PENYAMBUNG WARTA: Syariah
Tampilkan postingan dengan label Syariah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syariah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Mei 2019

MENGAPA PEREMPUAN HAID WAJIB QADHA PUASA, SEMENTARA SHALAT TIDAK?



Haid adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi perempuan. Saat haid, mereka dilarang melaksanakan beberapa ibadah, dua diantaranya adalah shalat dan puasa. Namun ketentuan puasa dan shalat berbeda, perempuan yang haid diwajibkan mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkannya, sedangkan shalat tidak perlu diqadha.

Perbedaan ketentuan ini mungkin saja membuat kita bertanya-tanya, mengapa shalatnya perempuan yang haid tidak perlu diqadha?

Pertanyaan ini sendiri sebetulnya pernah diajukan oleh seorang perempuan kepada Aisyah RA. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah:

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْهَا: أَتَقْضِي الْحَائِضُ الصَّلَاةَ؟ قَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قَدْ كُنَّا نَحِيضُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَطْهُرُ، وَلَمْ يَأْمُرْنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

Dari Aisyah Ra, bahwasanya seorang perempuan bertanya kepadanya “Apakah orang yang haid menggadha shalat? Aisyah pun berkata “Apakah engkau haruriyah (khawarij)? “Kami haid pada masa Nabi Saw kemudian bersuci, beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqadha shalat” (HR Ibnu Majah)

Aisyah bertanya “Apakah engkau haruriyah” dikarenakan orang-orang haruriyah adalah cikal bakal terbentuknya kaum Khawarij. Haruriyah sendiri merupakan orang yang dinisbatkan kepada Harura, sebuah tempat di pinggir kota Kufah. Menurut sekte Khawarij, perempuan yang haid wajib mengqadha shalat yang ditinggalkannya selama haid.

Mengenai perihal qadha shalat perempuan yang haid, Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam Islam ada ibadah yang dapat diketahui penjelasannya, namun ada pula ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak semula, tanpa diberi penjelasan mengapa seperti ini dan seperti itu.

Misalnya shalat shubuh ditetapkan dua rakaat, shalat dzuhur empat rakaat dll. Begitu pula dengan kewajiban qadha puasa. Aisyah RA juga tidak menjelaskan mengapa perempuan yang haid tidak perlu mengqadha shalat, ia hanya mengatakan bahwa di masa Nabi, beliau tidak pernah memerintahkan para perempuan yang haid untuk mengqadha shalat.

Meskipun demikian, sesungguhnya ada hikmah luar biasa dari ketetapan ini, sebagaimana yang dikatakan Prof. Quraish Shihab. Shalat dilaksanakan lima kali dalam sehari. Jika seorang perempuan haid selama tujuh hari, berarti ia harus mengqadha shalat sebanyak 35 kali. Lalu bagaimana jika ia haid selama 14 hari? Maka kewajiban mengqadhanya menjadi dua kali lipat. Apalagi perempuan biasanya mengalami haid setiap bulan. Betapa beratnya kewajiban qadha shalat yang harus ditunaikannya.

Berbeda dengan puasa Ramadhan, puasa Ramadhan hanya diwajibkan sebulan dari 12 bulan. Jika pada bulan itu perempuan mengalami haid selama tujuh hari, maka ia wajib mengqadha tujuh puasa dalam tempo satu tahun. Jangka waktu yang cukup lama untuk mengganti tujuh puasa Ramadhan yang ditinggalkannya.

Selain itu, dalam shalat ada ketentuan yang membutuhkan konsentrasi dan kekhusyukan, misalnya ketika shalat kita tidak boleh berjalan-jalan, sedangkan ketika berpuasa kita boleh berjalan-jalan. Saat shalat kita tidak boleh tertawa, sedangkan ketika saat berpuasa kita boleh tertawa. Sehingga mengqadha puasa akan terasa lebih mudah dibanding mengqadha shalat.

Argumen yang disampaikan Prof. Quraish Shihab ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan al-Mawardi dalam kitab al-Haawi al-Kabiir.

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الصَّلَاةِ فِي الْقَضَاءِ وَالصَّوْمِ فِي وُجُوبِ الْقَضَاءِ لُحَوْقُ الْمَشَقَّةِ فِي قضائها للصلاة دون الصيام فزادت المشقة فِي قَضَائِهَا وَقَلِيلَةُ الصِّيَامِ وَعَدَمُ الْمَشَقَّةِ فِي قَضَائِهِ.

“Perbedaan antara qadha shalat dan kewajiban qadha puasa bagi perempuan haid adalah adanya masyaqqah untuk mengqadha shalat (setelah bersuci). Berbeda dengan puasa, (Jika perempuan haid) wajib mengqadha shalat yang ditinggalkan maka akan bertambah masyaqqahnya. Dan sedikitnya puasa dan tidak ada masyaqqah dalam mengqadhanya”

Sesungguhnya agama tak pernah memberatkan, melainkan selalu memudahkan pemeluknya. Rasulullah SAW bersabda

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah (berangkat di waktu malam) (HR. Bukhari)

Wallahu a’lam bisshawab

FERA RAHMATUN NAZILAH
Mahasantri Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, penulis tema-tema kajian hadis dan perempuan

Rabu, 12 Desember 2018

HUKUM MEMBANGUN MASJID DI ATAS TANAH NON WAKAF

ILUSTRASI


Di sebuah desa terdapat masjid yang dibangun di atas tanah wakaf sebagaimana lazimnya. Karena jamaah di masjid tersebut semakin bertambah banyak, masjid lalu tidak mampu menampung semua jamaah. Setelah melalui rapat dari berbagai elemen, akhirnya diputuskan masjid akan dibangun di atas tanah milik pemerintah desa setempat (bondho desa). Padahal sebagaimana kita ketahui, ada sebuah aturan “Tidak ada masjid kecuali statusnya sebagai tanah wakaf” (Lâ yakûnu al-masjidu illâ waqfan).

Pertama, bagaimana fiqih memandang kasus di atas?

Pembangunan masjid di tanah bondho desa sebagaimana dalam kasus di atas hukumnya diperbolehkan selama ada maslahah yang jelas. Sedangkan untuk pembangunan masjid di atas tanah yang bukan wakaf masjid atau tanah yang disewakan, ulama berbeda pendapat dengan penjelasan yang cukup panjang.

