PENYAMBUNG WARTA

Jumat, 31 Mei 2019

APAKAH PANITIA YANG DIBENTUK SECARA SWAKARSA BISA DISEBUT AMIL ZAKAT? INI JAWABANNYA



PERTANYAAN :

Apakah panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa tersebut di atas bisa disebut amil zakat (bagian dari ashnaf delapan) sehingga berhak memperoleh bagian dari zakat ?

JAWABAN :

Panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat tidak termasuk amil yang berhak menerima bagian zakat.
موهبة ذي الفضل على شرح مقدمة بافضل الجزء الرابع ص 120 ما نصه :

(والعاملون عليها) ومنهم الساعي الذي يبعثه الإمام لأخذ الزكوات وبعثه واجب (قوله والعاملون عليها) أي الزكاة يعنى من نصبه الإمام فى أخذ العمالة من الزكوات—إلى أن قالـــ--ومقتضاه أن من عمل متبرعا لايستحق شيأ على القاعدة.

Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah
*laduni.id

Kamis, 30 Mei 2019

MEMASUKI SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN, INGATKAN KELUARGAMU SHALAT !

ilustrasi


Sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan waktu teristimewa. Sebab lailatul qadar terdapat pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Pada waktu itu, banyak orang yang memaksimalkan ibadah guna mencapai keistimewaan lailatul qadar.

Namun jangan sampai fokus beribadah sendiri hingga lupa memperingatkan orang lain. Seorang muslim, terutama kepala keluarga dianjurkan untuk memperingati keluarganya shalat, sebagaimana firman Allah SAW:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa” (QS Thaha : 132)

Setelah ayat ini turun, setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke rumah Fatimah RA dan Ali RA untuk membangunkan mereka, seraya mengucapkan “الصلاة” (seruan untuk shalat). Turunnya ayat ini memang ditujukan untuk Nabi SAW, namun syariatnya berlaku umum bagi seluruh umatnya.

Pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, Rasulullah SAW semakin memperbanyak ibadahnya, tidak hanya itu, beliau juga membangunkan keluarganya untuk melaksanakan qiyamul lail, sebagaimana perkataan Aisyah RA:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

 “Nabi SAW apabila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya (dengan beribadah) dan membangunkan keluarganya” (HR Bukhari)

Perilaku Nabi rupanya juga diikuti oleh para sahabat. Dalam Muwatha Malik disebutkan bahwa Umar bin Khattab selalu shalat di setiap malam. Hingga ketika masuk akhir malam, ia membangunkan keluarganya untuk shalat, seraya membaca QS Thaha ayat 132.

Perbuatan Nabi dan Umar adalah bentuk tanggung jawab mereka terhadap keluarganya. Karena seorang suami atau kepala keluarga adalah orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya, begitu pula keselamatan mereka dari api neraka. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS at-Tahrim:6)

Wallahu a’lam bisshawab

FERA RAHMATUN NAZILAH
Mahasantri Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, penulis tema-tema kajian hadis dan perempuan

INI YANG DISUNNAHKAN KETIKA KHATAM Al-QUR'AN

ilustrasi


Al-Qur’an merupakan petunjuk utama bagi umat Islam. Di dalamnya terdapat petunjuk dalam menjalankan kehidupan di dunia dan cara untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat. Rasulullah sangat menganjurkan umat Islam untuk membaca al-Qur’an. Bahkan membaca satu huruf al-Qur’an akan diberikan pahala sepuluh kebaikan. Khatam Al-Quran.

Rasulullah berkata:

 مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Siapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an, maka dia mendapatkan satu kebaikan. Satu kebaikan digandakan menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan “Alif Lam Mim” satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf” (HR: Al-Tirmidzi)

Dianjurkan bagi umat Islam untuk membaca al-Qur’an sampai selesai. Minimal sekali seumur hidup pernah mengkhatamkan al-Qur’an. Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar menjelaskan bahwa alangkah baiknya mengkhatamkan al-Qur’an saat mengerjakan shalat. Kalau tidak mampu mengkhatamkannya ketika shalat, di luar shalat juga tidak masalah.

