PENYAMBUNG WARTA: Bersuci
Tampilkan postingan dengan label Bersuci. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bersuci. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Maret 2019

BAGAIMANA JIKA TERSISA BAU DETERGEN PADA PAKAIAN YANG DIBILAS DARI NAJIS?



Kebersihan adalah hal yang sangat diperhatikan oleh Islam. Salah satunya adalah dengan adanya pensyariatan izalatun najasah (menghilangkan najis). Pakaian yang hendak digunakan untuk shalat, harus suci dari najis.

Sudah menjadi hal yang sangat lumrah di masyarakat ketika mencuci pakaian, menggunakan deterjen/sabun cuci. Demikian pula saat menghilangkan najis dari pakaian, tidak bisa dilepaskan dari deterjen.

Praktik yang umum terjadi adalah setelah menghilangkan bentuk najis dan sifat-sifatnya, masih menyisakan bau deterjen yang digunakan untuk menghilangkan bentuk najis dan sifat-sifatnya. Bagaiamana fikih menyikapi hal yang demikian?

Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, tata cara menghilangkan najis adalah terlebih dahulu menghilangkan bentuk najis dan sifat-sifatnya, meliputi warna, rasa, dan bau. Setelah semuanya hilang, pakaian dalam konteks ini baru dibilas menggunakan air yang jernih.

Lalu bagaimana jika setelah dibilas, masih menyisakan bau deterjen?

Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat Syekh Al-Thabalawi, hukumnya suci. Menurutnya, yang menjadi tolak ukur adalah hilangnya najis dan sifat-sifatnya sehingga sisa bau deterjen tidak memberikan pengaruh apapun. Berpijak dari pendapat ini, pakaian dan air menjadi suci dan sudah dianggap mencukupi dalam menghilangkan najis.

Sementara menurut pandangan Syekh Muhammad Al-Ramli, status pakaian itu tetap najis. Menurutnya, dalam kondisi demikian, najis telah bercampur dan melebur menjadi satu dengan deterjen.

Ar-Ramli menganalogikan permasalahan ini dengan kasus pakaian yang disablon dengan pewarna yang najis. Menurut Al-Ramli, pakaian tersebut tidak bisa menjadi suci sampai bau deterjen hilang sehingga air pembilasnya menjadi betul-betul jernih. Namun demikian, menurutnya hukumnya ma’fu (dimaafkan) untuk kadar yang sulit dihilangkan dari bau deterjen.

Syekh Ali bin Ahmad Bashabrin Al-Hadhrami menegaskan:

قوله (مسألة) لو زالت النجاسة بالاستعانة بالصابون وبقي ريح الصابون طهر قاله الطبلاوي وقال (م ر) لا تطهر حتى تصفو الغسالة إهـ

Artinya, “Sebuah permasalahan. Jika najis hilang dengan sabun dan masih tersisa bau sabun, maka ia suci. Hal ini dikatakan oleh Syekh At-Thabalawi. Sedangkan Imam Ar-Ramli berkata, tidak suci sampai basuhan pembilasnya menjadi jernih,” (Lihat Syekh Ali bin Ahmad Bashabrin Al-Hadhrami, Itsmidul ‘Ainain fi Ba’dhi Ikhtilafis Syaikhaini, halaman 12).

Dalam referensi lain disebutkan:

قوله (فرع) إذا غسل ثوبا متنجسا بالصابون حتى زالت عين النجاسة قال م ر جوابا بالسؤال على الفور يصير لأثر الصابون حكم الصبغ فلا يطهر حتى تصفو الغسالة من لون الصابون مع عدم الزيادة ثم قال ينبغي أن المقدار الذي يشق استقصاؤه يكون معفوا عنه فليتأمل إهـ سم

Artinya, “Cabangan permasalahan. Jika seseorang membasuh pakaian najis dengan sabun hingga bentuk najis menjadi hilang, Imam Ar-Ramli menjawab pertanyaan tersebut dengan cepat bahwa sisa sabun memiliki hukum yang sama dengan permasalahan pewarna, maka tidak suci sampai basuhan pembilasnya jernih dari warna sabun serta tidak bertambah kadarnya. Kemudian ia berkata, seyogianya kadar (sisa sabun) yang sulit diusahakan hilang hukumnya dimaafkan,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal ‘ala Fathil Wahhab, juz I, halaman 193).