Perbedaan pendapat juga sangat tampak jika kita menelaah pada kitab karya Ibu Hajar al-Haitami, Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra. Namun setidaknya, untuk mempermudah kita, Al-Isnawi menilai lebih unggul pendapat yang menyatakan bahwa wakaf masjid dengan tanpa menyertakan tanahnya, atau bahkan sebaliknya adalah sah. Teks lengkapnya sebagaimana berikut:

رَجَّحَ الْإِسْنَوِيُّ قَوْلَ بَعْضِهِمْ لَوْ بَنَى فِيهِ مَسْطَبَةً وَوَقَفَهَا مَسْجِدًا صَحَّ كَمَا يَصِحُّ عَلَى سَطْحِهِ وَجُدْرَانِهِ وَقَوْلِ الزَّرْكَشِيّ يَصِحّ الى ان قال وَمِنْ هُنَا عُلِمَ أَنَّهُ يَصِحُّ وَقْفُ الْعُلْوِ دُون السُّفْلِ مَسْجِدًا كَعَكْسِهِ انْتَهَتْ

Artinya: “Al-Isnawi menganggap lebih unggul terhadap pendapat sebagian ulama yang menyatakan, jika ada tanah dibangun sebuah tempat duduk di sebuah teras dan diwakafkan sebagai masjid, hukumnya sah sebagaimana sahnya wakaf pada lantai atas dan temboknya. Dan al-Isnawi menganggap kuat pendapat az-Zarkasyi tentang keabsahan hal tersebut. Dengan demikian, sah hukumnya wakaf pada lantai atas namun bawahnya tidak diwakafkan sebagaimana sebaliknya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, [Al-Maktabah al-Iislamiyyah], juz 3, halaman 274)

Jadi, wakaf masjid di atas tanah non-masjid, sah.

Sekarang, bagaimana jika ada masjid yang berada di atas tanah sewa? Menurut pendapat paling shahih (qaul ashah) hukumnya diperbolehkan sebagaimana dijelaskan pada kitab Tuhfatul Muhtaj sebagaimana berikut:

عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ وَلَا فِيمَا أَرْضُهُ مُسْتَأْجَرَةٌ وَوُقِفَ بِنَاؤُهُ مَسْجِدًا عَلَى الْقَوْلِ بِصِحَّةِ الْوَقْفِ وَهُوَ الْأَصَحُّ 

Artinya: “Redaksi dalam kitab al-Mughnî dan an-Nihâyah mengatakan, dan tidak pada tanah yang disewakan dan bangunannya diwakafkan menjadi masjid menurut pendapat yang menyatakan bahwa sah model pendirian masjid seperti demikian dihukumi sah. Keabsahan pendirian masjid seperti itu adalah menurut pendapat ini yang paling shahih. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, [Al-Maktabah at-Tijâriyah, Mesir, 1983], juz 3, halaman 464)

Kutipan Ibnu Hajar di atas senada dengan yang disebutkan dalam kitab Raudlotuth Thalibin yang sama-sama menyatakan, tanah sewa yang tidak diwakafkan namun di atasnya berdiri bangunan yang diwakafkan sebagai masjid, perwakafan bangunan saja sebagaimana di atas, hukumnya sah menurut pendapat yang paling shahih. Tidak melulu pada tanah sewa, maksudnya, yang penting tanah bukan wakaf, bisa didirikan bangunan yang diwakafkan sebagai masajid. Namun, sebagaimana logika fiqih, karena pendapat di atas adalah sesuai yang paling shahih, menurut pendapat yang berseberangan (muqabiul ashah) menyatakan wakaf bangunan masjid di atas tanah yang tidak diwakafkan, tidak sah hukumnya.

Pendapat ini juga didikung dengan penjelasan Ibnus Shalah yang disampaikan oleh Zakariya al-Anshâri sebagai berikut:

ـ (وَلَوْ وَقَفَ مَا لَمْ يَرَهُ ، أَوْ) وَقَفَ ( الْمُؤَجِّرُ أَرْضَهُ) الَّتِي أَجَّرَهَا (أَوْ الْوَارِثُ الْمُوصَى بِمَنْفَعَتِهِ مُدَّةً ، أَوْ الْمُسْتَأْجِرُ) لِأَرْضٍ (بِنَاءَهُ) أَوْ غِرَاسَهُ الَّذِي بَنَاهُ ، أَوْ غَرَسَهُ فِيهَا (صَحَّ) لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا مَمْلُوكٌ يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ فِي الْجُمْلَةِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ سَوَاءٌ أَكَانَ الْوَقْفُ فِي الْأَخِيرَةِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ أَمْ بَعْدَهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ ابْنُ الصَّلَاحِ

Artinya: “Jika ada orang mewakafkan harta yang belum pernah ia lihat (missal: orang yang wakaf buta, -pen), atau orang yang menyewakan tanahnya atau ahli waris yang diberi wasiat untuk bisa menggunakannya dalam tenggang masa tertentu, atau penyewa tanah kemudian mewakafkan bangunan masjid di atasnya atau tanaman di atas bangunan yang ia dirikan, maka hukumnya sah. Sebab masing-masing bisa dimiliki dan bisa diambil manfaatnya secara global serta hartanya masih tetap ada, baik wakafnya itu dilakukan menyusul setelah ia transaksi sewa-menyewa yang penting sebelum masa sewa habis  atau bahkan sesudahnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnus Shalah. (Zakariya al-Anshâiri, Asnal Mathâlib [Dârul Kutub al-Islâmiyyah], juz 2, halaman 458).

Kedua, setelah masjid baru terbangun, apakah tanah bondo desa atau tanah yang disewa tersebut secara otomatis menjadi tanah wakaf?

Tidak. Tanah yang bukan wakaf sebagai masjid namun di atasnya dibangungkan masjid, tanah tersebut tidak secara otomatis menjadi tanah wakaf.

