PENYAMBUNG WARTA: Shalat
Tampilkan postingan dengan label Shalat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shalat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2019

HUKUM SHALAT JUMAT DI HALAMAN MASJID YANG TERTUTUP PINTUNYA KARENA AC



Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya mau bertanya. Di masjid dekat rumah sekarang ruangan dalamnya dipasang alat pendingin, AC. Jadi ketika shalat Jumat semua pintu dan jendela ditutup rapat. Yang saya mau tanyakan, bagaimana dengan jamaah yang ada di luar kanan dan kirinya. Apakah sah shalat jumatannya? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Husaini/Jakarta Selatan)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Bagian dalam masjid di zaman ini sudah lazim dipasangkan alat pendingin ruangan atau air conditioner (AC). Oleh karena pintu masjid “harus” selalu tertutup agar suhu rendah karena efek AC tetap terjaga.

Problemnya kemudian bagaimana jika pintu tetap ditutup rapat pada saat shalat Jumat yang mana jumlah jamaah membludak hingga ruangan masjid bagian luar. Sementara shalat Jumat adalah shalat yang harus dilakukan secara berjamaah yang mengharuskan ketersambungan shaf atau barisan imam dan makmum.

Pada kesempatan ini kami akan mengutip sejumlah perbedaan pendapat ulama terkait keabsahan shalat Jumat di mana imam dan makmum terpisah.

Menurut Mazhab Hanafi, perbedaan tempat shalat antara imam dan makmum menjadi masalah, yaitu imam di masjid dan makmum di luar masjid. Sedangkan perbedaan ruangan shalat antara imam dan makmum yang masih berada di dalam satu kompleks bangunan (seperti di dalam masjid atau rumah) masih dimungkinkan selagi gerakan shalat imam diketahui oleh makmum.

إن اختلاف المكان يمنع صحة الاقتداء، سواء اشتبه على المأموم حال إمامه أو لم يشتبه، واتحاد المكان في المسجد أو البيت مع وجود حائل فاصل يمنع الاقتداء إن اشتبه حال الإمام

Artinya, “Perbedaan tempat shalat [antara imam dan makmum] menghalangi keabsahan berjamaah, sama saja apakah makmum mengetahui gerakan imam atau tidak. Sementara kesamaan ruangan shalat [antara keduanya] baik di masjid maupun di rumah yang disertai sekat di antara keduanya tetap menghalangi keabsahan berjamaah jika imam tidak mengetahui gerakan imam,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 231).

Adapun mazhab Syafi’i menganggap perbedaan ruangan shalat antara imam dan makmum di dalam masjid tidak menjadi masalah sejauh gerakan imam diketahui oleh makmum dan posisi makmum tidak mendahului posisi imam.

Bagi mazhab Syafi’i, ketersambungan atau keterputusan shaf imam dan makmum di dalam masjid tidak menjadi masalah bagi keabsahan shalat berjamaah sebagaimana tercatat dalam Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini. 

أن يكون الإمام والمأموم في المسجد وهي التي ذكرها الشيخ بقوله وأي موضع صلى في المسجد بصلاة الإمام فيه جاز وذكر الشرطين اللذين ذكرناهما بقوله وهو عالم بصلاة الإمام ما لم يتقدم عليه فإذا جمعهما مسجد أو جامع صح الاقتداء سواء انقطعت الصفوف بينهما أو اتصلت وسواء حال بينهما حائل أم لا وسواء جمعهما مكان واحد أم لا … لأنه كله مكان واحد وهو مبني للصلاة

Artinya, “Imam dan makmum berada di masjid. Ini yang disebutkan oleh syekh dengan perkataannya, ‘Tempat mana saja di dalam masjid di mana imam melakukan shalat, maka [seseorang] boleh berjamaah dengannya.’ Ia menyebutkan dua syarat yang telah kami sampaikan dengan perkataannya, yaitu makmum mengetahui gerakan shalat imam selama ia tidak mendahuluinya. Jika keduanya [imam dan makmum] disatukan dalam ruangan masjid atau masjid jami, maka shalat berjamaahnya sah, sama saja apakah shaf antara keduanya terputus atau tersambung; sama saja apakah keduanya tersekat oleh sesuatu atau tidak tersekat; dan sama saja apakah mereka berada di satu ruangan yang sama atau beda… karena keduanya berada di tempat yang sama, yaitu bangunan untuk shalat,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz II, halaman 111).

Sementara pandangan Mazhab Syafi’i dalam catatan Syekh Wahbah Az-Zuhayli mengatakan bahwa shalat berjamaah di masjid tetap sah meski posisi imam dan makmum berjauhan atau terhalang oleh sekat berupa bangunan dengan catatan keduanya tetap terhubung. 

فإن كان الإمام والمأموم مجتمعين في مسجد، صح الاقتداء، وإن بعدت المسافة بينهما فيه أكثر من ثلاث مئة ذراع، أو حالت بينهما أبنية كبئر وسطح ومنارة، أو أغلق الباب أثناء الصلاة، فلو صلى شخص في آخر المسجد والإمام في أوله، صح الاقتداء بشرط إمكان المرور بأن لا يوجد بينهما حائل يمنع وصول المأموم إلى الإمام كباب مسمَّر قبل الدخول في الصلاة. ولا فرق في إمكان الوصول إلى الإمام بين أن يكون الشخص مستقبلاً القبلة أو مستدبراً لها

Artinya, “Jika imam dan makmum berada di masjid yang sama, maka shalat berjamaah menjadi sah, meski jarak keduanya jauh lebih dari 300 hasta, tersekat oleh bangunan seperti sumur atau menara, atau pintu tertutup di tengah shalat. Kalau seseorang shalat di bagian belakang masjid dan imam di bagian depan masjid, maka shalat berjamaah keduanya sah dengan syarat memungkinkan orang lalu-lalang, yaitu ketiadaan sekat yang menghalangi keduanya seperti pintu yang dikunci sebelum mulai shalat. Tiada perbedaan perihal kemungkinan ketersambungan antara imam dan makmum, apakah seseorang makmum dapat menyatu dengan imam dengan menghadap atau membelakangi kiblat,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 231).

Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa sebutan masjid bukan soal ruangan bagian dalam dan bagian luar masjid. Teras, serambi, lantai atas, ruangan dalam, ruangan luar, atau lantai bawah tanah (basement) masjid tetap merupakan satu kesatuan masjid.

Dengan demikian, shalat Jumat atau shalat berjamaah di mana posisi imam di dalam ruangan masjid dan posisi sebagian makmum berada di ruangan bagian luar masjid tetap sah.

Hanya saja, kami menyarankan agar satu pintu masjid tetap terbuka sehingga imam dan makmum yang berada di ruangan masjid bagian luar tetap terhubung. Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk antisipasi atau jaga-jaga (ihtiyath). Toh, durasi shalat Jumat tidak terlalu lama karena hanya dua rakaat sehingga tidak dikhawatirkan dapat merusak alat pendingin/AC.

Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)
Artikel dari NU online

Minggu, 07 April 2019

HUKUM SHALAT DENGAN SHAF CAMPUR LELAKI DAN PEREMPUAN

Dok detik.com

Syariat sejak awal telah memberikan ketentuan-ketentuan khusus bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah, baik berupa kewajiban ataupun kesunnahan. Hal ini tak lain agar segala ibadah yang dilakukan dapat dijalankan dengan benar dan sempurna. Salah satu ketentuan pelaksanaan ibadah  yang diatur oleh fiqih adalah tentang penempatan shaf shalat.

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan:

خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها 

“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal.” (HR Muslim)

Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa laki-laki semestinya menempati posisi terdepan dalam shaf shalat jamaah. Sebaliknya, bagi perempuan dianjurkan menempati shaf yang paling belakang, sekiranya jauh dari shaf lelaki. Lalu ketika antara laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu barisan shaf, apakah shalatnya tetap dihukumi sah? Atau justru shalatnya menjadi batal?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, patut kita simak penjelasan Imam Nawawi dalam menafsirkan alasan di balik  keutamaan menempati shaf paling belakang bagi para wanita:

وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك

“Diutamakannya shaf akhir bagi para wanita yang hadir bersamaan dengan lelaki dikarenakan hal tersebut menjauhkan mereka dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya lelaki (pada mereka), dan menggantungnya hati para wanita kepada lelaki ketika melihat gerakan lelaki dan mendengar ucapan lelaki dan semacamnya.” (Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 13, hal. 127)

Berdasarkan hal tersebut, tidak heran jika Imam al-Ghazali mewajibkan adanya penghalang yang mencegah pandangan lelaki terhadap perempuan, agar tidak terjadi percampuran antara laki-laki dan perempuan yang diharamkan oleh syariat.  Berikut penjelasan beliau:

ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات

“Wajib untuk menempatkan penghalang antara laki-laki dan perempuan yang dapat mencegah pandangan, sebab hal tersebut merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum masyarakat memandang ini sebagai bentuk kemungkaran.” (Al-Ghazali, Ihya’ ulum ad-Din, juz 3, hal. 361)

Dapat disimpulkan bahwa bercampurnya laki-laki dan perempuan pada saat shalat berjamaah tanpa adanya penghalang adalah sebuah larangan, terlebih ketika itu dilakukan pada satu barisan shaf. Bahkan Imam al-Mawardi menganjurkan agar imam dan makmum laki-laki tidak bubar terlebih dahulu selepas melaksanakan shalat jamaah, untuk menghindari percampuran (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan. Dalam kitab al-Hawi al-Kabir beliau menjelaskan:

وإن كان معه رجال ونساء الامام فى الصلاه ثبت قليلا لينصرف النساء ، فإن انصرفن وثب لئلا يختلط الرجال بالنساء 

“Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang bersamaan dengan imam dalam shalat maka imam menetap (di tempatnya) sejenak agar jamaah perempuan bubar terlebih dahulu, ketika jamaah perempuan sudah bubar maka imam berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan.” (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 23, hal. 497)

Sedangkan tentang keabsahan shalatnya, mayoritas ulama berpandangan bahwa shalat berjamaah dengan shaf campur pria-wanita dalam satu baris tetap sah. Hanya saja secara hukum taklifi dihukumi makruh yang dapat menghilangkan fadhilah shalat jamaah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, shalat berjamaah dengan formasi campur dalam satu barisan semacam itu batal untuk jamaah laki-laki, sedangkan shalat yang dilakukan jamaah perempuan tetap sah. 

Perincian hukum di atas secara tegas dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah:

وصرح الحنفية بأن محاذاة المرأة للرجال تفسد صلاتهم . يقول الزيلعي الحنفي : فإن حاذته امرأة مشتهاة في صلاة مطلقة - وهي التي لها ركوع وسجود - مشتركة بينهما تحريمة وأداء في مكان واحد بلا حائل ، ونوى الإمام إمامتها وقت الشروع بطلت صلاته دون صلاتها ، لحديث : أخروهن من حيث أخرهن الله (2) وهو المخاطب به دونها ، فيكون هو التارك لفرض القيام ، فتفسد صلاته دون صلاتها . 
وجمهور الفقهاء : (المالكية والشافعية والحنابلة) يقولون : إن محاذاة المرأة للرجال لا تفسد الصلاة ، ولكنها تكره ، فلو وقفت في صف الرجال لم تبطل صلاة من يليها ولا من خلفها ولا من أمامها ، ولا صلاتها ، كما لو وقفت في غير الصلاة ، والأمر في الحديث بالتأخير لا يقتضي الفساد مع عدمه

“Mazhab Hanafiyah menegaskan bahwa sejajarnya posisi perempuan dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak (membatalkan) shalat mereka (para laki-laki). Imam Az-Zayla’i al-Hanafi mengatakan, ‘Jika perempuan yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam shalat mutlak yakni shalat yang terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan shalat di satu tempat yang tidak ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami perempuan tersebut pada saat melaksanakan shalat maka shalat lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi perempuan.’ Hal ini berdasarkan hadits, ‘Kalian akhirkan mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkan mereka.’ Lelaki pada hadits tersebut merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab) bukan para wanita, maka lelaki dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga shalatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi shalat para perempuan.