Demikian penjelasan tentang problematika ini. Walhasil, dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Kita diperbolehkan untuk mengikuti masing-masing dari kedua pendapat tersebut, dengan tetap saling menghormati dan menghargai pihak lain.

Hanya saja, sebaiknya saat mencuci pakaian najis dengan deterjen, menggunakan tata cara yang disepakati oleh ulama. Sebab keluar dari ikhtilaf ulama hukumnya sunah.

Tata cara yang paling ideal dan disepakati oleh para ulama adalah setelah bentuk dan sifat-sifat najis hilang dengan deterjen, pakaian diperas dan dibilas dengan air jernih sampai bau deterjen hilang. Setelah bau deterjen hilang, baru dibilas untuk yang terakhir kalinya dengan air jernih. Wallahu a’lam.

Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.Nu.or.id

Minggu, 24 Februari 2019

MEMAKAI PLASTER LUKA, WAJIBKAH MELEPASNYA SAAT WUDHU?



Luka di tubuh bisa memunculkan sejumlah persoalan, termasuk dalam konteks keabsahan ritual bersuci seperti wudhu dan mandi wajib. Jika hanya sebatas luka ringan dan ia tidak membalutnya dengan plester perekat luka atau perban, maka dalam hal ini cara bersucinya sama persis seperti cara bersuci biasanya yakni membasuh seluruh bagian tubuh yang wajib dibasuh, termasuk membasuh luka itu.

Namun jika luka ringan tersebut dibalut dengan plester perekat luka dengan tujuan agar luka ringannya cepat sembuh, maka dalam hal ini wajib baginya untuk mencopot plester tersebut serta membersihkan sisa-sisa kotoran perekat plester yang biasa melekat pada kulit. Tujuannya, agar air dapat sampai pada kulit yang wajib dibasuh, pada kulit di sekitar bagian luka bila memang luka tidak boleh terkena air. Umumnya, luka yang dibalut plester hanyalah luka ringan yang tak membahayakan kulit atau anggota tubuh seandainya plester dilepas. Ketentuan demikian seperti dijelaskan dalam kitab al-Bayan fi Madzhab al-Imam as-Syafi’i:

فإذا وضع الجبيرة، ثم أراد الغسل أو الوضوء، فإن كان لا يخاف من نزعها ضررً نزعها وغسل ما يقدر عليه من ذلك، وتيمم عما لا يقدر عليه

“Ketika melekatkan perban, lalu ia hendak melaksanakan mandi wajib atau wudhu, maka jika ia tidak khawatir adanya bahaya (ketika perban dilepas) maka wajib untuk melepas perban tersebut dan wajib pula membasuh bagian yang dapat dibasuh dari luka tersebut dan wajib tayammum atas bagian yang tidak dapat dibasuh.” (Syekh Yahya bin Abi al-Khair bin Salim al-Yamani, al-Bayan fi Madzhab al-Imam as-Syafi’i, juz 1, hal. 331)

Sedangkan jenis luka yang selain menggunakan pembalut luka (plester), seperti luka berat yang biasa diperban atau dipasang gips, maka tidak wajib untuk melepasnya ketika memang khawatir akan terjadi bahaya pada dirinya. Batasan khawatir terjadinya bahaya (dlarar) pada permasalahan ini adalah sekiranya ketika perban atau gips dilepas, akan terjadi bahaya (1) hilangnya nyawa, (2) hilangnya fungsi anggota tubuh, (3) sembuhnya luka semakin lama, atau (4) bertambah sakitnya luka. Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam lanjutan referensi di atas:

وإن خاف من نزعها تلف النفس، أو تلف عضو، أو إبطاء البرء أو الزيادة في الألم إذا قلنا: إنه كخوف التلف.. لم يلزمه حلها، ولزمه غسل ما جاوز موضع الشد، والمسح على الجبيرة