وَعُلِمَ مِمَّا مَرَّ أَنَّ الْوَقْفَ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِلَفْظٍ وَلَا يَأْتِي فِيْهِ خِلَافُ الْمُعَاطَاةِ  فَلَوْ بَنَى بِنَاءً عَلَى هَيْئَةِ مَسْجِدٍ وَأَذِنَ فِيْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ فِيْهِ لَمْ يَخْرُجْ بِذَلِكَ عَنْ مِلْكِهِ كَمَا إِذَا جَعَلَ مَكَانًا َعلَى هَيْئَةِ الْمَقْبَرَةِ وَأَذِنَ فِيْ الدَّفْنِ بِخِلَافِ مَا لَوْ أَذِنَ فِي اْلِإْعتِكَافِ فِيْهِ فَإِنَّهُ يَصِيْرُ بِذَلِكَ مَسْجِدًا  

Artinya: “Sebagaimana telah diketahui, sesungguhnya wakaf itu tidak sah kecuali dengan ucapan. Pada masalah wakaf tidak berlaku perbedaan pendapat mengenai al-mu’âthah (transaksi tanpa komunikasi verbal). Jika ada orang membangun bangunan dengan model desain masjid, pemilik tanahnya memberikan izin untuk dibuat shalat di atasnya, jika tidak diwakafkan tanahnya, status tanah tersebut tidak keluar dari status kepemilikan pemilik tanah tadi. Misalnya, seumpama ada orang memberikan izin orang lain menguburkan jenazah di dalam tanah yang ia miliki, tidak otomatis tanah tersebut diwakafkan menjadi pemakaman. Berbeda kalau pemilik memberikan izin beri’tikaf, itu pasti berubah menjadi wakaf.” (Zainuddin al-Malyabari, Fathul Mu’in, [Dâr Ibn Hazm], halaman 402)

Jika kita mencermati redaksi pada kitab ini, kalau ada orang mengizinkan shalat saja, tidak otomatis menjadi masjid, karena shalat tidak harus dilakukan di dalam masjid. Boleh di rumah, mushalla dan lain sebagainya. Berbeda apabila i'tikaf. I’tikaf tidak bisa dilaksanakan di luar masjid. Sekali saja ada orang mengizinkan orang lain melakukan i’tikaf di atas tanahnya, otomatis tanahnya berubah status menjadi wakafan masjid, bukan lagi menjadi hak miliknya. Sebab tidak ada orang bisa beri’tikaf kecuali di masjid. Apabila mengizinkan orang lain i'tikaf, secara tidak langsung mengakui sendiri, bahwa tanahnya adalah masjid.

Jika masa sewa lahan  tanah telah berakhir dan persewaannya tidak diperpanjang, apakah bangunan tersebut masih berstatus sebagai masjid dan bolehkah bangunan tersebut dibongkar?

Tanah tersebut tidak secara otomatis menjadi wakaf kecuali pemilik tanah atau pemerintah mengikrarkan wakafnya. Pemerintah, walaupun tidak perseorangan, mempunyai hak untuk mengelola (tasharuf) harta-harta milik umum sesuai kebijakan yang maslahat.

Selanjutnya, jika bangunan masjid sudah berdiri, seumpama berdiri di atas tanah sewa, walaupun tidak di atas tanah wakaf, karena status bangunannya adalah bangunan wakaf masjid, maka bangunan masjid tidak boleh dirobohkan. Sedangkan penyewa yang membangun masjid di atas tanah sewa mempunyai kewajiban meneruskan pembayaran biaya sewa tanah tersebut. Wallâhu a’lam.

(Ustadz Ahmad Mundzir)
dilansir nu.or.id

Senin, 09 Oktober 2017

HUKUM MENGINVESTASIKAN HASIL ZAKAT



Allah telah menjelaskan golongan yang berhak menerima harta zakat. Tepatnya pada firman Allah di surat at-Taubah,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para mu’allaf, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang kehabisan bekal di perjalanan. (QS. at-Taubah: 60)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut zakat itu dari orang kaya dikembalikan kepada orang miskin. Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka dan dikembalikan ke orang fakir mereka. (Muttafaq alaih)

Untuk itulah, bagi siapapun, baik muzakki maupun pengurus zakat, termasuk para amil, tidak dibenarkan menunda penyerahan zakat kepada yang berhak.

Sementara ketika dana zakat diinvestasikan, yang terjadi adalah penundaan penyerahan harta zakat. Harta itu tidak bisa langsung diterima mereka yang berhak, tapi dikembangkan dulu untuk usaha. Dan dalam usaha, bisa dipastikan ada kemungkinan gagal.

Karena alasan inilah, para ulama kontemporer memfatwakan larangan menginvestasikan dana zakat.

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum investasi dana zakat yang dilakukan yayasan sosial, dengan pertimbangan agar dana untuk orang miskin bisa terus berjalan secara berkesinambungan.

Jawaban beliau,

وأما استثمارها في شراء العقارات وشبهها فلا أرى ذلك جائزاً ؛ لأن الواجب دفع حاجة الفقير المستحق الآن , وأما الفقراء في المستقبل فأمرهم إلى الله

Investasi dana zakat dalam bentuk membeli tanah atau semacamnya, saya tidak membolehkan. Yang wajib menyerahkan dana ini untuk menutupi orang miskin yang berhak mendapatkannya ketika itu. Adapun orang miskin di masa mendatang, itu kembali kepada urusan Allah. (Liqaat Bab al-Maftuh, 1/67)

Pertanyaan semisal pernah diajukan ke Lajnah Daimah. Mengenai lembaga sosial yang ingin menginvestasikan dana yang ada di kas-nya.

Jawaban Lajnah,

إذا كان المال المذكور في السؤال من الزكاة : فالواجب صرفه في مصارفه الشرعية من حين يصل إلى الجمعية ، وأما إن كان من غير الزكاة : فلا مانع من التجارة فيه لمصلحة الجمعية ؛ لما في ذلك من زيادة النفع لأهداف الجمعية وللمساهمين فيها

Jika harta yang dimaksud penanya adalah harta zakat, maka yang wajib diserahkan kepada golongan penerima yang ditunjuk syariah, ketika zakat itu diterima oleh Yayasan. Namun jika dana itu selain zakat, maka tidak masalah dikembangkan untuk kemaslahatan Yayasan. Karena di sana ada tambahan manfaat untuk kepentingan Yayasan maupun mereka yang punya saham di sana. (Fatawa Lajnah Daimah, 9/403-404).

Bisa jadi ada orang miskin yang berhak mendapat zakat, dia sedang membutuhkan. Sementara dia tidak bisa mendapatkan haknya karena tertahan untuk investasi…

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kaum muslimin untuk bisa menjalani aturan islam dengan baik dan benar. Amin….

Allahu a’lam.

dicuplik dari konsultasisyariah.