Dianjurkan mengkhatamkan al-Qur’an saat awal malam atau siang. Selain itu, dianjurkan puasa ketika mengkhatamkan al-Qur’an. Puasa dianjurkan selama waktunya tidak berbarengan dengan hari yang diharamkan puasa. Semisal idul fitri, idul adha, dan lain-lain.

Bagi orang yang bacaan al-Qur’annya tidak bagus dianjurkan untuk sering-sering mendatangi majelis khatam al-Quran sembari mendengarkan orang membaca al-Qur’an.

Wallahu a’lam.

HENGKI FERDIANSYAH, LC. MA
Alumnus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Meneliti hadis dan studi keislaman kontemporer. Sekarang mengelola lembaga pengkajian hadis El Bukhori Institute.

Rabu, 29 Mei 2019

APAKAH JANIN YANG MASIH DALAM KANDUNGAN WAJIB ZAKAT FITRAH? INI JAWABANNYA

PERTANYAAN :

Assalamu'alaikum, Wr.Wb. Janin yang ada dalam kandungan itu sudah wajib dikenakan ketentuan zakat fitrah belum? adakah beda pandangan antara yang mengatakan wajib dan tidaknya ? Kemudian manakah yang benar sesuai syariat Islam ?

JAWABAN :

Wa'alaikum salam wr wb, tidak wajib zakat fitrah bagi janin tersebut, sebab salah satu syarat wajib zakat fitrah adalah dia mengalami/menemui terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (dengan kata lain: mendapati sebagian dari akhir Ramadhan dan sebagian dari awal Syawal, dan ini ditandai dengan terbenamnya matahari pada akhir Ramadhan), maka jika jika meninggal sebelum terbenamnya matahari akhir Ramadhan atau lahir seorang anak setelah terbenamnya matahari, maka tidak wajib bagi mereka zakat fitrah. [ Referensi : I’anatuth Thaalibin juz II hal. 191. Darul Fikr ].

Wajibnya zakat fitrah dengan menututi juz bulan ramdhan & juz bulan syawwal ,Dalam hal ini ada dua perkara sbb :1. bayi yang dilahirkan setelah tenggelamnya mata hari pada awal bulan syawwal {malam hari raya} tidak wajid di keluarkan zakat fitrahnya 2.orang yang meninggal sebelum tenggelamnya mata hari pada akhir bulan ramadhan juga tidak wajib zakat fitrah.{karena keduanya tidak nututi juz bulan ramadhan dan bulan syawal. [ Syarqawi alattahrir jz 1 hl 369 ].

- kitab Nihaayah az-Zain I/174 :

ويشترط في المؤدى عنه أمران الأول الإسلام فلا تخرج الفطرة عن كافر وفي المرتد ما مر الثاني أن يدرك وقت وجوبها الذي هو آخر جزء من رمضان وأول جزء من شوال فتخرج عمن مات بعد الغروب وعمن ولد قبله ولو بلحظة دون من مات قبله ودون من ولد بعده

Syarat orang yang boleh dizakati fitrah :

1. Islam, karenanya zakat fitrah tidak dikeluarkan atas orang kafir, sedang orang murtad bahasannya telah lewat.
2. Bila orang yang hendak dizakati mendapati “waktu wajibnya zakat fitrah” yakni bagian akhir dari bulan ramadhan dan permulaan dari bulan syawal (misalkan maghrib tanggal akhir ramadhan pukul 17.35 WIB, berarti 17.35 WIB yang dikatakan waktu wajibnya zakat fitrah).
Maka zakat fitrah dikeluarkan atas orang yang meninggal setelah terbenamnya matahari dan orang yang dilahirkan sebelum terbenamnya matahari (karena keduanya sama-sama mendapatkan bagian akhir dari bulan ramadhan dan permulaan dari bulan syawal/pukul 17.35 WIB) dan zakat firah tidak dikeluarkan atas orang yang mati sebelum terbenamnya matahari (karena dia tidak mendapatkan pukul 17.35 WIB) dan orang yang dilahirkan setelah terbenamnya matahari (karena dia tidak mendapatkan bagian akhir ramadhan pukul 17.35 WIB).

Maka untuk itu lebih jelasnya janinnya itu harus lahir terlebih dahulu baru bisa ditentukan kepastian wajib zakat fitrahnya itu.