Namun jika perban tersebut dilepas ia khawatir salah satu dari rusaknya tubuh (hilangnya nyawa) atau anggota tubuh atau kesembuhan yang lama atau bertambah parahnya luka -ketika kita berpijak  pada pendapat bahwa hal tersebut sama seperti khawatir rusaknya tubuh- maka tidak wajib untuk melepas perban, namun tetap wajib membasuh anggota tubuh  di luar ikatan perban dan mengusap dengan air pada perban tersebut” (Syekh Yahya bin Abi al-Khair bin Salim al-Yamani, al-Bayan fi Madzhab al-Imam as-Syafi’i, Juz 1, Hal. 331)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melepas plester perekat luka adalah hal yang wajib dilakukan ketika hendak melakukan wudhu atau mandi wajib, sebab tidak tergolong sebagai luka yang membahayakan ketika plester dilepas. Sedangkan dalam hal wajib tidaknya membasuhkan air pada luka tersebut, maka diperinci: seandainya luka tidak bahaya jika terkena air maka wajib untuk dibasuh; namun jika akan terjadi bahaya maka tidak wajib membasuh luka tersebut dengan air, namun diganti dengan tayammum. Wallahu a’lam.


Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri. NU.or.id

Jumat, 24 Agustus 2018

PAKAIAN YANG BERKOTORAN DARAH NYAMUK YANG MENEMPEL PADA BADAN YANG MASIH BASAH



Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya memakai pakaian yang berkotoran dengan darah nyamuk, setelah mandi biasa (tidak wajib) pakaiannya menempel dengan badannya yang masih basah. Apakah dimaafkan karena sulitnya menjaga?, Ataukah tidak?.

Jawab :

Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat, menurut Imam Mutawalli dimaafkan, tetapi menurut Imam lainnya tidak dimaafkan.

Keterangan, dari kitab:

I’anah al-Thalibin [1]
وَاخْتَلَفَ فِيْمَا لَوْ لَبِسَ ثَوْبًا فِيْهِ دَمُ بَرَاغِيْثَ وَبَدَنُهُ رَطْبٌ فَقَالَ الْمُتَوَالِيُّ يَجُوْزُ وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ عَلِيٍّ لاَ يَجُوْزُ  لِأَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى تَلْوِيْثِ بَدَنِهِ وَبِهِ جَزَمَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِيّ تَفَقُّهًا.

Para ulama berbeda pandapat tentang memakai baju yang terkena darah nyamuk, sementara badannya basah. Al-Mutawalli berkata: “Boleh.”, dan  Syaikh Abu Ali berkata: “Tidak boleh, karena tidak ada kondisi darurat untuk mengotori badannya.” Dan dengan pendapat ini al-Muhib al-Thabari mantap dengan kajiannya.

[1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H/1997 M), Jilid I, h. 110.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 205 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-12 Di Malang Pada Tanggal 12 Rabiul Tsani 1356 H. / 25 Maret 1937 M.

Rabu, 22 Agustus 2018

BAGAIMANA SUJUD SHALAT ORANG YANG DAHINYA DIPERBAN?



Suatu ketika, terkadang seorang yang shalat berada di luar kondisi normal. Misalnya sedang menderita luka sehingga mengalami kendala yang mengharuskannya bersikap khusus dan mendapat keringanan khusus dari syara’ (rukhshah) ketika menjalankan ibadah wajib.

Di antara kasus yang muncul dalam persoalan ini adalah seorang yang menderita luka di bagian dahinya sehingga harus dibalut dengan perban yang menutup salah satu anggota sujud, yaitu dahi. Pertanyaan yang sering terlontar adalah apakah sah sujud dengan kondisi ada balutan tersebut? Apakah perlu qadha (mengganti di waktu lain) shalat atau bahkan i'adah (mengulang) shalat bilamana kondisinya sudah sembuh?