Sedangkan mayoritas ulama fiqih (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, “Sejajarnya shaf perempuan dengan laki-laki tidak sampai membatalkan shalat, hanya saja hal tersebut makruh. Jika perempuan berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal shalat orang yang ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal shalat yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri pada selain shalat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan) tidak menetapkan batalnya shalat ketika tidak melakukannya.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 6, hal. 21)

Walhasil, meskipun shalat dengan shaf campur antara laki-laki dan perempuan dalam satu barisan tetap sah menurut mayoritas ulama, tapi keabsahan shalat bukan berarti aman dari hukum haram, bila dalam pelaksanaannya melanggar aturan syara’, misalnya seperti terjadi campur baur antara laki-laki dan perempuan hingga menimbulkan berbagai macam fitnah dan sejenisnya. Terlebih ketika jamaah wanita berada persis di samping jamaah laki-laki, sebab dalam keadaan demikian sangat memungkinkan bersenggolan bahkan bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang menurut mayoritas ulama dapat membatalkan shalat. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember 

Minggu, 20 Januari 2019

SHALAT MEMAKAI MASKER, BAGAIMANA HUKUMNYA?



Shalat merupakan ibadah yang memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Sejak sebelum pelaksanaan, saat pelaksanaan dan setelahnya, ada saja problematika yang menarik dipelajari hukum fiqihnya. Termasuk di antaranya adalah persoalan memakai masker. Karena pertimbangan kesehatan dan lainnya, seseorang tidak melepas maskernya saat shalat. Bagaimana hukumnya shalat memakai masker?

Agama tidak melarang penggunaan berbagai atribut yang dikenakan ketika shalat, seperti sorban, selendang, peci, sajadah dan lain sebagainya. Termasuk dalam titik ini adalah masker. Asalkan benda-benda tersebut suci, maka diperbolehkan untuk dikenakan saat shalat. Bila masker yang dipakai terkena najis, maka haram dan tidak sah shalatnya.

Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani mengatakan:

ـ (و) الثاني (الطهارة عن النجاسة) أي التي لا يعفى عنها (في الثوب) أي الملبوس من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق لذلك 

Artinya, “Syarat yang kedua adalah suci dari najis yang tidak dimaafkan, di dalam pakaian, mencakup atribut yang dibawa, meski tidak ikut bergerak dengan bergeraknya orang yang shalat, dan disyaratkan pula suci dari najis, perkara yang bertemu dengan hal di atas,” (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, halaman 102).

Bila melihat pertimbangan keutamaan, sebaiknya penggunaan masker dihindari saat shalat, bila penggunaan masker dapat menghalangi terbukanya hidung secara sempurna saat melakukan sujud. Para ahli fiqih bermazhab Syafi’i menegaskan bahwa salah satu yang disunahkan ketika sujud adalah terbukanya bagian hidung secara sempurna.

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan:

ـ (ويسن في السجود وضع ركبتيه) أولا للاتباع وخلافه منسوخ عل ما فيه  (ثم يديه ثم جبهته وأنفه) معا ويسن كونه (مكشوفا) قياسا على كشف اليدين ويكره مخالفة الترتيب المذكور وعدم وضع الأنف

Artinya, “Disunahkan di dalam sujud, meletakan kedua lutut untuk pertama kali, karena mengikuti Nabi. Nash hadits yang berbeda dengan anjuran ini dinaskh (direvisi) menurut suatu keterangan. Kemudian meletakan kedua tangannya, lalu dahi dan hidungnya secara bersamaan. Dan disunahkan hidung terbuka, karena dianalogikan dengan membuka kedua tangan. Makruh menyalahi urutan yang telah disebutkan, demikian pula makruh tidak meletakan hidung,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyatut Tarmasi, juz III, halaman 36).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjelaskan sebagai berikut:

قوله ويسن كونه اي الانف قوله مكشوفا قياسا على كشف اليدين لم يذكر هذا القياس في التحفة، وعبارة شيخ الاسلام ثم يضع جبهته وانفه مكشوفا للاتباع رواه ابو داود وغيره الخ ومقتضى هذا رجوع الاتباع للكشف ايضا فليتأمل وليراجع

Artinya, “Ucapan Syekh Ibnu Hajar dan sunah terbukanya hidung karena dianalogikan dengan membuka tangan, Syekh Ibnu Hajar tidak menyebutkan analogi ini dalam kitab al-Tuhfah. Adapun redaksinya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari adalah, kemudian sunah meletakan dahi dan hidungnya dalam keadaan terbuka karena mengikuti Nabi. Hadits riwayat Imam Abu Daud dan lainnya. Tuntutan dari redaksi ini adalah kembalinya alasan mengikuti Nabi kepada persoalan membuka hidung juga. Berpikirlah dan periksalah kembali,” (Lihat Syekh Mahfuzh At-Tarmasi, Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, juz III, halaman 36).

Demikian penjelasan mengenai hukum memakai masker saat shalat. Simpulannya, sebaiknya penggunaan masker dihindari bila sampai menghalangi terbukanya hidung secara sempurna ketika sujud. Solusi agar tetap mendapat keutamaan adalah, penggunaan masker tidak sampai menutupi bagian hidung, atau saat prosesi sujud, bagian hidung dibuka. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam.