BAHKAN ANDAIKAN JANINNYA SUDAH KELUAR SEPAROH PUN TIDAK WAJIB DIZAKATI.

لو خرج بعض الجنين قبل الغروب وباقيه بعده فلا وجوب ؛ لأنه جنين ، ما لم يتم انفصاله ، م ر وسم أج .

Bila sebagian janin keluar sebelum terbenamnya matahari (diakhir ramadhan) dan sisanya lagi setelah terbenamnya matahari maka juga tidak wajib dizakati, karena artinya ia masih berbentuk janin selagi belum sempurna kelahirannya.

Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah

Senin, 27 Mei 2019

SEPULUH AKHIR RAMADHAN, RASULULLAH MELAKUKAN TIGA AMALAN INI



Sepuluh malam terakhir termasuk puncak ibadah Ramadhan. Pada malam ini biasanya malam lailatul qadar datang dan Rasulullah pun semasa hidupnya memperbanyak ibadah di malam itu. Dalam hadits riwayat ‘Aisyah dijelaskan, “Ketika memasuki sepuluh akhir Ramadhan, Nabi fokus beribadah, mengisi malamnya dengan ibadah, da membangunkan keluarganya untuk ikut ibadah,” (HR Al-Bukhari).

Saking besar keutamaannya, para ulama sangat menganjurkan untuk memperbanyak ibadah pada sepuluh akhir Ramadhan. Menurut Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in, ada tiga amalan utama yang mesti dilakukan pada sepuluh akhir Ramadhan.

Pertama, memperbanyak sedekah, mencukupi kebutuhan keluarga, dan berbuat baik kepada karib-kerabat dan tetangga. Kalau diberi kelebihan dan kecukupan, alangkah baiknya harta ini dimanfaatkan untuk menyediakan buka puasa semampunya bagi orang yang puasa, meskipun sekadar memberi segelas air.

Kedua, memperbanyak membaca Al-Quran. Membaca Al-Quran disunahkan kapanpun dan di manapun selain tempat dilarang membaca Al-Quran, seperti toilet dan lain-lain.

Imam An-Nawawi menjelaskan, membaca Al-Quran di akhir malam lebih baik ketimbang awal malam dan membaca Al-Quran yang paling baik di siang hari adalah setelah shalat shubuh. Abu Bakar Syatha menambahkan, membaca Al-Quran di malam hari lebih utama daripada siang hari karena lebih fokus.

Ketiga, memperbanyak i’tikaf di sepuluh terakhir Ramadhan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan Rasulullah yang meningkatkan ibadah dengan cara beri’tikaf di masjid pada sepuluh akhir Ramadhan.

Ketiga amalan ini dilakukan di akhir Ramadhan demi mengharapkan ridha Allah SWT serta berharap bertemu dengan malam lailatul qadar. Sebab beramal pada malam ini lebih baik dibandingkan beramal di bulan lain yang tidak memiliki lailatul qadar.

Semoga ketiga amalan ini dapat kita biasakan menjelang akhir Ramadhan ini. Semoga kita dipertemukan oleh Allah SWT dengan malam paling baik daripada seribu bulan.

HENGKI FERDIANSYAH, LC. MA
Alumnus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Meneliti hadis dan studi keislaman kontemporer. Sekarang mengelola lembaga pengkajian hadis El Bukhori Institute.

Minggu, 26 Mei 2019

10 HARI TERAKHIR RAMADHAN TERBEBAS DARI NERAKA, BENARKAH HADIS DAIF?



Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa pada 10 Hari Terakhir Ramadhan, kita dibebaskan dari api neraka

Beberapa hari lalu saya shalat Dzuhur di sebuah masjid kawasan Jakarta. Kebetulan saat itu ada jenazah yang hendak dishalatkan. Sebelum memulai shalat, sang imam menyampaikan ceramah singkat, salah satunya mengenai keutamaan bulan Ramadhan.

“Awal bulan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Berhubung saat ini adalah pertengahan bulan Ramadhan, maka ampunan Allah dibuka selebar-lebarnya dan insyaallah jenazah ini diberikan ampunan”. Kira-kira seperti itu ucapan sang imam.