MENGGUNAKAN INFAK MASJID UNTUK KEGIATAN SOSIAL



Bolehkah menggunakan dana infaq masjid untuk kegiatan sosial. Misalnya, untuk bagibagi sembako bagi masyarakat miskin sekitar masjid?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Setiap orang yang memasukkan infak ke kotak masjid tanpa maklumat apapun akan memahami bahwa infak ini akan digunakan untuk kepentingan masjid. Kecuali jika di sana tertulis yang lain. Misal, tertulis: “Donasi untuk Muslim Rohingya” atau semacamnya.

Tanggung jawab pengelola infak adalah menyalurkannya sesuai dengan amanah yang diberikan pemberi infaq. Ketika yang memberi infak meyakini itu untuk masjid, itulah peruntukan infak yang diamanahkan.

Karena itu, kotak infak masjid tidak diperbolehkan disalurkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Infak ini hanya untuk kemaslahatan masjid.

Pertanyaan ditujukan kepada Lajnah Daimah,

هل يجوز أخذ الوقف ‏(‏إكمال المسجد مثلا‏)‏ وصرفه على المساكين، مع العلم أن هذا الوقف مخصص لبناء المسجد‏؟‏

Bolehkah mengambil uang wakaf masjid dan diberikan kepada fakir miskin. Sementara perllu diketahui bahwa uang wakaf ini khusus untuk pembangunan masjid.

Jawaban Lajnah Daimah:

الوقف إذا كان على معين- كالمسجد مثلا- لا يجوز صرفه إلى غيره إلا إذا انقطعت منافع المسجد الموقوف عليه، فصار لا يصلى فيه لعدم السكان حوله، فإنه ينقل إلى مسجد آخر بواسطة المرجع الرسمي المختص في ذلك‏.‏ وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Uang wakaf, jika ditujukan untuk program tertentu, misalnya masjid, tidak boleh digunakan untuk selain masjid. Kecuali jika masjid yang menerima infak ini sudah tidak berfungsi. Tidak ada yang shalat di sana, karena penghuni di sekitarnya tidak ada. Sehingga infak bisa dipindahkan ke masjid yang lain, melalui rekomendasi resmi yang menangani masalah terkait.

Segala taufiq hanya milik Allah. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Fatwa Lajnah no. 15920. Ditanda tangani oleh:
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Solusi & Saran

Jika takmir masjid berkeinginan menyelenggarakan kegiatan sosial berupa santunan untuk orang yang membutuhkan di sekitar masjid, atau untuk dana kesehatan, maka takmir bisa memasang pengumuman di kotak infak yang disediakan.

Misalnya, di salah satu kotak infak tertulis maklumat:

“Infak untuk dana sosial muslim sekitar masjid” atau “Infak untuk dana kesehatan jamaah” dst. Sehingga ketika orang yang menyumbang memberikan uangnya, dia telah memahami bahwa dana itu akan diperuntukkan sebagaimana yang tertulis.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
dicopy paste dari konsultasisyariah

Senin, 02 Oktober 2017

INI SEBAB-SEBAB MANDI WAJIB

Mandi adalah mengalirkan air ke seluruh anggota tubuh dengan niat tertentu. Mandi adakalanya wajib, sunah, mubah, atau makruh. Mandi sunah seperti mandi untuk shalat Jumat dan mandi di hari raya. Sedangkan mandi mubah adalah mandi yang hanya dengan tujuan menyegarkan atau membersihkan badan tanpa disertai motif terkait anjuran agama.



Adapun mandi dihukumi makruh ketika dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dengan cara menyelam sebab dikhawatirkan ada air yang masuk ke rongga tubuh. Sementara berikut ini adalah sebab-sebab yang mewajibkan mandi:

1.Keluar sperma

Keluarnya sperma (mani) mewajibkan mandi baik dari laki-laki maupun perempuan. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله تعالى عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم { الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya, “Dari Abu Sa’id Al-Khudri Ra. Ia berkata, Rasulullah Saw.bersabda, ‘Air itu karena air (wajibnya mandi karena keluarnya air mani),’” (HR Muslim).

Hadits ini menunjukkan keluar mani mewajibkan mandi secara mutlak sehingga dapat dipahami baik keluar tersebut dalam keadaan terjaga atau tertidur, disengaja atau tidak, ada sebab atau tidak, disertai syahwat atau tidak karena yang menjadi titik pokok adalah yang penting keluar mani.

Terkait dengan keluar mani perlu dibedakan antara mani, madzi, dan wadi. Madzi adalah cairan putih lengket yang keluar dari seseorang ketika ada hasrat seksual yang tidak terlalu kuat. Sedang wadi adalah cairan putih keruh yang keluar sehabis buang air kecil atau ketika mengangkat beban yang berat. Madzi atau wadi hukumnya najis dan tidak mewajibkan mandi. Keduanya hanya membatalkan wudhu.

Adapun mani adalah cairan yang memiliki salah satu dari tiga ciri; keluarnya disertai rasa nikmat (syahwat), keluar dengan tersendat-sendat (tadaffuq), atau memiliki aroma seperti adonan roti ketika masih basah dan seperti putih telur ketika sudah kering. Ketika cairan yang keluar mengandung salah satu ciri tersebut, maka itu dianggap mani secara hukum meski tidak berwarna putih atau keluarnya tidak disertai syahwat. Mani hukumnya suci dan mewajibkan mandi.

2. Hubungan seksual (Persetubuhan)

Yang dimaksud hubungan seksual adalah masuknya hasyafah (kepala penis) ke dalam farji (lubang kemaluan) meskipun memakai kondom ataupun tidak keluar sperma. Hal ini mewajibkan mandi berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

إذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يُنْزِل

Artinya, “Bila seorang lelaki duduk diantara empat potongan tubuh wanita (dua tangan dan dua kaki) dan tempat khitan (laki-laki) bertemu tempat khitan (wanita) maka sungguh wajib mandi meskipun ia tidak mengeluarkan mani,” (HR Muslim).

Secara umum, semua madzhab empat mewajibkan mandi sebab masuknya hasyafah ke farji baik jalan depan (vagina) atau jalan belakang (anus), miliki wanita atau pria, masih hidup ataupun mayat. Keduanya dihukumi junub sehingga wajib mandi kecuali mayat, tidak perlu untuk dimandikan kembali. Begitu juga seseorang yang menyetubuhi hewan juga wajib mandi menurut madzhab empat selain Hanafiyah. Hanafiyah juga tidak mewajibkan mandi karena menyetubuhi mayat.

