PENYAMBUNG WARTA: Muamalah
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Mei 2019

HADIS NABI: GAJI KARYAWAN DI BAWAH UMR ITU ZALIM, BENARKAH?

ilustrasi


Hubungan antara perusahaan dengan karyawan adalah akad ijarah, bantuknya akad jual beli jasa. Dan idealnya dalam jual beli jasa, karyawan dan perusahaan sama-sama mengetahui nilai upah yang disepakati. Agar tidak menimbulkan sengketa ketika kerja sudah dilakukan.

Dari Abu Said al-Khudri RA, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mempe-kerjakan orang, sampai dijelaskan berapa nilai upahnya (di awal kontrak kerja). (HR. Ahmad no 11565)

Bagaimana jika upah tidak disebutkan di awal kontrak kerja, sementara pekerjaan sudah berlangsung?

Beberapa perusahaan, ketika ada karyawan yang diterima kerja, mereka langsung diminta kerja tanpa dijelaskan berapa nilai upahnya. Terkadang karyawan ngertinya hanya terima gaji tiap bulan.

Jika semacam ini terjadi maka nilai upah karyawan mengacu kepada nilai upah semisal yang umumnya berlaku di masyarakat untuk tingkat pekerjaan yang sama seperti yang disebutkan. Upah semacam ini disebut ujrah al-mitsl [أجرة المثل]

Ada kaidah Fiqh mengatakan,

العادة محكَّمة
“Kebiasaan (masyarakat) bisa menjadi (sumber) hukum” yaitu mengikuti kebiasaan masyarakat setempat soal upah.”

Bagaiman jika pemerintah telah menetapkan standar Upah minimal atau UMR?

Menurut Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum berdasarkan wilayah provinsi (Upah Minimum Provinsi, UMP) atau berdasarkan kabupaten/kota (Upah Minimum Kabupaten/Kota, UMK) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).

Dengan kehadiran UU ketenagakerjaan ini maka semua perusahaan terutama kantor pemerintahan wajib hukumnya mengikuti stsndar UMR, kerena UMR bagian dari kesepakatan yang wajib di ikuti semua warga negara.

Apabila ada yang tidak mengikuti berarti telah melanggar UU Ketenagakerjaan dan dosa menurut agama serta dzolim secara sosial.

Nah, Bagaimana jika ada perusahaan yg tidak mampu menggaji karyawan sesuai standar UMR?

Dengan alasan perusahaan masih kecil atau sedang pailit maka solusinya menurut islam sebagai berikut;

Bikinlah perjanjian kesepakatan  di awal antara perusahaan atau kantor dengan karyawan di saat awal bekerja.

Umar bin Khatab pernah memberikan kaidah,

إِنَّ مَقَاطِعَ الْحُقُوقِ عِنْدَ الشُّرُوطِ
Sesungguhnya bagian-bagian hak itu harus dipersyaratkan (di awal). (Riwayat Imam Bukhari secara muallaq).

jika perusahaan hendak memberikan gaji  kurang dari UMR, maka wajib di jelaskan di depan, sewaktu penerimaan karyawan. Selanjutnya, karyawan berhak untuk menentukan pilihan, antara melanjutkan jadi karyawan dengan upah di bawah UMR atau memilih mundur.

Akan tetapi, bila melihat Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum (“Kepmenaker 231/2003”) no 2 bahwa Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

UU Ini menjelaskan bahwa perusahaan tidak cukup melakukan perjanjian kesepakatan dengan karyawan saja, akan tetapi harus mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum kepada pemerintah Demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan umat.

Selamat hari buruh, 1 Mei 2019

Allahu a’lam.

Oleh Ustadz Fauzan Amin, Ikatan Sarjana Quran Hadis Indonesia
sumber laduni.id

Selasa, 02 April 2019

BEGINILAH HUKUM MEMBAYAR HUTANG DENGAN UANG HARAM

Ada seorang yang bernama Ali menghutangkan uang kepada Aris, dan ditentukan batas akhir pengembaliannya. Setelah waktunya habis Ali meminta pengembalian hutang tersebut. Karena suatu hal Aris mengembalikan hutang tersebut dengan jalan yang haram misalnya mencuri, sedangkan Ali tahu akan cara yang dilakukan oleh Aris tersebut.