Bukan kali ini saja saya mendengar penceramah yang menyebutkan hadis ini. Di beberapa masjid lain, bahkan pada Radmadhan tahun-tahun lalu juga saya pernah mendengar ceramah mengenai ini. Adapun teks asli dari hadis ini adalah:

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطَهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

Permulaan bulan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan), dan penghabisannya merupakan pembebasan dari neraka

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Uqaili dalam kitab al-Dhu’afa, Ibn ‘Adiy, al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad, al-Dailami dan Ibn ‘Asakir. Adapun sanadnya yaitu Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin al-Shalt, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW.

KH Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya “Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan” mengatakan sebagaimana menukil perkataan Imam al-Suyuti bahwa hadis ini daif (lemah). Sumber kelemahan hadis ini berasal dari dua orang rawi, yaitu Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al-Shalt.

Menurut Ibnu Adiy (kritikus hadis) Sallam bin Sawwar adalah munkar al-hadits (hadisnya munkar). Sementara kritikus lain, Imam Ibn Hibban mengatakan bahwa Sallam bin Sulaiman tidak boleh dijadikan hujjah (pegangan), kecuali apabila ada rawi lain yang meriwayatkan hadisnya. Sedangkan Maslamah bin al-Shalat adalah matruk al-hadits (hadisnya matruk), sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hatim.

Dalam ilmu hadis, suatu hadis disebut munkar apabila dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang jelas melakukan maksiat (fasik).

Sedangkan hadis disebut hadis matruk apabila dalam sanadnya terdapat perawi yang dituduh sebagai pendusta. Pasalnya sang perawi dalam kesehariannya sering berdusta, sehingga ia pun dituduh sebagai pendusta ketika meriwayatkan hadis.

Hadis munkar dan matruk merupakan kategori hadis yang sangat lemah dan tidak dapat dijadikan sandaran. Hadis matruk menempati posisi hadis paling lemah kedua setelah maudhu, sedangkan hadis munkar menempati urutan ketiga setelah matruk.

Dalam ilmu hadis, hadis dhaif dapat naik tingkatannya menjadi hasan lighairi apabila ada riwayat lain yang sama kualitasnya, dengan syarat kedhaifan hadis tersebut bukan karena perawinya adalah pendusta atau pelaku maksiat (fasik).

Selain sanad pertama, Ibn Khuzaimah juga meriwayatkan hadis ini dengan sanad yang berbeda. Bahkan riwayat Ibn Khuzaimah lebih panjang dan lengkap dari riwayat yang pertama. Namun sayangnya, riwayat Ibn Khuzaimah juga ternyata dhaif, dikarenakan dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ali bin Zeid bin Jud’an.

Menurut ulama ahli kritik hadis, Imam Yahya bin Ma’in, Ali bin Zeid bin Jud’an dinilai laisa bi hujjah (tidak bisa dijadikan hujjah), sedangkan menurut Imam Abu Zur’ah, Ali bin Zeid bin Jud’an laisa bi qowiy (tidak kuat). Dalam kaidah ilmu kritik rawi hadis (jarh wa ta’dil), perawi apabila mendapatkan kritik seperti itu maka hadisnya tidak dapat dijadikan dalil dalam agama. (Lihat Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) h.17)

Oleh karena itu, hadis riwayat Ibn Khuzaimah tidak dapat memperkuat hadis dari sanad yang pertama. Begitu pula sebaliknya. Karena kedua sanadnya bermasalah.

Berdasarkan hal ini, KH Ali Mustafa Yaqub menyatakan, hadis ini tidak dapat dijadikan dalil untuk masalah apapun, dan tidak layak pula disebut-sebut dalam ceramah atau pengajian Ramadhan. Apalagi para ulama hadis mengatakan bahwa meriwayatkan (menyampaikan) hadis dha’if tidak dibenarkan kecuali disertai penjelasan tentang kedhaifan hadis tersebut (Lihat Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, h.15)

Sayangnya, masih banyak penceramah yang tidak memperhatikan kualitas hadis ini, melainkan hanya terfokus pada fadhilah bulan Ramadhan saja. Meskipun demikian, bukan berarti setelah mengetahui hukum hadis ini kita menjadi bermalas-malasan dan berputus asa dari ampunan Allah. Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW memang menyatakan bahwa orang yang mendirikan malam-malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah maka dosanya akan diampuni.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa bangun (shalat) malam pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap (ridla Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan di ampuni.” (HR Muslim)

Wallahu a’lam bisshawab.