Para pembaca yang budiman, alangkah beratnya syariat ini bila kondisi yang sedemikian rupa ini mengharuskannya untuk mengulang shalat saat kondisi mushalli (orang yang shalat) sudah sembuh. Demikian juga, alangkah beratnya bila ia harus melakukan qadha’ sejumlah shalat selama ia sakit. Padahal, ada prinsip yang harus dipegang dalam agama, yaitu:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر 

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Ia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS Al-Baqarah: 185)

Di dalam ayat lain, Allah berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ أن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ الإنسَانُ ضَعِيفًا

Artinya: “Allah menghendaki untuk meringankan kalian. Telah diciptakan manusia dengan sifat lemah.” (QS. Al-Nisa’: 28)

Kedua ayat ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa yang dikehendaki syariat adalah kemudahan seorang hamba di dalam menjalankannya, dan di dalam menyatakan diri tunduk beribadah kepada Allah dalam segala kondisi. Allah Maha-Mengetahui bahwa manusia adalah lemah. Oleh karenanya, berlaku syariat rukhshah (keringanan) bagi seorang hamba untuk hal/kondisi yang memang ia harus mendapatkan perlakuan khusus dalam syara’.

Menjawab contoh permasalahan di atas adalah kita harus mengingat kembali dengan topik permasalahan shalatnya orang yang tidak bisa melakukan gerakan shalat dengan sempurna. Ketika shalat orang yang tidak bisa bergerak sama sekali dan harus dalam kondisi terbaring sakit, maka boleh baginya melakukan shalat dengan jalan memberi isyarat. Demikian pula dengan shalat orang yang terpaksa harus melaksanakan dengan tanpa bisa melakukan ruku’ dan sujud, maka ia diharuskan melakukan gerakan ruku’ dan sujud dengan jalan menunduk. Untuk posisi sujud, kondisi menunduk sedikit lebih rendah dibanding menunduk untuk posisi ruku’.

Shalat dengan tata cara sebagaimana dijelaskan di atas dipandang sah oleh syariat, sehingga tidak perlu lagi melakukan qadha’ shalat, atau bahkan i’adah shalat. Lantas bagaimana dengan shalatnya orang yang dahinya diperban? Bilamana gerakan shalat sambil isyarat saja dipandang sah, tentu gerakan shalat orang dengan perban menutup dahi adalah lebih sah. Logika semacam ini dalam usul fiqh disebut qiyas aulawi.

Alasan inilah kemudian yang mendorong Syekh Taqiyuddin Abu Bakar al-Husni dalam kitab Kifâyatul Akhyâr menyebutkan bahwa:

لو كان على جبهته جراحة وعصبها وسجد على العصابة أجزأه ولا قضاء عليه على المذهب لأنه إذا سقطت الإعادة مع الإيماء بالسجود فهنا أولى ولو عجز عن السجود لعلة أومأ برأسه فإن عجز فبطرفه ولا إعادة عليه

Artinya: “Seandainya ada luka menutup dahi seseorang sehingga mengharuskan diperban, kemudian ia melakukan gerakan sujud dengan tetap di atas perban itu, maka hal tersebut adalah mencukupi. Menurut mazhab Imam Syafi’i, ia tidak perlu qadha’ sebab jika mengulang shalat (i’adah) saja tidak diperlukan untuk orang yang shalat dengan isyarat ketika sujud, maka kondisi mushalli dengan perban seperti ini adalah lebih utama untuk mendapatkan keringanan gugurnya wajib i’adah. Bahkan disebutkan seandainya ada seseorang terkendala melakukan sujud disebabkan karena adanya penyakit, lalu ia sujud dengan memberi isyarat dengan tundukan kepalanya, atau dengan kedipan matanya, maka baginya tidak ada keharusan i’adah shalat.” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hushni, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya, Al-Hidayah, 1993: 1/108)

