari Shahih Al-Bukhari dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW, ia bersabda, ‘Di antara yang termasuk dari sunah adalah mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku,’” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz I, halaman 338).

Senada dengan apa yang dikemukakan An-Nawawi adalah apa yang dikemukakan oleh penulis kitab An-Nihayah fi Gharibil Hadits yaitu Ibnul Atsir. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Al-Mubarakfuri dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi yang merupakan anotasi atas Kitab Sunan At-Tirmidzi.

Menurut Ibnul Atsir bahwa kata fithrah—sebagaimana terdapat dalam hadits di atas—maknanya adalah sunah. Sunah dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh para nabi di mana kita diperintahkan untuk mengikutinya.

Lebih lanjut Al-Mubarakfuri juga menyuguhkan padangan penulis kitab Majma’ul Bihar yaitu Syekh Muhamad Thahir yang menyatakan bahwa maksud fithrah di sini adalah kebiasaan terdahulu yang telah dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh semua syariat sehingga seolah-oleh kebiasaan tersebut menjadi sesuatu yang bersifat tabiat atau dari sananya (amrun jibilliy) di mana mereka (para nabi) diciptakan menurutnya (tabiat tersebut).

قَوْلُهُ ( خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ ) قَالَ فِي النِّهَايَةِ أَيْ مِنَ السُّنَّةِ يَعْنِي سُنَنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ اَلَّتِي أُمِرْنَا أَنْ نَقْتَدِيَ بِهِمْ وَقَالَ فِي مَجْمَعِ الْبِحَارِ أَيْ مِنَ السُّنَّةِ الْقَدِيمَةِ اَلَّتِي اِخْتَارَهَا الْأَنْبِيَاءُ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَاتَّفَقَتْ عَلَيْهَا الشَّرَائِعُ فَكَأَنَّهَا أَمْرٌ جِبِلِيٌّ فُطِرُوا عَلَيْهِ مِنْهَا قَصُّ الشَّارِبِ

Artinya, “Sabda Nabi saw yaitu, ‘Lima perkara merupakan fitrah’. Menurut penulis kitab An-Nihayah arti dari fithrah dalam sabda Nabi tersebut adalah sunah, maksudnya adalah sunah atau kebiasaan yang biasa dipraktikkan oleh para nabi alaihimus salam di mana kita diperintahkan untuk mengikutinya. Sedangkan menurut penulis kitab Majma’ul Bihar maksudnya adalah sunah masa lampau yang telah dipilih oleh para nabi ‘alahimus salam (untuk dijalankan, pent) dan disepakati oleh semua syariat sehingga seakan-akan hal tersebut menjadi perkara yang sudah dari sananya (amrun jibilly/tabiat dasar) di mana mereka diciptakan menurutnya, seperti mencukur kumis,” (Lihat Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, Beirut, Darul Kutub Al-‘llmiyyah, juz VIII, halaman 27).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan pandangan di antara para ulama mengenai makna kata fithrah dalam hadits di atas. Pandangan pertama menyatakan bahwa maknanya adalah agama. Sedang pandangan kedua menyatakan maknanya adalah sunah.

Pandangan kedua ini menurut An-Nawawi adalah pandangan yang tepat. Sedangkan sunah yang dimaksud di dalam hadits tersebut menurut Ibnul Atsir lebih tepatnya adalah kebiasaan yang biasa dilakukan oleh para nabi di mana kita dianjurkan untuk mengikutinya.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


(Mahbub Ma’afi Ramdlan)

Kamis, 21 Januari 2016

HUKUM MENATA ALIS HINGGA TIPIS

ilustrasi


Assalamualaikum wr.wb
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang dirahmati Allah. Saya punya teman perempuan di tempat bekerja. Ia berhias sedemikian rupa. Yang saya tanyakan, bolehkah merapikan alis? Kalau alis dicukur habis bagaimana? Apakah itu termasuk mengubah ciptaan Allah? Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamualaikum wr.wb. (Syukur/Jakarta)

Jawaban
Assalamu’alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga Allah merahmati Anda di mana pun berada. Bentuk dan gaya berhias mengalami perubahan yang sangat cepat. Gaya berhias ditentukan kadang oleh mode yang sedang tren, kenyamanan yang bersangkutan, atau motif lainnya.

Penanya yang budiman, alis sebagaimana tubuh secara keseluruhan merupakan perhiasan wajah yang Allah karuniakan kepada manusia. Karenanya kita diwajibkan merawat perhiasan yang telah Allah berikan. Di samping perawatan kita juga harus merapikan anugerah-Nya.

Namun demikian ada sejumlah rambu-rambu yang mesti dipatuhi dalam hal merawat tubuh. Misalnya seperti hadits Rasulullah SAW sebagai berikut.

«لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَة، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَة، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَة، وَالْمُتَنَمِّصَات وَالْمُتَفَلِّجَات لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ»

Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut, perempuan yang membantu menyambung rambut, perempuan yang menajamkan gigi, perempuan yang membantu menajamkan gigi, perempuan yang menato tubuh, perempuan yang membantu menato tubuh, perempuan yang mencabut alis, perempuan yang merenggangkan gigi demi berhias yang mana mengubah ciptaan Allah.”

Perihal hadits di atas, ada baiknya kita menyimak pandangan Syekh Ahmad bin Ghanim yang bermadzhab Maliki. Menurutnya, mencukur bulu alis harus dibedakan dari “menyambung rambut” seperti disebutkan di dalam hadits.