FERA RAHMATUN NAZILAH
Mahasantri Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, penulis tema-tema kajian hadis dan perempuan

Kamis, 16 Mei 2019

SHALAT WITIR TIGA RAKAAT SEKALIGUS, BOLEHKAH?



Shalat witir merupakan salah satu shalat sunnah yang sangat dianjurkan oleh syara’. Bahkan dalam mazhab hanafi, hukumnya bukan lagi sebatas sunnah, tapi wajib. Hal tersebut merupakan salah satu bukti betapa dianjurkannya melaksanakan shalat witir. Rasulullah dalam salah satu haditsnya memerintahkan agar shalat witir dijadikan sebagai penutup shalat malam:

اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

“Jadikan shalatmu yang paling akhir di waktu malam berupa shalat witir” (HR. Bukhari Muslim)

Dalam bulan Ramadhan shalat witir umumnya dilaksanakan setelah selesai melaksanakan shalat tarawih, sebagian ada yang melaksanakan hanya satu rakaat, sebagian lain melaksanakannya sampai tiga rakaat. Dalam hal ini patut dipahami bahwa satu rakaat adalah jumlah minimal pelaksanaan shalat witir, maksimalnya adalah sebelas rakaat dan jumlah rakaat shalat witir yang dinilai paling sempurna adalah sebanyak lima rakaat. Ketentuan demikian sejara jelas tercantum dalam kitab Fath al-Mu’in:

ـ (وأقله ركعة) وإن لم يتقدمها نفل من سنة العشاء أو غيرها. قال في المجموع: وأدنى الكمال ثلاث، وأكمل منه خمس فسبع فتسع، (وأكثره إحدى عشرة) ركعة

“Minimalnya shalat witir adalah satu rakaat, meskipun tidak didahului shalat sunnah berupa shalat sunnah (Ba’diyah) Isya’ atau shalat lainnya. Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’: “jumlah rakaat yang mendekati  sempurna adalah tiga rakaat, dan jumlah yang paling sempurna adalah lima rakaat lalu tujuh rakaat lalu sembilan rakaat” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 288)

Umumnya masyarakat yang melaksanakan shalat witir dengan tiga rakaat pada bulan Ramadhan, mereka memisahnya dengan salam pada rakaat kedua, lalu berdiri lagi melanjutkan satu rakaat. Namun, di sebagian tempat, ada juga yang melaksanakan shalat tarawih dengan cara menyambung tiga rakaat sekaligus dengan hanya satu salam.

Bagi mereka yang asing dengan pemandangan terakhir ini mungkin akan bertanya-tanya: bolehkah menyambung tiga rakaat sekaligus dalam shalat witir? Jika boleh, manakah yang lebih utama, memisahnya dengan salam atau justru menyambungnya?

Menyambung shalat witir tiga rakaat sekaligus adalah hal yang diperbolehkan dalam mazhab Syafi’i. Namun, memisahkannya dengan salam pada rakaat kedua dianggap lebih utama daripada menyambung tiga rakaat sekaligus. Hal ini  seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami ala al-Manhaj:

ـ (ولمن زاد على ركعة) في الوتر (الوصل بتشهد) في الأخيرة (أو تشهدين في الأخيرتين) للاتباع في ذلك رواه مسلم ، والأول أفضل ، ولا يجوز في الوصل أكثر من تشهدين ، ولا فعل أولهما قبل الأخيرتين لأنه خلاف المنقول من فعله صلى الله عليه وسلم

“Bagi orang yang melaksanakan witir lebih dari satu rakaat maka boleh baginya untuk menyambung witir dengan satu tasyahud di akhir rakaat atau dua tasyahud di dua rakaat terakhir. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Namun, praktik yang pertama (satu tasyahud) lebih utama. Dalam menyambung rakaat dilarang lebih dari dua tasyahud dan juga tidak boleh melakukan awal dari dua tasyahud sebelum dua rakaat terakhir, sebab praktik demikian tidak pernah ditemukan dalam shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Manhaj, juz 3, hal. 152).