Minggu, 06 Januari 2019

SHALAT JENAZAH DI KUBURAN


Tidak semua orang dapat menshalati mayat sebelum dimakamkan. Karena kendala tertentu, seperti jarak yang terlampau jauh, mengakibatkan sebagian orang tidak menjumpai jenazah sebelum dikebumikan.

Karena kedekatan dengan sang mayat, sebagian orang menyempatkan diri melaksanakan shalat jenazah di kuburan sang mayat. Pertanyaannya adalah, bagaimana hukum shalat jenazah di kuburan dan bagaimana ketentuannya?

Shalat jenazah di kuburan hukumnya diperbolehkan, baik mayat dimakamkan sebelum dishalati atau sesudahnya. Kebolehan ini berlandaskan kepada hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Muhammad SAW menshalati jenazah di atas kubur perempuan atau laki-laki yang rajin membersihkan masjid. Demikian pula hadits riwayat An-Nasa’i dengan sanad yang shahih, bahwa Nabi Muhammad SAW menshalati jenazah Ummu Mahjan di kuburannya, yang telah dikebumikan di malam hari.

Namun kebolehan menshalati jenazah di kuburan disyaratkan bukan jenazahnya para nabi. Maka menjadi tidak sah menshalati jenazah para nabi setelah kewafatan mereka. Ada dua alasan mengapa tidak sah. Pertama, berdasarkan hadits nabi yang melarang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid (tempat shalat). Kedua, karena saat kewafatan para nabi, kita bukan tergolong orang yang diwajibkan untuk menshalati.

Keterangan di atas sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakariyya Al-Anshari berikut ini:

و  تجوز  على قبر غير النبي صلى الله عليه وسلم بعد الدفن سواء أدفن قبلها أم بعدها

Artinya, “Boleh menshalati kuburnya selain nabi setelah dikebumikan baik mayat dimakamkan sebelum dishalati maupun sesudahnya.”

لأنه صلى الله عليه وسلم صلى على قبر امرأة أو رجل كان يقم المسجد وعلى قبر مسكينة يقال لها أم محجن دفنت ليلا روى الأول الشيخان والثاني النسائي بإسناد صحيح

Artinya, “Karena Nabi Muhammad Saw menshalati kuburnya perempuan atau laki-laki yang rajin menyapu masjid. Dan Nabi menshalati kuburnya perempuan miskin yang disebut-sebut bernama Ummu Mahjan, ia sudah dimakamkan di malam hari. Hadits pertama diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim. Hadits kedua diriwayatkan An-Nasa’i dengan sanad yang shahih.”

أما الصلاة على قبور الأنبياء صلى الله عليهم وسلم فلا تجوز واحتج له بخبر الصحيحين لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد  وبأنا لم نكن أهلا للفرض وقت موتهم

Artinya, “Adapun menshalati kubur para nabi, maka tidak boleh. Argumennya adalah haditsnya Al-Bukhari dan Muslim bahwa Allah melaknat Kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Argumen lain, kita bukan termasuk orang yang diwajibkan menshalati saat kewafatan mereka,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 322).

Dalam pelaksanaan shalat jenazah di kuburan, disyaratkan posisi orang yang menshalati tidak berada di depan kubur. Syarat ini juga berlaku dalam persoalan menshalati jenazah yang hadir. Pensyaratan ini berdasarkan sebuah prinsip bahwa mayat dianggap seperti imam, orang yang menshalati sebagai makmum. Sehingga posisi orang yang shalat tidak boleh berada di depan mayat.

Syarat ini tidak berlaku untuk shalat ghaib sehingga hukumnya sah menshalati ghaib meski posisi orang yang shalat berada di depan mayat, sebab ada hajat (kebutuhan).

Syekh Zakariyya Al-Anshari menjelaskan:

فإن تقدم المصلي على الجنازة الحاضرة أو القبر لم تصح صلاته كما في تقدم المأموم على إمامه أما المتقدم على الغائبة فصلاته صحيحة للحاجة

Artinya, “Bila mushalli maju melampaui posisi jenazah yang hadir atau mayat yang di kubur, maka tidak sah shalatnya sebagaimana dalam persoalan majunya posisi makmum melampaui imamnya. Sedangkan mushalli yang posisinya lebih maju dalam shalat ghaib, maka shalatnya sah karena kebutuhan,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 317).

Keabsahan shalat jenazah di kuburan juga disyaratkan harus dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menshalati jenazah saat kematian mayat, dengan sekira saat kematian mayat, seseorang dalam keadaan Muslim, mukallaf, dan suci dari haidh dan nifas. Maka mengecualikan non-Muslim, anak kecil, orang gila dan perempuan haidh. Orang-orang yang saat kewafatan mayat dalam kondisi tersebut, tidak sah melaksanakan shalat jenazah di kuburan.

Syekh Zainuddin Al-Malibari menegaskan:

ـ (و) تصح على حاضر ( مدفون ) ولو بعد بلائه (غير نبي) فلا تصح على قبر نبي لخبر الشيخين) من أهل فرضها وقت موته) فلا تصح من كافر وحائض يومئذ كمن بلغ أو أفاق بعد الموت ولو قبل الغسل كما اقتضاه كلام الشيخين

Artinya, “Sah menshalati mayat hadir yang dimakamkan, meski setelah hancur. Selain mayat nabi, maka tidak menshalati kubur nabi karena hadits Al-Bukhari dan Muslim. Dari orang yang diwajibkan menshalati saat kematian mayat. Maka tidak sah dari non-Muslim dan perempuan haidh saat kematian mayat, sebagaimana tidak sah dilakukan orang yang baligh atau sembuh dari gila setelah kematian mayat, meski balighnya atau sembuhnya sebelum mayat dimandikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh statemen Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, juz II, halaman 133).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

قوله (من أهل فرضها وقت موته) أي تصح الصلاة على الميت الغائب وعلى الحاضر المدفون إن كان من يريد الصلاة من أهل أداء فرضها وقت الموت بأن يكون حينئذ مسلما مكلفا طاهرا لأنه يؤدي فرضا خوطب به  اه  تحفة

Artinya, “Ucapan Syekh Zainuddin, "Dari orang yang diwajibkan menshalati saat kematian mayat", maksudnya adalah sah menshalati mayat ghaib dan mayat hadir yang telah dimakamkan, bila orang yang hendak menshalati adalah orang yang diwajibkan menshalati pada waktu kematian mayat. Dengan sekira saat kematian mayat, ia dalam keadaan Muslim, mukallaf dan suci (dari haidh dan nifas), karena ia telah menjalankan kewajiban yang dituntut kepadanya,” (Lihat Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, halaman 133).