Apakah Ali ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh Aris, apabila Ali menerima pembayaran tersebut padahal dia hanya berniat mengambil alih haknya yang terdapat pada Aris?
Adakah perbedaan hukum antara permasalahan diatas dengan orang yang menerima pemberian dari orang yang barangnya didapat dari barang haram dan orang itupun tahu terhadap jalan pendapatan barang tersebut?
Apakah bisa direlevansikan antara kasus Ali dan Aris dengan pajak wajib, di mana pemerintah dijadikan pihak yang memberikan hutang dan rakyat (baik badan usaha atau bukan) dijadikan pihak yang berhutang (wajib membayar pajak). Namun ada sebagian pihak rakyat yang wajib membayar pajak, membayarnya dari uang haram. Misalnya prostitusi dan pemerintah pun menerima pajak tersebut karena pajak itu hak pemerintah. Jadi adakah kesamaan hukum antara permasalahan ini dengan kasus Ali dan Aris. Mohon disertai dalil-dalilnya
Jawaban:

Si Ali tidak ikut menanggung dosa si Aris, karena si Ali tidak mengetahui perbuatan dosa yang dilakukan oleh si Aris.
Jelas berbeda
Ada.
Dasar pengambilan:

Kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 355

قَالَ فِى المَجْمُوعِ يُكْرَهُ الأَخْذُ مِمَّنْ بِيَدِهِ حَلاَلٌ وَحَرَامٌ كَالسُّلْطَانِ الجَائِرِ. وَتَخْتَلِفُ الكَرَاهَةُ بِقِلَّةِ الشُّبْهَةِ وَكَثْرَتِهَا, وَلاَ يَحْرُمُ إلاَّ إنْ تَيَقَّنَ أَنَّ هَذَا مِنَ الحَرَامِ.

Mushannif (pengarang kitab) berkata dalam kitab Al Majmu’: ”Makruh mengambil (bantuan/pemberian) dari orang yang padanya ada harta yang halal dan haram seperti penguasa yang durhaka. Kemakruhan ini berbeda tingkatnya dengan sedikit dan banyaknya kesubhatan. Dan tidak haram menerima pemberian kecuali jika seseorang yang menerima yakin bahwa pemberian tersebut dari harta yang haram.

sumber laduni.id

Minggu, 02 Desember 2018

INI TIGA PENDUSTA AGAMA



Kata “pendusta agama” dapat ditemukan di Al-Quran pada awal Surat Al-Ma‘un. Kata ini masuk ke dalam kalimat pertanyaan yang segera dijawab pada ayat selanjutnya. Pendusta agama pada ayat ini bukan ia yang abai dengan simbol-simbol formal agama, tetapi ia yang tidak berjiwa sosial. Surat ini mengingatkan kita yang cenderung beragama lebih secara formal.

Kata “pendusta agama” pada ayat ini dikaitkan dengan ketidakpedulian seseorang yang mengaku beragama terhadap masyarakat yang terbelakang secara ekonomi dan unsur masyarakat yang terlantar.

Berikut ini adalah tiga ayat pertama Surat Al-Ma‘un.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ.فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ.وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Artinya, “Tahukah kau (wahai Muhammad) siapa orang yang mendustakan agama? Dia adalah orang yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin,” (Surat Al-Ma‘un ayat 1-3).

Sementara Imam Hatim bin Ulwan Al-Asham juga mengaitkan bukti pengakuan cinta agama seseorang dan perilaku keseharian yang bersangkutan. Pasalnya, banyak orang yang mengaku cinta Allah, cinta Rasulullah SAW, dan cinta surga memiliki perilaku yang berjauhan dengan semangat agama itu sendiri.

وقال حاتم بن علوان قدس سره من ادعى ثلاثا بغير ثلاث فهو كذاب: من ادعى حب الله تعالى من غير ورع عن محارمه فهو كذاب، ومن ادعى محبة النبي من غير محبة الفقر فهو كذاب ومن ادعى حب الجنة من غير إنفاق ماله فهو كذاب.

Artinya, “Hatim bin Ulwan Al-Asham mengatakan, ‘Siapa saja yang mengaku tiga hal tanpa disertai tiga hal, maka ia pendusta. Pertama, siapa saja yang mengaku cinta Allah tanpa sikap wara’ dari yang diharamkan, maka ia pendusta. Kedua, siapa saja yang mengaku cinta Nabi Muhammad SAW tanpa sikap ‘mencintai’ kefakiran, maka ia pendusta. Ketiga, siapa saja yang mengaku cinta surga tanpa menginfakkan hartanya, maka ia pendusta,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten dalam Syarah Qami'ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 5).

