PENYAMBUNG WARTA

Minggu, 05 Juli 2020

Penambang Liar Didenda Rp 10 Juta Putusan Dua Lainnya Besok dan Selasa (7/7)

RUSAK: Aliran sungai berubah setelah aktivitas tambang liar di Desa Pendem, Kembang. Tiga lokasi penambangan telah ditindak. 

JEPARA,  – Tiga lokasi tambang liar ditindak Satpol PP Jepara. Salah satunya di Desa/Kecamatan Batealit, Jepara, telah divonis denda Rp 10 juta. Sedangkan tambang liar di Desa Pendem dan Desa Balong, Kembang, Jepara, baru disidangkan besok dan Selasa (7/7).

Kabid Penegakan Perda Anwar Sadat menjelasakan penindakan tambang liar setelah inspeksi di lokasi. Diketahui terdapat tambang manual tanpa izin yang beroperasi. Aktivitas penambangan itu menyebabkan bentang alam rusak dan aliran sungai berubah.

Pihaknya menindak penambangan menggunakan dasar Perda Nomor 20 tahun 2012 tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan. Di lokasi tambang ditemukan alat seperti linggis, tali sling, dan mesin penyedot air. Diketahui aktivitas tambang liar itu sudah berlangsung 1,5 tahun.

Pekan lalu sudah memasuki tahap berita acara pemeriksaan terhadap pelaku tambang liar di Pendem dan Balong. ”Pekan depan sidang. Kami tidak berhenti di sini. Lokasi lain akan kami sasar jika ada indikasi melanggar perda,” katanya.

Sejak awal tahun lalu operasi gabungan dengan pihak kepolisian telah menyasar ke lima lokasi lain. Ada pula yang ditangani kepolisian berdasarkan undang-undang minerba. Pihaknya memantau lokasi yang sudah ditindak tidak lagi beroperasi. ”Penindakan ini agar menjadi efek jera bagi penambang liar,” imbuhnya.

Warga Desa Batealit, Abid, 23, mengatakan keberadaan tambang di desa itu cukup menggangu kenyamanan warga dan petani. Pasalnya truk yang mengangkut material tambang membuat jalan akses ke sawah menjadi labil. Jalan yang belum diaspal dan dicor itu masih berupa tanah. "Tanah mudah bergerak. Lahan warga jadi rusak," katanya.

dilansir dari: jawapos.radarkudus

Jumat, 19 Juni 2020

Mencegah Degradasi Pancasila

SETELAH menuai protes dari pelbagai kalangan, pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang diusulkan DPR akhirnya ditunda pembahasannya olehpemerint. Sikap tegas pemerintah tersebut sudah benar. Seperti Editorial Media Indonesia (17/6) 'Demi Eksistensi Pancasila', pembahasan tersebut tidak tepat momen dan urgensi. Penyederhanaan Pancasila menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketahuhanan yang berkebudayaan (Pasal 7, ayat 2), yang kemudian diekstraksi lagi menjadi gotong royong (Pasal 7 ayat 3) dianggap potensial mendemistifikasi Pancasila sebagai pandangan hidup integral bangsa. Kata "ketuhanan berkebudayaan" juga terkesan rancu, seolah-olah mendiskualifi kasi esensi ketuhanan sebagai identitas religiositas masyarakat. Selain itu, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dalam materi RUU HIP itu juga bisa dianggap sebagai sikap anakronistis dalam kaitannya dengan menjaga dan melestarikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi penuntun perjalanan hidup bangsa ini. Padahal Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan telah menegaskan bahwa Pancasila merupakan ideologi fi nal. Penegasan ini menjadi 'iman' membangun konstruksi berbangsa dan bernegara di tengah berbagai upaya untuk mendegradasi fondasi konstitusionalitas kita. Berbagai aksi yang berintensi menggantikan Pancasila merupakan tantangan yang harus disikapi dengan tegas oleh seluruh elemen bangsa (pemimpin, para elite tokoh kunci, hingga masyarakat). Dan ini lebih urgen untuk dijadikan sebagai orientasi pemraktikkan nilai Pancasila ke depan ketimbang berdebat soal struktur makna Pancasila tersebut. Keteguhan profetik Sekurang-kurangnya ada tiga hal mendesak yang perlu dimaknai dalam meneguhkan nilai-nilai fundamen Pancasila dalam penghayatan dan pengamalannya. Pertama, keteguhan profetik seluruh elemen bangsa memperjuangkan kebenaran dan dasar bernegara Indonesia. Pancasila merupakan nilai dasar yang perlu terus dipertahankan dan dirayakan pencarian intisarinya oleh setiap manusia untuk membebaskannya dari penafsiran parsial dalam menciptakan relasi antarwarga yang humanis, berbasis pada kebajikan sosial. Di zaman Niccolo Machiavelli (1469-1527) misalnya, kekuasaan dianggap sebagai centre of universe dari keseluruhan prosedur tatanan kenegaraan. Nilai-nilai tersebut juga yang kemudian diwariskan rezim Orde Baru yang menyebabkan kekuasaan mengokupasi Pancasila. Pancasila tak lebih sebagai candu moral dalam berbagai aktivitas penataran, kuliah, dan seminar. Selama itu, kekuasaanlah yang memegang kendali bagaimana 'moralitas' nilai Pancasila ditegakkan dan dikenakan sebagai ikat pinggang dalam bernegara. Itu karena kekuasaan dianggap sebagai sumber legitimasi kebenaran yang absolut. Padahal, kekuasaan bukanlah representasi absolut dari kebenaran, bahkan Lord Acton mengatakan, power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely, bahwa kekuasaan yang tak terbatas akan melahirkan tabiat korupsi (perilaku menyimpang) tak terbatas pula. Karena itu, kekuasaan harus dibatasi pengendalian diri berdasarkan prinsip-prinsip inklusifitas, solidaritas, empati, dan kerja sama yang dipedagogi peranti sakral Pancasila. Maka mendefinisikan kebenaran dalam perspektif kekuasaan yang demokratis hanya dapat dimungkinkan sejauh nilainilai perbedaan dapat didialogkan secara setara, tanpa terjadi dikotomisasi yang menegasi pelaksanaan hakhak menjalankan prinsip keyakinan antarsesama sebagaimana spirit dari suatu bangsa yang pancasilais.