Demikian mengenai hukum dan ketentuan menshalati mayat di kuburan. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam.

sumber: nu.or.id

Kamis, 03 Januari 2019

KETINGGALAN TAKBIR IMAM DALAM SHALAT JENAZAH, BAGAIMANA?



Shalat jenazah bisa disebut merupakan jenis shalat yang paling berbeda dibanding dengan shalat lainnya. Jika shalat yang lain terdiri dari berbagai macam rukun fi’liyyah (gerakan tubuh) seperti berdiri, ruku’, sujud dan duduk, maka shalat jenazah dilakukan dengan cara berdiri saja, tanpa terdapat gerakan ruku’, sujud dan duduk.

Dari perbedaan yang begitu mencolok ini, terdapat berbagai permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan shalat jenazah, salah satunya ketika seorang makmum ketinggalan takbir dalam shalat janazah yang dilakukan secara berjamaah. 

Seperti kita ketahui bersama bahwa shalat jenazah terdiri dari empat takbir dengan berbagai bacaan tertentu yang dibaca setelah masing-masing takbir. Lalu ketika makmum datang pada saat imam telah takbir yang kedua, misalnya, bolehkah ia shalat bermakmum pada imam tersebut? Lalu bacaan apakah yang mesti dibaca olehnya?
Makmum dalam permasalahan di atas, dalam istilah fiqih biasa dikenal dengan sebutan makmum masbuq. Yaitu makmum yang tidak mengikuti imam sejak dari awal pelaksanaan shalat, sehingga ia tidak dapat menyempurnakan kewajiban bacaannya sendiri. 

Dalam kasus shalat jenazah ini, makmum yang ketinggalan takbir pertama atau kedua imam tetap diperbolehkan bermakmum dengan ketentuan membaca bacaan sesuai dengan runtutan bacaan dirinya sendiri. Yaitu setelah takbir pertama ia membaca Surat Al-Fatihah, meskipun imam berada pada takbir kedua yang membaca shalawat. Sebab dalam keadaan ini, ia tidak perlu mengikuti bacaan imam secara sama. Namun yang wajib diikutinya adalah gerakan takbir imam saja.

Setelah imam melaksanakan salam, ia melanjutkan kekurangan hitungan takbirnya sendiri. Jika ia menemui imam pada takbir yang kedua, maka ia menambahkan satu takbir lagi setelah itu salam. Ketentuan demikian seperti yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi:

فرع المسبوق إذا أدرك الإمام في أثناء هذه الصلاة كبر ولم ينتظر تكبيرة الإمام المستقبلة ثم يشتغل عقب تكبيره بالفاتحة ثم يراعي في الأذكار ترتيب نفسه فلو كبر المسبوق فكبر الإمام الثانية مع فراغه من الأولى كبر مع الثانية وسقطت عنه القراءة كما لو ركع الإمام في سائر الصلوات عقب تكبيره 

“Cabang permasalahan. Ketika makmum masbuq menemui imam di pertengahan shalat ini (shalat janazah) maka (langsung) bertakbir, tanpa perlu menunggu takbir imam selanjutnya, lalu setelah takbir ia membaca Surat al-Fatihah dan dzikir-dzikir sesuai dengan runtutan bacaannya sendiri (bukan bacaan imam). Jika makmum masbuq baru saja memulai takbir, lalu imam beranjak pada takbir kedua karena bacaan setelah takbir pertamanya telah selesai maka makmum tersebut juga melakukan takbir kedua dan bacaan Al-Fatihah menjadi gugur bagi dirinya. Seperti halnya permasalahan ketika imam beranjak ruku’ pada shalat fardhu setelah takbirnya makmum.” (Syekh Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudah at-Thalibin, juz 2, hal. 128)

Permasalahan yang juga sering terjadi dalam shalat jenazah yaitu ketika makmum pertengahan membaca al-Fatihah, namun belum selesai merampungkan bacaannya tiba-tiba imam takbir. Dalam keadaan demikian apakah makmum tetap wajib meneruskan bacaannya, atau ia memutus bacaan al-Fatihah seketika itu juga agar bisa mengikuti takbirnya imam? Dalam ha ini terdapat dua pendapat. Namun pendapat yang paling kuat adalah makmum memutus bacaan al-Fatihahnya agar ia bisa mengikuti takbir imam. Seperti yang dijelaskan dalam kelanjutan referensi di atas:

ولو كبر الإمام الثانية والمسبوق في أثناء الفاتحة فهل يقطع القراءة ويوافقه أم يتمها وجهان كالوجهين فيما إذا ركع الإمام والمسبوق في أثناء الفاتحة أصحهما عند الأكثرين يقطع ويتابعه 

“Jika imam melakukan takbir yang kedua, sedangkan makmum masbuq sedang pertengahan membaca al-Fatihah, apakah dalam kasus demikian ia memilih memutus bacaannya atau menyempurnakan al-Fatihahnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat seperti halnya berlaku dalam permasalahan ketika imam ruku’ sedangkan makmum masbuq berada di pertengahan bacaan al-Fatihah. Pendapat paling benar menurut banyak ulama adalah ia memutus bacaannya dan melanjutkan untuk mengikuti imam.” 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makmum yang ketinggalan takbir imam dalam shalat jenazah, ia tetap boleh untuk bermakmum padanya dengan ketentuan tetap membaca bacaan sesuai runtutan bacaan takbir yang dilakukannya. Wallahu a’lam.