Agama Islam memiliki tuntutan formal yaitu shalat, zakat, puasa, haji, muamalah, perkawinan, dan sebagainya. Tanggung jawab umat Islam tidak selesai hanya dengan menunaikan tuntutan formal tersebut. Agama Islam juga memiliki tuntutan sosial yang sama wajibnya dengan tuntutan formal.

Adapun orang yang mencintai Nabi Muhammad SAW secara formal bisa dibuktikan dengan jumlah bacaan shalawat. Tetapi cinta kepada Nabi Muhammad SAW dapat dibuktikan dengan kepedulian terhadap anak yatim dan fakir miskin.

Mereka yang menderita kefakiran diharuskan tetap menjaga sunnah nabi, yaitu pergi ke pasar untuk berikhtiar, tidak bersikap pasif, dan tidak berbuat kalap karena kefakirannya.

Sebagaimana diketahui Imam Abu Abdirrahman Hatim bin Ulwan yang wafat pada tahun 237 H dijuluki Imam Hatim Al-Asham. Secara harfiah Imam Hatim Al-Asham berarti Syekh Hatim yang tuli karena pernah berpura-pura tuli karena menyelamatkan muka tamunya.

Ia merupakan seorang ulama yang menjadi kiblat masyarakat Khurasan di zamannya karena keilmuan dan kezuhudannya. Wallahu a‘lam.

Kamis, 05 Oktober 2017

SADARKAH KALIAN! YANG SUKA MENITIPKAN ANAK PADA ORANG TUA, KETAHUILAH DOSANYA!

ilustrasii gambar dari google.com

Di zaman saat ini ini, tak sedikit para ibu yang punyai pekerjaan di luar tempat tinggal menitipkan anaknya kepada kakek atau neneknya, entah semata-mata memberi sebagai bentuk bakti atau serupa gaji karena anak dititipi.

Tak dapat disangkal bahwa kewajiban mendidik anak adalah tanggungjawab utama orangtua kandung, karena mereka adalah amanat mulia yang dititipkan Allah pada kita dan insyaallah bisa menjadi investasi amal kebajikan di kemudian hari.

Namun, alih-alih memanfaatkan kesempatan menanamkan buah kebajikan pada anak, banyak orangtua yang mengalihkan sebagian besar waktu penjagaan kepada orang lain khususnya kepada ibu sendiri atau ibu mertua. Salah satu alasannya adalah demi mengejar karir.

Dalam masalah ini, cobalah kita bertanya pada diri kita sendiri dengan nurani. Apakah perbuatan kita tersebut bisa dikatakan benar dan bisa dibenarkan secara syariat atau tak?

Pertama, tanyakan dalam hati sanubari kita, apa sebenarnya yang melandasi perbuatan tersebut? Apakah karena orangtua kita lebih baik dalam mendidik anak-anak kita  Atau hanya demi mengejar karir?

Kedua, pastikan apakah orangtua kita merasa terhibur dengan kehadiran cucu-cucu di rumahnya setiap hari? Atau malah mengganggu kesibukan mereka, orangtua kita dengan usianya yang semakin senja dan tubuh yang tak seoptimal dahulu malah merasa kelelahan dan terbebani.

Apalagi jika kita tak memberikan bakti berupa uang lagi setelah orangtua kita berhenti menjaga anak-anak kita. takkah hal itu akan membuat orangtua merasa bahwa mereka hanya digaji karena menjaga anak-anak kita?

Perhatikanlah, jika niat kita hanya meraih jenjang karir yang tinggi kemudian orangtua terbebani maka perbuatan kita termasuk dzalim dan hal itu merupakan dosa.

Dosa karena telah mengesampingkan kewajiban mendidik anak sekaligus mendzalimi orangtua kita. Naudzubillah min dzalik.

Sumber: wajib baca

Rabu, 13 September 2017

DEBAT, DUSTA, CANDA DAN SURGA

Apa kaitannya antara debat, dusta, canda, dan surga? Jawabannya ada pada hadits berikut ini:

"Aku jamin rumah di dasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah di tengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaknya.” (Hadit Riwayat Abu Daud dalam Kitab Al-Adab, Hadits No. 4167. Dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Shahihah).

Nabi Sulaiman a.s. pernah mengigatkan anaknya: debat bisa menimbulkan permusuhan.

“Tinggalkanlah mira’ (jidal,berdebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (HR, Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897).

Sahabat Nabi Saw, Ibnu Abbas r.a, memandang "zhalim" bagi mereka yang suka mendebat.

“Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.” (Al-Fakihi dalam Akhbar Makkah).