3. Terhenti keluarnya darah haidh

Haidh atau menstruasi adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam keadaan normal, minimal sehari semalam (24 jam) dan maksimal lima belas hari. Sedang umumnya haidh keluar selama tujuh atau delapan hari. Dalil kewajiban mandi bagi perempuan yang mengalami haidl adalah firman Allah:

وَيَسْأَلُونَك عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ

Artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu,” (Surat Al-Baqarah ayat 222).

Dalam tafsir disebutkan yang dimaksud dengan suci dalam ayat tersebut adalah suci dengan cara mandi. Dalam satu kesempatan sahabat Fathimah binti Abi Jaisy RA pernah bertanya tentang darah yang keluar kemudian Rasulullah SAW menjelaskan:

فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي } رَوَاهُ الْبُخَارِيّ

Artinya, “Bila keadaan haidl itu datang maka tinggalkanlah shalat. Bila ia telah pergi maka mandi dan shalatlah,” (HR Bukhari dari Sayyidah Aisyah RA).

Perempuan yang keluar darah wajib mandi setelah selesai keluarnya darah yang sudah mencapai 24 jam baik terus-menerus dalam sehari semalam atau terputus-putus dan hendak melakukan ibadah yang membutuhkan suci seperti shalat, thawaf, membaca Al-Quran. Bila keluarnya darah belum mencapai 24 jam semisal dua jam keluar darah lalu berhenti kemudian keluar darah lagi tiga jam terus berhenti lagi ini belum wajib mandi karena belum bisa dipastikan akan mencapai 24 jam yang menjadi batas minimal bisa disebut haidh. Karena itu ia cukup membersihkan kemaluannya kemudian berwudhu dan masih berkewajiban melakukan shalat. Baru ketika darah sudah mencapai 24 jam ia berkewajiban untuk mandi ketika darah tersebut telah berhenti keluar (mampet) dan hendak melakukan ibadah yang mensyaratkan suci.

4. Terhenti keluarnya darah nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita setelah melahirkan. Minimal nifas adalah waktu sebentar sedang maksimal adaah 60 hari. Umumnya nifas berlangsung selama 40 hari. Sebagaimana haidh, wanita yang mengalami nifas juga wajib mandi setelah darahnya berhenti (mampet). Hanya dalam nifas tidak perlu menunggu hingga mencapai hitungan 24 jam karena asal darah keluar setelah melahirkan sudah dapat dikategorikan nifas.

Perlu diketahui bahwa wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas tidak diperbolehkan dan tidak sah melakukan wudhu atau mandi ketika sedang keluar darah (belum mampet). Hal ini karena fungsi utama wudhu atau mandi adalah menghasilkan kesucian sedang ia sedang menjalani keluar darah yang menjadi penyebab hadats. Ia hanya diperbolehkan melakukan mandi sunah yang fungsi utamanya menghilangkan aroma tak sedap karena hendak berkumpul dengan orang banyak seperti mandi sunah ketika hendak memasuki Mekkah dan mandi dua hari raya.

5. Melahirkan

Melahirkan normal termasuk hal yang mewajibkan mandi meskipun yang dilahirkan masih berupa segumpal darah atau daging. Sedang bila proses persalinan melalui bedah cesar, maka ada perbedaan pendapat di antara ulama.  Ada yang berpendapat tetap wajib mandi dan ada yang mengatakan tidak.

6. Meninggal

Orang yang meninggal wajib dimandikan selain orang yang meninggal dalam kondisi syahid dan selain korban keguguran atau aborsi yang belum tampak bentuk sebagai manusia seperti masih berbentuk segumpal daging. Sedang bila bayi keguguran tersebut telah memiliki sebagian bentuk manusia seperti telah memiliki tangan atau kepala, maka tetap wajib dimandikan. (Masruhan)
sumber: nu.or.id

Minggu, 01 Oktober 2017

JAWABAN METODOLOGIS UNTUK ORANG YANG GEMAR MEMVONIS BID'AH


Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan, “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.”

Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim

Ketika Nabi tidak melakukan suatu hal–dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut “at-tark”— mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau (sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa [ma’shum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kultural—red), atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.

Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan:

  مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ

"Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".

Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:

  كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ

"Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf."

Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh:

  تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ

"Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang". 

At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al-matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja.

Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada (1) nahy (larangan), atau (2) lafazh tahrim atau (3) dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:

وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا 

Maknanya: "..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Q.S. al Hasyr: 7)

Allah tidak menyatakan:

  وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ

"Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah."

Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:

"فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ".

"Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya".

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ

"Ibnu Baththal mengatakan, ‘Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah (konteks, red) lain –demikian pula tark-nya—tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman’." (Kitab Fathul Bari, 9/14)

Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar "وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-tark saja (mujarrad at-tark) tidak menunjukkan pengharaman.

Perihal Tuntutan “Mana Dalilnya?”

Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, “Ini tidak ada dalilnya!”, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut.

Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)

Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan:

  العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ

"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)."

Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut.

Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut.

Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.

Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.

Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah.

Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi (Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul).

Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.

Hati-hati Terperosok!

Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlal—orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih (h. 132):

وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ  ا.هـ.

"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau mengatakan: ‘Kedua: hadits tersebut menyalahi nash Al-Qur’an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya".

Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an seperti firman Allah:

أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ 

Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S. az-Zukhruf: 18)

Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:

فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً ا.هـ.

"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" (Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22).

Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi.

Teladan Toleransi Ulama Salaf

Dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda.

Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya.

Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati:

لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi).” (Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584)

Maksud dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda. Wallahu a'lam.

Nur Rohmad, Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Kabupaten Mojokerto
diteruskan dari: nu.or.id

Senin, 25 September 2017

STATUS EYELINER DALAM HUKUM ISLAM

Hampir semua wanita ingin tampil cantik dan sedap dipandang mata. Kosmetik adalah solusinya. Salah satu kosmetik wanita yang digunakan untuk mempercantik dan menegaskan bentuk mata adalah celak atau eyeliner (penggaris mata). Eyeliner ini sangatlah eksis dan ngetrend di kalangan wanita dengan berbagai fungsi dan tujuannya, terlebih bagi wanita yang bermata sipit dan sayu.