Kamis, 20 Desember 2018

APAKAH POSISI ANAK-ANAK DI SHAF PERTAMA HILANGKAN KEUTAMAAN SHALAT JAMAAH?


Dalam ritual shalat jamaah, tak jarang kita temukan orang tua mengajak anak-anaknya yang masih kecil untuk berangkat ke masjid agar mengikuti shalat jamaah. Orang tua mengajak anaknya ini tak lain bertujuan agar anaknya dapat terbiasa menjalankan shalat jamaah kelak ketika sudah dewasa.

Banyak juga anak-anak kecil yang berangkat ke masjid sendirian tanpa bersama dengan orang tuanya. Mereka bersemangat berangkat ke masjid biasanya karena teman-temannya yang seumuran juga ikut berangkat shalat berjamaah di masjid.

Realitas demikian adalah hal yang perlu ditradisikan, sebab sangat menunjang terhadap perilaku positif kepada anak-anak. Namun jangan sampai hal ini tidak disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ kepada anak kecil ketika shalat jamaah.

Sering kita lihat, anak kecil ketika shalat jamaah mereka menempati shaf yang paling awal. Padahal di belakangnya masih terdapat orang lain yang sudah baligh yang juga mengikuti shalat jamaah. Melihat realitas demikian terbesit sebuah pertanyaan, sudah benarkah ketentuan shalat jamaah ketika shaf awal terdapat anak kecil yang menempatinya?

Anjuran syara’ dalam hal penempatan para makmum dalam shalat jamaah adalah dengan cara menempatkan makmum laki-laki yang dewasa pada barisan paling depan (shaf awal), lalu barisan selanjutnya ditempati oleh anak-anak laki-laki yang belum baligh, lalu shaf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu shaf selanjutnya ditempati oleh para wanita.

Ketentuan seperti inilah yang dianjurkan oleh syara’ agar pelaksanaan shalat jamaah menjadi sempurna. 

Ketentuan tidak bolehnya anak kecil menempati shaf paling depan dalam penjelasan di atas mengecualikan ketika anak kecil memang datang terlebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang yang telah baligh, maka dalam hal ini anak kecil diperkenankan untuk menempati shaf depan. Pasalnya, mereka masih dianggap satu jenis dengan laki-laki yang telah baligh.

Penjelasan di atas tercantum dalam Kitab Mauhibatu Dzil Fadhal:

قوله (ويقف) ندبا فيما إذا تعددت أصناف المأمومين (خلفه الرجال) صفا (ثم) بعد الرجال إن كمل صفهم (الصبيان) صفا ثانيا وان تميزوا عن البالغين بعلم ونحوه هذا (إن لم يسبقوا) أي الصبيان (إلى الصف الأول فان سبقوا) إليه (فهم أحق به) من الرجال فلا ينحون عنه لهم لأنهم من الجنس بخلاف الخناثى والنساء ثم بعد الصبيان وان لم يكمل صفهم الخناثى (ثم بعدهم وان لم يكمل صفهم النساء) للخبر الصحيح ليلينى منكم أولوا الاحلام والنهى اى البالغون العاقلون ثم الذين يلونهم ثلاثا ومتى خولفا لترتيب المذكور كره وكذا كل مندوب يتعلق بالموقف فإنه يكره مخالفته وتفوت به فضيلة الجماعة كما قدمته فى كثير من ذلك

Artinya, “Lelaki (dewasa) disunnahkan untuk berdiri di shaf belakang imam (shaf pertama) ketika banyak makmum yang ikut berjamaah. Lalu setelah shaf lelaki penuh maka selanjutnya shaf yang di isi oleh anak-anak kecil. Termasuk dari anak kecil ini adalah anak (yang belum baligh) yang dapat dibedakan dari lelaki yang telah baligh dengan cara diketahui atau yang lainnya. Ketentuan ini ketika mereka (anak kecil) tidak mendahului mendapatkan shaf awal. Jika mereka mendahului pada shaf awal (dari orang baligh) maka mereka lebih berhak untuk menempati shaf awal dari lelaki yang telah baligh. Maka mereka tidak boleh diusir dari shaf awal karena mereka masih satu jenis (laki-laki). Berbeda halnya bagi khuntsa (orang yang berkelamin ganda) atau perempuan.”

Lalu yang menempati shaf di belakang anak kecil laki-laki, meskipun shaf mereka tidak penuh, adalah khuntsa, lalu setelah khuntsa adalah orang perempuan, meskipun shafnya khuntsa tidak penuh. Hal ini berdasarkan hadits shahih “Hendaknya mengiring-ngiringi barisan kalian (imam) orang-orang yang telah baligh, lalu setelah itu orang-orang yang mengiringi kalian,” (kata-kata ini diucapkan tiga kali oleh Rasulullah).

Ketika ketentuan tertibnya shaf di atas dilanggar, maka hukumnya makruh. Begitu juga kemakruhan ini juga berlaku pada melanggar segala kesunnahan yang berhubungan dengan tempat berdiri. Kemakruhan ini dapat menghilangkan fadhilah jama’ah, seperti yang telah saya (Mushannif) jelaskan dalam berbagai  keterangan yang berkaitan dengan hal ini. (Lihat Syekh Mahfudz At-Turmusi, Mauhibatu Dzil Fadhal Hasyiyah At-Turmusi, juz III, halaman 59-62).

Dalam memaknai hilangnya fadhilah jama’ah dalam permasalahan ini, terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. Menurut Imam Ibnu Hajar, ketika ketentuan penempatan shaf di atas dilanggar oleh makmum, maka hal yang hilang adalah fadilah jama’ah bagi makmum.