Nabi Saw pernah marah kepada para sahabat yang berdebat, sebagaimana diriwayatkan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda : “Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa”.

Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari Abu Umamah r.a. Rasulullah Saw bersabda :

“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja””.

Hukum Berdebat dalam Islam

Islam melarang debat, kecuali perbedatannya memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1. Ikhlas semata-mata guna membela dan meninggikan kalimat Allah, bukan dengan niat untuk menjadi populer, riya', atau ingin dipandang "jago debat", "hebat", "cerdas", dan "alim" (berwawasan luas).

2. Orang yang berdebat harus mapan keilmuannya dalam masalah yang menjadi topik debat. Jika dia orang yang jahil, maka diharamkan atasnya.

3. Bertujuan menemukan kebenaran dengan argumentasi yang berdasarkan nash Al-Quran dan Hadits, bukan untuk menghinakan atau merendahkan.

4. Tidak boleh berdebat dengan orang yang tidak "open mind" (pikirannya terbuka) dan tidak takabur (menentang kebenaran).

"Janganlah engkau mendebat orang yang santun dan orang yang bodoh; orang yang santun mengalahkanmu, sedang orang yang bodoh menyakitimu.” (Al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23).

Dusta dalam Canda

Pernah menonton Stand Up Comedy? Di situ banyak stand-up comedian yang "mungkin terpaksa" berdusta, mengarang cerita, sebagai bahan canda agar penonton tertawa. Kita juga tidak jarang menyaksikan seorang penceramah, da'i, atau mubalig, mengemukakan "cerita dusta" (fiktif) agar hadirin tertawa.

Dusta dalam canda, berdasarkan hadits di atas, jelas dilarang dalam Islam. Meninggalkan debat, terutama "debat kusir", dan menjauhi dusta dalam canda, merupakan bagian dari akhlak mulia. Akhlak-lah yang menjadi penyebab seseorang masuk surga dengan kasih-sayang Allah SWT. Wallahu a'lam. 

sumber: risalahislam

ALASAN TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARRAM HIJRIYAH HARUS DIPERINGATI UMAT ISLAM

Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram Hijriyah adalah memperingati hijrah Nabi Muhammad Saw dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah pada 622 Masehi.


TAHUN Baru Islam 1 Muharram Hijriyah merupakan hari penting dan bersejarah bagi umat Islam. Awal tahun baru Islam menandai peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam, yaitu memperingati peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw dari Kota Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.

Di bulan Muharram juga ada amalan sunnah yang sangat dianjurkan, yakni Puasa Asy-Syura.

Merayakan atau memperingati tahun baru Islam 1 Muharram hakikatnya adalah mengenang kembali peristiwa hijrah sekaligus mendalami makna hijrah dan pengamalannya masa kini.

Kalender Hijriyah yang menjadasi sistem penanggalan kaum Muslim ini menjadikan hijrah sebagai awal perhitungan tahun dalam Islam. Kita pun sering mendengar/membaca istilah "Tahun Kedua Hijrah" dan semacamnya.

Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Zu'amaul Islam (1953) melukiskan penetapan hijrah sebagai awal tahun baru Islam sebagai berikut:

"Pada suatu hari Khalifah Umar bin Khathab memanggil dewan permusyawaratan untuk membicarakan perihal sistim penanggalan. Ali bin Ali Thalib mengusulkan agar penanggalan Islam dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah sebagai momentum saat ditinggalkannya bumi musyrik. Usul Ali kemudian diterima sidang. Khalifah Umar menerima keputusan sidang dan mendekritkan berlakunya Tahun Hijriyah. Peristiwa hijrah merupakan momentum zaman baru pengembangan Islam, melandasi kedaulatan Islam serta penampilan integritas sebagai agama sepanjang zaman".
Hijrah bukan sekadar pindah tempat tinggal atau pindah rumah. Hijrah yang merupakan perintah Allah SWT juga merupakan strategi perjuangan dalam dakwah Islam.

Dalam sidang penetapan sistem penanggalan Islam, ada yang mengusulkan awal tanggal Islam ditetapkan pada hari Rasulullah diangkat sebagai nabi dan rasul. Namun, karena para sahabat memahami Rasulullah Saw menentang "kultus individu", tidak ingin "didewakan".

Maka, para sahabat saat itu memilih usul Ali yang menyarankan awal tanggal Islam dimulai dari peristiwa hijrah.

Sejak penanggalan Islam (Hijriyah) didasarkan pada peredaran bulan (lunar), bukan peredaran matahari (solar) sebagaimana sistem penanggalan Masehi.