وَيُفْهَمُ مِنْ النَّهْيِ عَنْ وَصْلِ الشَّعْرِ عَدَمُ حُرْمَةِ إزَالَةِ شَعْرِ بَعْضِ الْحَاجِبِ أَوْ الْحَاجِبِ وَهُوَ الْمُسَمَّى بِالتَّرْجِيحِ وَالتَّدْقِيقِ وَالتَّحْفِيفِ وَهُوَ كَذَلِكَ وَسَيَأْتِي لَهُ مَزِيدُ بَيَانٍ.

قَالَ ابْنُ رُشْدٍ: وَمَا يُحْكَى مِنْ إبَاحَتِهِ فَمَرْدُودٌ لِمُخَالَفَتِهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى حُرْمَةِ ذَلِكَ مَا فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَعَنَ اللَّهُ  إلى الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ» وَالتَّنْمِيصُ هُوَ نَتْفُ شَعْرِ الْحَاجِبِ حَتَّى يَصِيرَ دَقِيقًا حَسَنًا، وَلَكِنْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - جَوَازُ إزَالَةِ الشَّعْرِ مِنْ الْحَاجِبِ وَالْوَجْهِ وَهُوَ الْمُوَافِقُ لِمَا مَرَّ مِنْ أَنَّ الْمُعْتَمَدَ جَوَازُ حَلْقِ جَمِيعِ شَعْرِ الْمَرْأَة مَا عَدَا شَعْرَ رَأْسِهَا، وَعَلَيْهِ فَيُحْمَلُ مَا فِي الْحَدِيثِ عَلَى الْمَرْأَةِ الْمَنْهِيَّةِ عَنْ اسْتِعْمَالِ مَا هُوَ زِينَةٌ لَهَا كَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا وَالْمَفْقُودِ زَوْجُهَا.

قَالَ خَلِيلٌ: وَتَرَكَتْ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا فَقَطْ وَإِنْ صَغُرَتْ وَلَوْ كِتَابِيَّةً وَمَفْقُودًا زَوْجُهَا التَّزَيُّنَ، وَلَا مَانِعَ مِنْ تَأْوِيلِ الْمُحْتَمَلِ عِنْدَ وُجُوبِ الْعَارِضِ، وَلَا يُقَالُ فِيهِ تَغْيِيرٌ لِخَلْقِ اللَّهِ، لِأَنَّا نَقُولُ: لَيْسَ كُلُّ تَغْيِيرٍ مَنْهِيًّا عَنْهُ، أَلَا تَرَى أَنَّ خِصَالَ الْفِطْرَةِ كَالْخِتَانِ وَقَصِّ الْأَظْفَارِ وَالشَّعْرِ وَغَيْرِهَا مِنْ خِصَاءِ مُبَاحِ الْأَكْلِ مِنْ الْحَيَوَانِ وَغَيْرِ ذَلِكَ جَائِزَةٌ.

Dari keterangan larangan menyambung rambut ini, kita dapat memahami ketidakharaman untuk menghilangkan bulu sebagian alis atau alis secara keseluruhan. Ini yang disebut tarjih, tadqiq, tahfif. Berikut ini tambahan keterangannya.

Ibnu Rusyd mengatakan, pendapat yang membolehkannya ditolak karena menyalahi dalil. Dalil yang mengharamkannya jelas disebut di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut....” “Mencabut alis” adalah mencabut bulu alis hingga tipis dan indah. Tetapi riwayat dari Sayidatina Aisyah RA membolehkan penghilangan bulu alis dan bulu di wajah. Pendapat terakhir ini sesuai dengan keterangan yang lalu yaitu pendapat yang mu‘tamad membolehkan pencukuran seluruh bulu perempuan kecuali rambut. Larangan di dalam hadits ini bisa dimengerti bagi perempuan yang dilarang untuk berhias seperti perempuan yang ditinggal wafat suaminya dan perempuan yang suaminya tanpa kabar entah di mana.

Khalil berkata, perempuan yang ditinggal wafat suaminya meskipun belum dewasa, meskipun ahli kitab, perlu meninggalkan aktivitas berhias. Demikian juga perempuan yang suaminya tanpa kabar entah di mana. Tiada halangan untuk menakwil dalil yang memiliki sejumlah kemungkinan makna ketika ada isyarat yang mencegah salah satu makna. Mencabut bulu alis di sini tidak bisa dikatakan sebagai kategori “mengubah ciptaan Allah”. Hemat kami, tidak semua “mengubah ciptaan Allah” itu dilarang. Coba perhatikan, sesuatu yang memang fitrahnya seperti berkhitan, memotong kuku, mencukur rambut, mengebiri hewan yang boleh dimakan, dan banyak lagi contoh lainnya, diperbolehkan. (Lihat Ahmad bin Ghanim An-Nafrawi Al-Azhari Al-Maliki [wafat 1126 H], Al-Fawakihud Dawani ala Risalah Ibni Zaid Al-Qairuwani, Darul Fikr, Beirut).

Pada prinsipnya Islam memang tidak mengharamkan laki-laki maupun perempuan untuk berhias. Karena Allah memang menitipkan tubuh kita sebagai anugerah-Nya untuk dijaga dan dirawat. Sejauh tidak melanggar rambu-rambu yang disebutkan oleh Rasulullah SAW, berhias sangat dianjurkan karena Islam menyukai kerapian baik rambut, kuku, kumis, dan lain sebagainya. Hanya saja untuk masalah mencukur bulu alis untuk kerapian perlu juga mempertimbangkan aspek kepantasan. Jangan sampai melebihi batas seperti mencukur habis alis hingga bulu di atas mata itu yang menjadi perhiasan wajah kehilangan fungsinya. Bukan kerapian yang didapat, justru keburukan keburukan yang ada.

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga jawaban ini bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima masukan dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb


(Alhafiz Kurniawan)

Ad Placement