Menurut Imam Ramli, perkara yang tidak di dapatkan makmum hanyalah fadhilah shaf sehingga fadilah shalat jamaah yang berupa keutamaan 27 derajat masih didapatkan oleh makmum. (Syekh Husein Abdullah, Itsmidul ‘Ainain, halaman 33).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baiknya bagi anak kecil agar tidak ditempatkan pada shaf awal dalam shalat jama’ah, sebab hal demikian bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan syara’ dan akan menghiangkan fadilah jama’ah menurut Imam Ibnu Hajar dan menhilangkan fadilah shaf menurut Imam Ramli.

Berbeda halnya ketika anak kecil hadir di masjid terlebih dahulu dan menempati shaf yang awal, maka dalam keadaan demikian mereka menempati shaf awal menjadi tidak dipermasalahkan. Wallahu a’lam. (Ustadz Ali Zainal Abidin, NU Online)

Senin, 02 Juli 2018

HUKUM MENEMPELKAN KAKI SAAT BERJAMAAH



Menempelkan Kaki saat Shalat Berjamaah

Assalammu’alaikum ustadz, ada yang hendak kami tanyakan terkait shaf shalat:

1. Apa sebenarnya hukum shalat jamaah dengan menyentuhkan ujung jari kaki jamaah sebelahnya?
2. Apakah ada dalilnya yang kuat?
3. Bagaimana pendapat jumhur ulama?
4. Bagaimana dengan kekusyukan shalat berjamaah?

Waalaikum salam warahmatullahi wa barakatuhu.
Sejak dulu sampai shalat yang kita laksanakan dalam mengatur shaf sudah benar. Hanya saja sejak munculnya kelompok-kelompok baru yang memiliki pemahaman tekstual pada dalil memuncak pemahaman baru dalam mengatur shaf sampai ada yang menempelkan ujung kaki, bahkan ada yang sedikit menginjak kaki kita, meski kita sudah bergeser namun kami mereka terus mengejar, karena menurut mereka ini adalah sunah.

Pemahaman mereka bersumber dari hadis riwayat Anas bin Malik:

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»

Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada salah seorang diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya. (HR. Bukhari)

Mari kita lihat pendapat para ulama berkaitan memahami makna hadis diatas antara Ulama Wahabi dan ulama bermazhab yang diikuti oleh mayoritas umat Islam.

1. ULAMA WAHABI

Ada perbedaan pendapat di internal ulama Wahabi dalam memahami hadis ini. Pertama syekh Nashiruddin al-Albani:

وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه

Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, lutut, bahu), hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu. (Al-Albani, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77)

Pendapat ini yang diamalkan oleh pengikut Wahabi, mereka sangat yakin bahwa pemahaman syekh Albani paling sesuai Sunnah Nabi, yaitu menempelkan bahu dan kaki sejak awal shalat sampai selesai salam.

Kedua, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, berkata:

أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shof benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. "Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat." (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311)

2. MAYORITAS ULAMA

Dalam hal ini diwakili oleh ulama ahli hadis dari madzhab Syafi'i Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), beliau berkata:

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

(Yang dilakukan sahabat tersebut adalah) benar-benar meluruskan shaf dan menutup celah. [Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Beliau kemudian mengutip riwayat:

وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس.

Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu (menempelkan kaki) saya lakukan dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. [Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Posisi Kaki Dalam Shaf Menurut Madzhab Syafi'i

وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق اهـ

“Disebutkan bahwa ukuran lebar shof ketika hendak sholat yaitu yang umum dilakukan oleh seseorang, dengan tanpa berlebihan dalam lebar dan sempitnya.” (Bughyatul Mustarsyidin hal 140)

MENGGANGGU KHUSYUK?

Amat benar jika menempelkan kaki ini memang mengganggu kekhusyukan shalat, hal ini difatwakan oleh ulama Al-Azhar Mesir:

ﻭﻗﺪ ﻳﺤﺮﺹ ﺑﻌﺾ اﻷﺷﺨﺎﺹ ﻋﻠﻰ ﺇﻟﺰاﻕ اﻟﻜﻌﻮﺏ، ﻋﻠﻰ اﻟﺮﻏﻢ ﻣﻦ ﺗﻔﺎﺣﺶ اﻟﻤﺴﺎﻓﺔ ﺑﻴﻦ ﻗﺪﻣﻴﻪ، ﻓﻬﻮ ﻳﺮﻳﺪ ﻓﻌﻞ ﺳﻨﺔ ﻓﻴﻘﻊ ﻓﻰ ﻣﻜﺮﻭﻩ، ﺇﻟﻰ ﺟﺎﻧﺐ ﻣﻀﺎﻳﻘﺘﻪ ﻟﻤﻦ ﺑﺠﻮاﺭﻩ اﻟﺬﻯ ﻳﺤﺎﻭﻝ ﺿﻢ ﻗﺪﻣﻴﻪ ﻟﻜﻨﻪ ﻳﻼﺣﻘﻪ ﻭﻳﻔﺮﺝ ﺑﻴﻦ ﻗﺪﻣﻴﻪ ﺑﺼﻮﺭﺓ ﻻﻓﺘﺔ ﻟﻠﻨﻈﺮ ﻭﻗﺪ ﻳﻀﻊ ﺭﺟﻠﻪ ﻭﻳﻀﻐﻂ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻣﻀﺎﻳﻘﺔ اﻟﻤﺼﻠﻰ ﺗﺬﻫﺐ ﺧﺸﻮﻋﻪ ﺃﻭ ﺗﻘﻠﻠﻪ، ﻭاﻹﺳﻼﻡ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﻀﺮﺭ ﻭاﻟﻀﺮاﺭ.