Meski menyambung tiga rakaat shalat witir dengan satu salam adalah hal yang diperbolehkan, tapi cara demikian dihukumi makruh, sebab dianggap menyerupai pelaksanaan shalat maghrib. Dalam hal ini, Syekh Zainuddin al-Maliabari menjelaskan:

والوصل خلاف الاولى، فيما عدا الثلاث، وفيها مكروه للنهي عنه في خبر: ولا تشبهوا الوتر بصلاة المغرب

“Menyambung rakaat witir merupakan menyalahi hal yang utama (khilaf al-aula) pada selain tiga rakaat. Sedangkan menyambung tiga rakaat witir (sekaligus) dihukumi makruh, sebab adanya larangan dalam hadits Nabi: ‘Janganlah kalian menyerupakan shalat witir dengan shalat maghrib’.” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 289)

Tata Cara Shalat Witir 3 Rakaat

Sedangkan cara melaksanakan shalat witir dengan menyambung tiga rakaat sekaligus sama persis dengan cara melaksanakan shalat-shalat yang lain, khususnya seperti shalat maghrib yang sama-sama berjumlah tiga rakaat, maka dua rakaat terakhir harus disertai dengan tasyahud. Adapun niat shalat witir dengan menyambung tiga rakaat adalah sebagai berikut:

 اُصَلِّى سُنَّةَ الْوِتْرِ ثَلَاثَ رَكْعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatal witri tsalâtsa raka‘âtin mustaqbilal qiblati adâ’an lillâhi ta‘âlâ

Artinya, “Aku menyengaja sembahyang sunnah shalat witir tiga rakaat dengan menghadap kiblat, karena Allah Ta’ala.”

Niat di atas merupakan niat bagi orang yang melaksanakan shalat witir dengan sendirian (munfarid), sedangkan ketika menjadi makmum dalam shalat witir berjamaah, maka tinggal menambahkan kata “ma’mûman” setelah kata “mustaqbilal qiblati”, jika menjadi imam maka menambahkan kata “imâman” setelah kata “mustaqbilal qiblati”. Untuk lebih jelasnya, silakan simak dalam tulisan “Ini Lafal Niat Shalat Witir”.

Dalam niat shalat witir tiga rakaat sekaligus berbeda dengan niat witir ketika dipisah, sebab jika dipisah harus menyertakan huruf “min” sehingga niatnya menjadi:

اُصَلِّى سُنَّةً مِنَ الْوِتْرِ ثَلَاثَ رَكْعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatan minal witri tsalâtsa raka‘âtin mustaqbilal qiblati adâ’an lillâhi ta‘âlâ

Dalam melaksanakan shalat witir tiga rakaat, baik itu dengan cara dipisah dengan salam pada rakaat kedua atau digabung tiga rakaat sekaligus, disunnahkan untuk membaca Surat al-A’la setalah al-Fatihah pada rakaat pertama, Surat al-Kafirun pada rakaat kedua; dan Surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas pada rakaat ketiga. Anjuran ini dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal:

ويسن لمن أوتر بثلاث أن يقرأ في الأولى بعد الفاتحة الأعلى ، وفي الثانية الكافرون ، وفي الثالثة الإخلاص ثم الفلق ثم الناس مرة مرة

“Disunnahkan bagi seseorang yang shalat witir tiga rakaat agar membaca Surat al-A’la pada rakaat pertama setelah membaca Al-Fatihah dan pada rakaat kedua membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat ketiga surat al-Ikhlas lalu surat al-Falaq lalu surat an-Nas satu persatu” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 4, hal. 299)

Dapat disimpulkan bahwa menggabung tiga rakaat shalat witir dalam satu kali salam adalah hal yang diperbolehkan, tapi cara demikian dianggap makruh. Cara yang paling utama adalah dengan memisah rakaat kedua dengan salam dan melanjutkan satu rakaat terakhir dengan takbiratul ihram (tiga rakaat dua kali salam). Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember. NU.or.id

Ad Placement