Dengan bahasa lain, apabila i’adah shalat saja tidak diperlukan bagi “mushalli dengan gerakan isyarat”, apalagi qadha’ shalat. Tentu lebih tidak diperlukan. Dengan demikian, kesimpulan hukum dari permasalahan orang yang shalat dengan kondisi luka balutan menutupi anggota sujud, namun ia tidak atau belum bisa melakukan gerakan sempurna ruku’ dan sujud, adalah boleh dan sah shalatnya. Lakukanlah ruku’ atau sujud dengan cara sesuai kemampuan. Baginya juga tidak perlu qadla’ shalat setelah sembuh serta tidak perlu i’adah (mengulangi shalat). Wallâhu a’lam bish shawâb. (Muhammad Syamsudin)

Senin, 20 Agustus 2018

BERSENTUHAN KULIT LAKI-LAKI DENGAN KULIT PEREMPUAN LAIN TANPA BERALING-ALING



Pertanyaan :

Apakah batal wudhu seseorang yang bermazhab Syafi’i karena menyentuh perempuan lain? Karena di antara orang tertentu, mengatakan tidak batal.

Jawab :

Sesungguhnya bersentuhan kulit lelaki dengan kulit perempuan lain (tidak mahram) dengan tidak beraling-aling itu membatalkan wudhu, menurut madzhab Syafi’i dengan tidak ada selisih di antara ulama Syafi’i.

Keterangan, dari kitab:

Fath al-Mu’in [1]
وَرَابِعُهَا تَلاَقِيْ بَشَرَتَيْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَلَوْ بِلاَ شَهْوَةٍ وَإِنْ كَانَ اَحَدُهُمَا مُكْرَهًا أَوْ مَيِّتًا.

Dan yang keempat (yang membatalkan wudhu) adalah bertemunya dua kulit pria dan wanita, walaupun tanpa syahwat, dan salah satu dari keduanya dalam keadaan dipaksa atau menjadi mayat.

[1] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in dalam al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid I, h. 64.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 178 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-10 Di Surakarta Pada Tanggal 10 Muharram 1354 H. / April 1935 M.

Senin, 18 Juni 2018

TIDAK MENGETAHUI SYARAT RUKUNNYA WUDHU, MEMASUKI THARIQAH



Pertanyaan :

Bolehkah orang awam yang tidak mengetahui syarat  rukun wudhu, shalat dan sebagainya, memasuki thariqah mu’tabarah? Karena biasanya mereka tidak mau mempelajari pengetahuan agama sesudah masuk thariqah.

Jawab :

Boleh. Apabila mempunyai keyakinan atau perkiraan bahwa sesudah masuk thariqah akan dapat mempelajari pengetahuan agama, akan tetapi bila tidak, seperti tersebut dalam soal, maka hukumnya tidak boleh, bahkan lebih dahulu wajib mempelajari dasar-dasar pokok agama (ushuluddin). Dan kemudian baru perinciannya (hukum ibadahnya).

Keterangan, dari kitab:

Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’[1]

وَكَذَا الطَّرِيْقَةُ وَالْحَقِيْقَةُ يَا أَخِيْ. مِنْ غَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ تَحْصُلاَ. فَالْمُؤْمِنُ وَإِنْ عَلَتْ دَرَجَتُهُ وَارْتَفَعَتْ مَنْزِلَتُهُ وَصَارَ مِنْ جُمْلَةِ اْلأَوْلِيَاءِ لاَ تَسْقُطُ عَنْهُ الْعِبَادَاتُ الْمَفْرُوْضَةُ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مَنْ صَارَ وَلِيًّا وَصَلَ إِلَى الْحَقِيْقَةِ سَقَطَتْ عَنْهُ الشَّرِيْعَةُ فَهُوَ ضَالٌّ مُضِلٌّ مُلْحِدٌ.

Demikian halnya thariqah dan haqiqah wahai saudaraku tanpa disertai pengamalan syariat, maka keduanya tidak akan berhasil. Seorang mukmin walaupun sudah sangat tinggi derajat dan kedudukannya, dan ia termasuk para wali, segala ibadah yang diwajibkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetap tidak gugur dari dirinya. Maka barangsiapa menyangka seseorang yang telah menjadi wali yang mencapai haqiqah maka syariat tidak berlaku lagi baginya, maka ia termasuk orang yang sesat, menyesatkan dan anti tuhan (atheis).