Karenanya, awal hari dalam Islam adalah waktu Magrib atau saat matahari tenggelam. Itulah sebabnya, umat Islam biasa menetapkan awal Ramadhan pada sore hari hingga Magrib karena awal hari dalam kalender Islam (Hijriyah) adalah awal malam itu.

Peringatan Tahun Baru Islam: Menggali Makna Hijrah

Memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharram Hijriyah bukan berarti meniru perayaan tahun baru Masehi.

Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram Hijriyah harus dilakukan sesuai dengan tujuan dijadikannya hijrah sebagai awal sistem penanggalan Islam, yakni memaknai dan mengamalkan hijrah.

Hijrah adalah bagian dari strategi dakwah yang berbuah berdirinya Daulah Islam di Madinah hingga terbentuknya Khilafah Islamiyah, termasuk Khulafaur Rasyidin, hingga Khilafah Turki Utsmaniyah (Ottoman Turki) sebagai khilafah terakhir dalam sejarah Islam. 

Hijrah masih berlaku hingga kini. Hijrah setelah Futuh Makkah, menurut Nabi Muhammad Saw, adalah "meninggalkan hal dilarang" alias melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.

Hijrah, sebagaimana peristiwa penting lain, juga mengandukung hikmah (pelajaran). Penggalian makna hijrah harus dilakukan dalam peringatan tahun baru Islam.
“Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 100)
“Muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti Muslim dengan lidah dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan semua apa yang Allah telah larang.”  (HR Bukhari).
"Sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111).

Alasan Tahun Baru Islam 1 Muharram Hijriyah Harus Diperingati Umat Islam, tapi bukan berarti wajib. Peringatan Tahun Baru Hijriyah juga demi syi'ar dakwah, sekaligus sosialisasi atau kampanye tahun Islam di kalangan umat sendiri. Wallahu a'lam bish-shawabi. 



Selasa, 26 Mei 2015

KETIKA SANDAL KITA HILANG DI MASJID



Jika anda seorang cowok muslim yang aktif jumatan pasti pernah mengalami kehilangan sandal ketika hendak pulang, dan tak sedikit orang yang tidak siap kehilangan sandal kesayangannya sehingga ia berbuat nekat dengan memakai sandal lain dengan keyakinan sandal yang ia pakai itu milik orang yang telah mengambil dulu sandal kita, hmm menykapi fenomena seperti ini bagaimana sih syariat menyikapinya? mari kita kaji bersama ibarat dari kitab Al-Bujairami dan kitab Bughyatul Musytarsyidin.

فرع من ضل نعله فى مسجد ووجد غيره لم يجز له لبسه و ان كان لمن اخذ نعله، وله فى هذه الحالة بيعه و اخذ قدر قيمة نعله من ثمنه ان علم انه لمن اخذ نعله، و الا فهو اقطة
البجيرمى على الخطيب ٣/ ١٤١ 


 Artinya " Barang siapa yang tertukar sandalnya di masjid dan ia menemukan sandal lain, maka ia tidak boleh memakainya walaupun sandal itu milik orang yang mengambilnya.  tapi baginya boleh mengambil dan menjualnya lalu memiliki uang dari hasil penjualan itu jika ia tahu dan yakin sandal tersebut  adalah sandal dari orang yg mengambil sandalnya dan jika tidak mengetahuinya maka sandal tersebut dihukumi barang temuan(luqathah)

Diatas adalah keterangan dari kitab Al-Bujairami, lalu bagaimana keterangan dari kitab Bughyah?

فا ئدة من اللقطة ان يبدل نعله بغيرها فياخذها فلا يحل له استعملها الا بعد تعرضها بشرطه او تحقق اعراص المالك عنها فان علم ان صاحبها تعمد اخذ نعله جاز له بيعها ظفرا بشرطه بغية المسترشدين ٢٢١ 

Artinya: Termasuk barang temuan adalah tertukar sandalnya dengan sandal orang lain, maka mengambil dan memakainya tidak dihalalkan, kecuali setelah diumumkan sesuai dengan persyaratan atau sudah yakin bahwa si pemiliknya memang telah meninggalkannya. jika diketahui pemiliknya memang sengaja meninggalkan sandalnya ,maka ia boleh menjual sandal dengan syarat seperti dalam akhdzu dzufr.

Itulah kajian tentang bagaimana sikap kita terhadap sandal yang hilang, sekian semoga bermanfaat.


diposting kembali dari : http://www.ngaji.web.id/

Ad Placement