Sebenarnya kosmetik untuk mempertajam mata telah ada sejak zaman Rasulullah SAW bahkan sejak zaman Mesir kuno. Celak yang bagus pada saat itu adalah celak itsmid yang terbuat dari batu hitam kemerahan dengan fungsi menajamkan mata dan menumbuhkan rambut mata sebagaimana di dalam hadits riwayat Al-Tirmidzi disebutkan.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اكْتَحِلُوا بِالْإِثْمِدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ وَزَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَهُ مُكْحُلَةٌ يَكْتَحِلُ بِهَا كُلَّ لَيْلَةٍ ثَلَاثَةً فِي هَذِهِ وَثَلَاثَةً فِي هَذِهِ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas bahwasannnya Nabi SAW berkata, ‘Hendaklah kalian bercelak dengan itsmid, karena sungguh ia dapat memperjelas pandangan dan menumbuhkan rambut (mata). Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi SAW memiliki botol tempat celak, yang biasanya beliau memakainya setiap malam, tiga kali di bagian mata ini (kanan) dan tiga kali di bagian mata ini (kiri).’”

Tetapi menilik perkembangan zaman modern ini telah muncul berbagai jenis dan model eyeliner, bahkan tidak hanya dipakai di bawah mata tetapi dipakai di atas mata seperti layaknya ratu Cleopatra pada zaman Mesir kuno. Eyeliner itu adakalanya berupa pensil, dan jenis ini mudah hilang bahkan terhapus apabila terkena air. Ada pula eyeliner yang berbentuk liquid (cair), jenis ini termasuk tahan lama dan tidak mudah luntur kecuali jika terkena air. Bahkan ada juga jenis eyeliner yang sangat tahan lama dan tidak akan luntur meskipun terkena air, jenis ini disebut dengan eyeliner waterproof.

Melihat jenis eyeliner tersebut, maka timbul pertanyaan bagaimana hukum wudhu seorang wanita memakai eyeliner yang dalam kategori jenis ketiga, yakni memakai eyeliner jenis waterproof (tahan air)?

Secara fiqih, sebagaimana dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji alal Madzhabis Syafi’i dijelaskan bahwa wajib meratakan basuhan ke seluruh rambut dan kulit bagian anggota wudhu. Jika di bawah kuku-kukunya terdapat kotoran yang menghalangi sampainya air, atau cincin (yang dipakai dapat menghalangi sampainya air) maka tidak sah wudhunya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَهُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ ».

Artinya, “Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, ‘Kkami kembali bersama Rasulullah SAW dari Kota Mekkah menuju Madinah sampai ketika kami menemukan air di tengah perjalanan, maka sekelompok orang (kaum) segera bergegas shalat ashar, mereka pun berwudhu dengan tergesa-gesa, sampai kami berakhir sedangkan tumit mereka jelas sekali masih kering tidak tersentuh air. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah bagi tumit-tumit itu karena api neraka. Sempurnakanlah wudhu kalian.”

Ada pula hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa terdapat laki-laki yang berwudhu dan meninggalkan tempat kuku-kukunya atas tumitnya. Nabi yang melihatnya mengatakan, “Ulangi lagi! Perbaiki wudhumu.” Maka ia kembali berwudhu dan shalat. Dua hadits ini menunjukkan bahwa tidaklah cukup wudhu jika bagian anggota yang wajib dibasuh tidak terkena basuhan.

Oleh karena itu jika eyeliner itu tahan air sehingga menghalangi air wudhu sampai anggota wajah yang tertutup eyeliner tersebut, maka wudhunya tidak sah sehingga bagi wanita ingin tampil cantik dengan pilihan eyeliner waterproof, hendaknya menghapus eyeliner itu terlebih dahulu sebelum berwudhu, atau memakainya ketika sedang menstruasi saja. Sedangkan eyeliner yang dapat terhapus dengan mudah ketika berwudhu, maka tidaklah masalah dengan catatan tetap memperhatikan semua anggota tubuh yang wajib dibasuh ketika berwudhu agar tidak termasuk dalam golongan yang diancam neraka oleh Nabi SAW karena sembrono dalam masalah wudhu. Wallahu a’lam. (Annisa Nurul Hasanah)

sumber: nu.or.id

Jumat, 08 September 2017

MELIHAT ALLAH, MUNGKINKAH? (2-Habis)

Melihat Allah di akhirat

Pada dasarnya permasalahan ini dapat dikelompokkan menjadi dua pembahasan: Pertama, Kelompok yang menetapkan ru’yatullah fil akhirat Imam Asy’ari di dalam kitabnya Maqalaat al-Islamiyyin mengatakan bahwa: 

جملة ما عليه اهل الحديث والسنة الاقرار بالله وملائكته....الى ان قال.. ويقولون اِن الله سبحانه وتعالى يرى بالابصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر يراه المؤمنون ولا يراه الكافرون لانهم عن الله محجوبون فال الله عز وجل "كلا انهم عن ربهم يومئذ لمحجوبون"

Di antara pendapat Ahlussunnah adalah orang mukmin kelak di akhirat dapat melihat Allah SWT dengan mata, sebagaimana dapat melihat bulan purnama dengan mata (artinya, tidak ada kesamaran dan keraguan dalam melihat-penulis), dan hal ini tidak berlaku bagi orang kafir seperti dalam firman-Nya (QS. Al-Tathfif 15);

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka.

Bahkan Imam Syafi’I saking begitu yakinnya bahwa kelak di akhirat Allah SWT dapat dilihat ia berani mengatakan: 

امَا والله ِ لَوْ لَمْ ُيوقِنْ محمد بن ادريس بِاَنَّه يَرَى رَبَّه فِى المَعاد لمّا عَبِدَه فى الدنيا

Ingatlah, aku bersumpah atas nama Allah SWT, andaikan Muhammad bin Idris tidak yakin bahwa ia kelak akan meliat Tuhannya di akhirat, niscaya ia tidak akan menyembah-Nya di dunia.

Banyak teks-teks baik al-kitab, maupun al-sunnah mengenai masalah ru’yah (melihat Allah). Di samping al-kitab dan al-sunnah, terjadinya ru’yah di akhirat juga telah menjadi konsensus di antara para sahabat (Al-Bajuri, tt; 71). Adapun dalil-dalil mengenai ru’yatullah fil akhirat antara lain;

QS.Al-Qiyamah 22-23,

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Kata النظر  pada ayat di atas menurut Al-Juba’i (W 303 H) seorang tokoh Mu’tazilah yang menafikan ru’yah adalah الانتظار (menunggu) di samping itu kata الى menurutnya adalah kalimat isim yang mempunyai arti النعمة (nikmat) sehingga makna ayat di atas menurutnya adalah منتظرة نعمة ربها (menunggu nikmat Tuhannya). (Al-Bajuri, tt : 71).