[1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, (Semarang: Usaha keluarga, t. th.), 12.



Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 115

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-6

Di Pekalongan Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H. / 27 Agustus 1931 M.

Sabtu, 10 Februari 2018

CARA MUDAH MENYUCIKAN NAJIS DI KASUR TANPA MESTI MENCUCINYA



Kita mungkin pernah mendapati ada kotoran binatang, air kencing, atau barang najis lain melekat di tengah-tengah karpet atau kasur. Untuk menyucikannya, sebagian orang mengangkat karpet atau kasur tersebut, lalu mencucinya: menyiram langsung air ke area najis atau keseluruhan permukaan kasur atau karpet hingga barang najis itu benar-benar hilang.

Meski sah dalam menyucikan, cara tersebut tergolong merepotkan, apalagi untuk jenis karpet berbulu atau kasur berbusa, dan berukuran besar, karena akan memperlukan tenaga ekstra dan waktu pengeringan yang lebih lama. Sebenarnya ada cara yang lebih efisien dan efektif dari sekadar mencuci karpet atau kasur itu dengan cara-cara yang melelahkan.

Dalam fiqih, hal pokok yang menjadi perhatian dalam persoalan najis adalah warna, bau, dan rasa. Karena itu, fiqih Syafi’iyah membedakan antara najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah. Yang pertama adalah najis berwujud (terdapat warna, bau, atau rasa); sedangkan yang kedua adalah najis tak berwujud (tak ada warna, bau, atau rasa) tapi tetap secara hukum berstatus najis. Air kencing yang merupakan najis ‘ainiyah dianggap berubah menjadi najis hukmiyah ketika air kencing tersebut mengering hingga tak tampak lagi warna, bau, bahkan rasanya.

Cara menyucikan kedua najis itu juga berbeda. Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’în bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmâtid Dîn menjelaskan bahwa najis 'ainiyah disucikan dengan cara membasuhnya hingga hilang warna, bau, dan rasanya. Sementara najis hukmiyah disucikan dengan cara cukup menuangkan air sekali di area najis.

Kembali pada kasus karpet atau kasur terkena najis di atas, bagaimana cara mudah dalam menyucikannya?

Pertama, membuat najis ‘ainiyah di karpet atau kasur berubah menjadi najis hukmiyah. Secara teknis, seorang harus membuang/membersihkan najis itu hingga tak tampak warna, bau, dan rasanya (cukup dengan perkiraan, bukan menjilatnya). Di tahap ini mungkin ia perlu menggunakan sedikit air, menggosok, mengelap, atau cara lain yang lebih mudah. Selanjutnya, biarkan mengering, dan tandai area bekas najis itu karena secara hukum tetap berstatus najis.

Kedua, tuangkan air suci-menyucikan cukup di area najis yang ditandai itu, maka sucilah kasur atau karpet tersebut, meskipun air dalam kondisi menggenang di atasnya atau meresap ke dalamnya. Cara yang sama juga bisa kita lakukan pada najis yang mengenai lantai ubin, sofa, bantal, permukaan tanah, dan lain-lain.

Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari menerangkan:

لَوْ أَصَابَ الأَرْضَ نَحْوُ بَوْلٍ وَجَفَّ، فَصُبَّ عَلى مَوْضِعِهِ مَاءٌ فغَمره طهُرَ ولو لمْ يَنْصُبْ، أي: يغُورُ، سواء كانت الأرضُ صُلبةً أم رَخْوَةً

Artinya: “Seandainya ada tanah yang terkena najis semisal air kencing lalu mengering, lalu air dituangkan di atasnya hingga menggenang, maka sucilah tanah tersebut walaupun tak terserap ke dalamnya, baik tanah itu keras ataupun gembur.” (Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’în bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmâtid Dîn [Beirut: Dar Ibnu Hazam, 2004], halaman 78)

Keterangan tersebut berlaku untuk najis level sedang (mutawasithah) seperti ompol bayi usia lebih dari dua tahun, kotoran binatang, darah, muntahan, air liur dari perut, feses, atau sejenisnya.