Sebagian orang semangat untuk menempelkan kaki karena menganggap buruk lebarnya 2 kaki. Dia ingin melakukan sunah namun jatuh pada perbuatan makruh, yaitu menyempitkan orang sebelahnya dengan menginjak kakinya. Hal ini dapat menghilangkan khusyuk atau mengurangi kekhusyukan. Dan Islam melarang untuk menyakiti kepada orang lain (Fatawa Al-Azhar 9/86)

KESIMPULAN:
MERAPATKAN SHAF ADALAH KESUNAHAN, BUKAN WAJIB. JANGAN SAMPAI SUNAH INI MENGHILANGKAN KHUSYUK DALAM SHALAT ORANG DI SEBELAHNYA

Ma'ruf Khozin anggota Aswaja NU Center PWNU Jatim

Sabtu, 16 Juni 2018

MUSHALA YANG DIWAKAFKAN TIDAK BISA MENJADI MASJID, KALAU TIDAK DINIATKAN


Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya tempat yang diwakafkan untuk sembahyang, apakah tempat itu menjadi mesjid sebagaimana keterangan dalam kitab safinah?

Jawab :

Bahwa tempat itu tidak menjadi mesjid apabila tidak diniatkan menjadi mesjid.

Keterangan, dari kitab:

Mughni al-Muhtaj [1]

وَلاَ يَصِحُّ الْوَقْفُ إِلاَّ بِلَفْظٍ مِنْ نَاطِقٍ يُشْعِرُ بِالْمُرَادِ إِلَى أَنْ قَالَ: تَنْبِيْهٌ يُسْتَثْنَى مِنْ اشْتِرَاطِ اللَّفْظِ مَا إِذَا بَنَى مَسْجِدًا فِيْ مَوَاتٍ وَنَوَى جَعْلَهُ مَسْجِدًا فَإِنَّهُ يَصِيْرُ مَسْجِدًا وَلَمْ يَحْتَجَّ إِلَى لَفْظٍ كَمَا قَالَهُ فِي الْكِفَايَةِ تَبَعًا لِلْماَوَرْدِي لِأَنَّ الْفِعْلَ مَعَ النِّيَّةِ مُغْنِيَانِ عَنِ الْقَوْلِ. وَوَجَّهَهُ السُّبُكِيّ بِأَنَّ الْمَوَاتِ لَمْ يَدْخُلْ فِيْ مِلْكِ مَنْ أَحْيَاهُ مَسْجِدًا وَإِنَّمَا احْتِيْجَ لِلَفْظِ لِإِخْرَاجِ مَا كَانَ مِلْكَهُ عَنْهُ وَصَارَ لِلْبِنَاءِ حُكْمُ الْمَسْجِدِ تَبَعًا قَالَ اْلإِسْنَوِيُّ وَقِيَاسُ ذَلِكَ إِجْرَاؤُهُ فِيْ غَيْرِ الْمَسْجِدِ أَيْضًا مِنَ الْمَدَارِسِ وَالرِّبَاطِ وَغَيْرِهَمَا وَكَلاَمُ الرَّافِعِي فِيْ إِحْيَاءِ الْمَوَاتِ يَدُلُّ لَهُ.

Wakaf itu tidak sah kecuali disertai ucapan (dari yang mewakafkan) yang memberikan pengertian (pewakafan) yang dimaksud ... dikecualikan dari syarat mengucapan, bila seseorang membangun mesjid di lahan bebas, dan ia berniat menjadikannya mesjid, maka bangunan tersebut menjadi mesjid tanpa memerlukan ucapan pewakafan. Hal ini sebagaimana pendapat Ibn Rif’ah dalam kitab al-Kifayah dengan mengikuti al-Mawardi: “Sebab aktifitas membangun disertai niat menjadikannya mesjid sudah mencukupi pewakafan dari pengucapan wakaf. Al-Subki memperkuatnya, bahwa lahan bebas tersebut tidak menjadi milik seseorang yang membukanya sebagai mesjid. Diperlukannya pengucapan wakaf itu untuk mengeluarkan lahan dari kepemilikan seseorang. Dan untuk bangunannya diberlakukan hukum mesjid karena mengikuti lahannya. Al-Isnawi berpendapat: “Dan hukum qiyas kasus tersebut adalah pemberlakuannya pada selain mesjid, yaitu sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, dan selainnya. Pendapat al-Rafi’i dalam bab Ihya al-Mawat juga menunjukkan demikian.

I’anah al-Thalibin [2]

(قَوْلُهُ وَوَقَفْتُهُ لِلصَّلاَةِ إِلَخ) أَيْ وَإِذَا قَالَ الْوَاقِفُ وَقَفْتُ هَذَا الْمَكَانَ لِلصَّلاَةِ فَهُوَ صَرِيْحٌ فِيْ مُطْلَقِ الْوَقْفِيَّةِ (قَوْلُهُ وَكِنَايَةٌ فِيْ خُصُوْصِ الْمَسْجِدِيَّةِ فَلاَ بُدَّ مِنْ نِيَّتِهَا) فَإِنْ نَوَى الْمَسْجِدِيَّةَ صَارَ مَسْجِدًا وَإِلاَّ صَارَ وَقْفًا عَلَى الصَّلاَةِ فَقَطْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَسْجِدًا كَالْمَدْرَسَةِ.

(Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Saya mewakafkannya untuk shalat.”), yakni jika si pewakaf  berkata: “Saya wakafkan tempat ini untuk shalat.” Maka ucapan itu termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf. (Ungkapan beliau: “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai mesjid, maka harus ada niat menjadikannya mesjid.”) Jika ia berniat menjadikan mesjid, maka tempat tersebut menjadi mesjid. Jika tidak, maka hanya menjadi wakaf untuk shalat saja, dan tidak menjadi mesjid seperti sekolahan.

[1] Muhammad al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ‘ala al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1424 H/2003 M), Jilid II, h. 517.

[2] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid III, h. 160.



Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 169

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-10

Di Surakarta Pada Tanggal 10 Muharram 1354 H. / April 1935 M.

Ad Placement