Apa yang di katakan oleh Al-Jubai di atas, menurut Al-Bajuri, tidak dapat dibenarkan, karena kata النظر mempunyai beberapa penggunaan sesuai dengan rangkain dan ke-muta’addi-annya (transitif). Jika ia muta’addi dengan sendirinya, maka bermakna التوقف والانتظار (berhenti dan menunggu) seperti dalam firman-Nya, QS Al-Hadid 13. Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu.

Jika muta’addi menggunakan فى mananya adalah التفكروالاعتبار (berpikir dan mengambil pelajaran) seperti dalam firman-Nya, QS Al-A’raf 185, Dan apakah mereka tidak berpikir dan mengambil pelajaran (terhadap) kerajaan langit dan bumi?

Jika muta’addi menggunakan الى maka maknanya adalah المعاينة بالابصار (pengamatan dengan mata) seperti dalam firman-Nya QS. Al-An’am 99. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. 

Dengan demikian, bahwa kata النظر ketika disandarkan pada الوجه yang mana الوجه adalah termasuk tempatnya mata, maknanya adalah “melihat”, dan ini merupakan pendapat semua mufassir, dari golongan ahlussunnah dan ahlul hadist tegas Abu al-‘Izz dalam tulisannya (Al-Qadli ‘Iyadh, Vol I : 209).

QS. Yunus, 26:

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.

Kata al-husna pada ayat di atas adalah surga, sedangkan kata wa ziyadah, menurut jumhur al-mufassirin adalah melihat Allah (Al-Bajuri, tt: 71).

QS. Al-Muthaffifin 15:

Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhan mereka.

Menurut Al-Zujaj, ayat di atas menunjukkan bahwa kelak Allah SWT dapat dilihat di hari kiamat. Jika tidak, maka ayat di atas tidak ada faidahnya, dan juga “ketidakdapatan melihat Allah SWT” bagi orang kafir juga bukan sesuatu yang hina, dan Allah telah memberitahukan (QS Al-Qiyamah 22-23) bahwa orang mukmin akan melihat-Nya dan orang kafir akan terhalang dari (melihat)-Nya (Al-Qurthubi, 2002, Vol X : 216).

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Jarir (Al-Bukhori no 7435), 

قال النبي صلى الله عليه وسلم انكم سترون ربكم عِيانا

Nabi bersabda sesungguhnya kalian akan melihat Tuhanmu dengan jelas. 

Meskipun Ahlussunnah menetapkan adanya ru’yah, namun perlu digarisbawahi bahwa ru’yah tersebut tanpa adanya takayyuf (cara melihat objek) sebagaimana berlaku pada sesuatu yang hadist (baru), seperti muqobalah (berhadapan), jihah (adanya arah tertentu), tahayyuz (bertempat) dan sebagainya karena ru’yah di sini merupakan suatu kekuatan yang dijadikan oleh Allah bagi makhluk-Nya tanpa adanya sarat muqobalah, tahayyuz dan lain sebagainya (Al-Bajuri, tt : 71-72).

Kedua, kelompok yang menafikan ru’yatullah fil akhirat
Di antara kelompok-kelompok yang menafikan hal ini adalah Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Imamiyah (Abi al-‘Izz, Vol I; 207). Adapun dalil yang digunakan oleh kelompok Mu’tazilah sebagaimana dijelaskan Imam Fahruddin Al-Razi (W 606 H) antara lain adalah sebagai berikut (Al-Razi, tt, Vol I : 295-296):

QS. Al-An’am 103;

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

Menurut Al-Razi, berdasarkan ayat di atas mereka berpegang teguh pada dua hal; pertama, tiada seorang pun yang dapat melihat Allah, kedua, ayat di atas mencegah seseorang dapat melihat-Nya.

Adapun penjelasan tentang keduanya menurut Al-Razi adalah sebagai berikut:

Persoalan:

Idrak jika disandarkan pada al-bashar adalah al-ru’yah wal ibshar (melihat dengan mata) dengan alasan bahwa tidak sah menetapkan salah satunya (ru’yah atau idrak) lantas menafikan satunya lagi, maka tidak sah apabila dikatakan رأيته وما ادركته بعيني (saya melihatnya dan saya tidak dapat mencapainya dengan mata saya), begitu pula ادركته بعيني وما رايته (saya dapat mencapainya dengan mata saya, dan saya tidak melihatnya). Hal ini menunjukkan bahwa idrak al-bashar dan ru’yah adalah satu. Jika demikian, (menurut mereka) Allah menafikan bahwa tiada seorang pun yang dapat melihat Allah dengan mata kepala kapan pun itu.

Bantahan:

Argumen ini dipatahkan oleh Imam Fahruddin Al-Razi sebagai berikut :

“Kita tidak bisa menerima bahwa idrak adalah ungkapan dari ru’yah, idrak adalah ungkapan dari kata al-wusul (sampai / mencapai ), seperti ungkapan ادرك الغلام اذا صار بالغا  seorang pemuda telah (mencapai) menginjak remaja ketika ia baligh ادركت الثمرة اذا وصلت الى حد النَّضْجِ buah telah masak ketika sampai (pada batas) matang. 

Allah berfirman dalam QS. Al-Syu’ara 61,

Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul."

Selanjutnya Al-Razi berkata, jika engkau telah mengetahui (akan hal) ini, maka kami katakan “sesungguhnya seseorang ketika melihat sesuatu dan ia melihatnya dari ujung hingga akhirnya, maka kepadanya dikatakan انه ادركه (sesunguhnya ia telah mencapainya) dengan ketentuan bahwa ia telah meliputi semua yang ia lihat. Dan tentunya hal ini hanya berlaku bagi sesuatu yang ada ujung dan akhirnya, sedangkan Allah Maha Suci dari hal ini. Dengan demikian menafikan idrak belum tentu menafikan ru’yah.

Persoalan: 

Dalam ayat tersebut Allah memuji dirinya bahwasannya tiada sesuatu pun pandangan mata yang dapat melihatnya, dan “setiap sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka keberadaannya adalah naqsu (tercela)” dan hal ini (naqsu) muhal bagi Allah. Dengan demikian, ru’yah adalah sesuatu yang dicegah atau dilarang.