Sementara air kencing bayi laki-laki kurang dua tahun yang belum mengonsumsi apa pun kecuali ASI (masuk kategori najis level ringan atau mukhaffafah) dapat disucikan dengan hanya memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Tidak disyaratkan air harus mengalir, hanya saja percikan mesti kuat dan volume air harus lebih banyak dari air kencing bayi tersebut. Namun, bila air kecing itu mengering, kucuran sekali air sudah cukup menyucikannya.

Dengan demikian, bila najis itu memang didapati cuma sedikit, kita tak perlu repot-repot mencuci seluruh permukaan kasur/karpet, mengepel semua permukaan lantai, atau mengguyur seluruh permukaan bantal, dan seterusnya. Cukup dua langkah saja: menghilangkan sifat-sifat najis itu lalu menuangkan air suci-menyucikan di atas area bekas najis. Wallahu a’lam. (Mahbib)

Seperti disampaiakn dari nu.or.id

Rabu, 25 Oktober 2017

TIGA MACAM NAJIS DAN CARA MENYUCIKANNYA

Ilustrasi (© shutterstock)

Secara bahasa najis berarti segala sesuatu yang dianggap kotor meskipun suci. Bila berdasarkan arti harfiah ini maka apa pun yang dianggap kotor masuk dalam kategori barang najis, seperti ingus, air ludah, air sperma dan lain sebagainya. Sedangkan secara istilah ilmu fiqih najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya ibadah shalat (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah: 2008], hal. 72).

Di dalam fiqih najis dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni najis mukhaffafah, najis mutawassithah, dan najis mughalladhah. Sebagaimana ditulis oleh para fuqaha dalam kitab-kitabnya, salah satunya oleh Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safiinatun Najaa:

فصل النجاسات ثلاث: مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين والمتوسطة سائر النجاسات

Artinya:“Fashal, najis ada tiga macam: mughalladhah, mukhaffafah, dan mutawassithah.Najis mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.”

Untuk lebih rincinya perihal apa saja yang termasuk barang najis—terutama najis mutawassithah—silakan baca artikel berjudul  "Mengenal Barang-barang Najis Menurut Fiqih"
.
Ketiga kategori najis tersebut masing-masing memiliki cara tersendiri untuk menyucikannya. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana cara menyucikan ketiga najis tersebut perlu diketahui istilah “najis ‘ainiyah” dan “najis hukmiyah” terlebih dahulu.

Najis ‘ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyah tidak ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa. Dengan kata lain najis ‘ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya, sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih dihukumi najis. Pengertian ini akan lebih jelas pada pembahasan tata cara menyucikan najis.

Adapun tata cara menyucikan najis sebagai berikut:

1. Najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum dibasuh dengan air mesti dihilangkan terebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya. Dengan hilangnya wujud najis tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun secara hukum (hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena belum dibasuh dengan air.

Untuk benar-benar menghilangkannya dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan dimana salah satunya dicampur dengan debu. Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara:

Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebi utama dibanding cara lainnya.

Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

2. Najis mukhaffafah yang merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan minum selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara memercikkan air ke tempat yang terkena najis.

Cara memercikkann air ini harus dengan percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang dipercikkan juga mesti lebih banyak dari air kencing yang mengenai tempat tersebut. Setelah itu barulah diperas atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang dipakai untuk menyucikan harus mengalir.

3. Najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ‘ainiyah-nya. Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru kemudian menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan.

Sebagai contoh kasus, bila seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu, umpamanya, maka langkah pertama untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai. Ini berarti najis ‘ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah. Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak adanya warna, bau dan rasa dan lantai juga terlihat kering) baru kemudian menyiramkan air ke lantai yang terkena najis tersebut. Tindakan menyiramkan air ini bisa juga diganti dengan mengelapnya dengan menggunakan kain yang bersih dan basah dengan air yang cukup.

Mengetahui macam dan tata cara menyucikan najis adalah satu ilmu yang mesti diketahui oleh setiap muslim mengingat hal ini merupakan salah satu syarat bagi keabsahan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Ad Placement