Bantahan:

Konteks ayat لا تدركه الابصار adalah tamadduh (pujian) yang menunjukkan bahwa ru’yatullah adalah sesuatu yang jaiz. Jika ru’yatullah tidak jaiz, maka tidak ada tamadduh dalam ayat tersebut. Secara logis bahwa substansi sesuatu yang ma’dum (tidak ada) itu tidak terlihat, dan sesuatu yang dirinya sendiri tidak terlihat maka “ketidakkelihatannya” tersebut tidak akan menetapkan madh (pujian) atau ta’dzim (pengagungan). Berbeda jika pada diri sesuatu tersebut jaiz terlihat, lalu sesuatu tersebut mempunyai kemampuan (qudroh) untuk menghalangi penglihatan sehingga ia tidak tercapai oleh penglihatan maka dengan kemampuan yang dimiliki inilah menunjukkan adanya madh (pujian) dan ta’dzim (pengagungan). Dengan demikian, ayat لا تدركه الابصار  menunjukkan bahwa Allah Ta’ala ‘wenang” terlihat (Abdul Al-Rumi, 1985: 71-72).

Disamping itu, menurut Al-Razi, tentang apa yang mereka katakan كل ماكان عدمه مدحا كان وجوده ممتنعا setiap sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka keberadaannya adalah terlarang” kontradiktif dengan pendapat mereka sendiri yang mengatakan bahwa Allah memuji dengan menafikan kezaliman pada diri-Nya seperti dalam QS Fussilat 46, "Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya." Begitu pula dalam QS. Shad 27, Allah memuji dengan menafikan ‘abats (sia-sia) pada diri-Nya,"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (sia-sia)."

Namun, pada satu sisi mereka berpendapat bahwa Allah SWT mampu melakukan kezaliman dan melakukan sesuatu yang sia-sia (al-Razi, Vol I, tt 300). Mestinya jika mereka konsisten dengan pendapat mereka yang mengatakan “كل ماكان عدمه مدحا كان وجوده ممتنعا setiap sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka keberadaannya adalah terlarang” tentu mereka akan mengatakan bahwa muhal (terlarang) jika Allah berbuat kezaliman.

Persoalan:

QS. Al-A’raf 143 ...لن تراني... sekali-kali kamu (Musa) tidak akan dapat melihat-Ku.

Menurut mereka kalimat di atas menunjukkan litta’bid, (selamanya) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fath 15: Katakanlah: "Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti Kami.”

Jika demikian, berarti Nabi Musa tidak (akan) pernah melihat Allah sama sekali, dan hal ini juga berlaku bagi orang lain tegas Al-Razi.

Bantahan:

Menurut Imam Al-Razi, bahwa kalimat “لن “ tidak menunjukkan litta’bid dengan dalil firman Allah SWT QS. Al-Baqarah 95, ولن يتمنوه ابدا (dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya) karena sesungguhnya mereka mengharapkan kematian di akhirat seperti dalam QS. Al-Zukhruf 77, ونادوا يامَالِكُ لِيَقْضِ علينا رَبُّكَ قال اِنكم مَّاكِثُون mereka berseru “ Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab “kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).

Hal yang sama (لن bukan litta’bid) juga ditegaskan oleh Syekh Jamaluddin bin Malik seperti dikutip oleh Al-Qadli Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi Al-‘Izz al-Dimasyqi sebagai berikut (Abi Al-‘Izz, tt: 214);

ومَن رَأى النَّفْيَ بِ لنْ مُؤَبَّدا  فقَوْلَهُ ارْدُدْ وَسِوَاهُ فَاعْضُدَا

Barangsiapa berpendapat bahwa kata “lan” adalah penafian selama-lamanya, maka tolaklah pendapatnya dan ambillah pendapat selainnya.

Persoalan:

QS. Al-Syura 51: Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.

Menurutnya, ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berbicara dengan Allah SWT, sesungguhnya orang tersebut tidak melihat-Nya. Jika waktu kalam (berbicara) orang tersebut tidak melihat-Nya secara otomatis selain waktu kalam juga tidak melihat-Nya. Hal ini tidak ada yang menselisihinya (Al-Razi, tt: 296).

Bantahan:

Wahyu adalah mendengarkan kalam dengan cepat, dan bukan mengenai terhalangnya ru’yah atau tidak. Oleh karena itu mana yang menunjukkan tentang kenafiannya ru’yah?

Persoalan:

Allah Ta’ala tidak menyebut ru’yah dalam Al-Qur’an kecuali mengingkarinya (tidak membenarkan), hal itu terdapat pada tiga ayat, 

Pertama : QS. Al-baqarah 55,

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang Karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya

Kedua: QS. An-Nisa’ 153.

Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka Telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir Karena kezalimannya, 

Ketiga : QS. Al-Furqon 21

Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami: "Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar Telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman".

Pengingkaran (ru’yah) pada ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa ru’yatullah adalah sesuatu yang terlarang.

Bantahan:
Isti’dzam atau pengingkaran (tidak membenarkan) permintaan ru’yatullah karena semata-mata bentuk kedurhakaan dan keras kepala mereka, seperti permintaan mereka agar diturunkan malaikat (Al-Furqon 21), padahal menurut Al-Razi turunnya malaikat adalah sesuatu yang jawaz dan tidak ada yang menentangnya, karena permintaan mereka (agar diturunkan malaikat) adalah bentuk kedurhakaan mereka, maka Allah pun tidak membenarkan permintaanya (Al-Razi, tt: 300).

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ru’yatullah (melihat Allah) di dunia merupakan sesuatu yang jaiz aqlan, namun yang mendapat kesempatan hanyalah Rasulullah SAW semata, dan itu pun beliau dapat melihat-Nya dengan kedua mata. Pendapat ini menurut Imam An-Nawawi adalah pendapat yang kuat dari kalanngan mayoritas ulama. Namun perlu diketahui, bahwa hal ini bukan berarti Rasulullah mengetahui hakikat Allah, akan tetapi bertambahnya idrak (memahami dan mengenal) kepada Allah pada diri Rasulullah, dan idrak ini pun tidak sampai pada batas ihathah (meliputi) terhadap kesempurnaan Allah SWT.

Sedangkan ru’yatullah dengan kedua mata, di akhirat menurut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Asy’ari adalah sesuatu yang nyata bagi orang mukmin. Sedangkan kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Imamiyah, mereka menafikan hal ini.
Wallahu a’lam. 
(Khifni Nasif, Sekretaris Aswaja Center GP Ansor Kudus, Pengajar di Madrasah Diniyah Darul Ulum Ngembalrejo Kudus)

Ad Placement