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/321683-mencegah-degradasi-pancasila
Di sinilah ruang demokrasi yang subtil terbangun, tatkala kekuasaan (negara) misalnya, mampu melegitimasi dan memberikan ruang toleransi bagi setiap pemeluk agama beribadah. Termasuk, melakukan pencerahan religi di dalam interaksi kehidupan berbangsa, dan menghindari intimidasi terhadap ekspresi keagamaan. Di tengah ancaman memudarnya toleransi dan kesetiakawanan sosial yang mendera bangsa, negara (baca: pemerintah sebagai wakil Tuhan di dunia) sudah saatnya hadir secara tegas untuk menyelamatkan hakhak rakyat dari berbagai pelecehan minoritas sehingga tidak direnggut sisi gelap demokrasi (Man, 2005). Jika mau jujur, media sosial kita hari-hari ini paling 'berisik', yang menyumbang banyak polusi stigma, prasangka, kebencian, sebagai bagian dari politik identitas atau komunal, ketimbang menyumbang inspirasi nilainilai kedamaian, kerukunan, dan persatuan. Paradoks yang sejatinya dibibiti spirit meminjam Herbert Marcuse one dimensional man, manusia yang berorientasi pada 'politik' semata. Semua urusan selalu dihubungkan dengan politik yang selalu dikaitkaitkan dengan agama. Kedua, para elite harus membangkitkan optimisme kesadaran refl ektif terhadap rakyat, untuk mendasarkan orientasi politik kekuasaan melampaui parokialitas, tetapi jauh mencapai tujuan-tujuan peradaban luhur yang menjamin pemenuhan kepentingan kolektif dan kesejahteraan bersama. Sikap ini, termasuk tidak memberi ruang bagi praktik korupsi yang telah merenggut impian rakyat untuk menikmati distribusi kemakmuran secara adil. Berkaca dari perilaku korupsi yang masif saat ini, tak bisa dipungkiri lagi bahwa bangsa ini sedang terancam virus post modernisme yang menurut profesor sastra Amerika, Frederic Jameson, (dalam Anderson, 2008) ditandai superfi sialitas (kedangkalan), kemunafi kan, hilangnya historisitas, dan emosi yang labil. Itu pula yang terlihat dari perilaku para elite politik yang makin enigmatis dengan memilih memperjuangkan libido kepentingan diri/kelompoknya ketimbang menyuarakan secara sungguh-sungguh persoalan dan penderitaan rakyat. Budaya inklusif Ketiga, pentingnya peran pemerintah menularkan budaya dialog inklusif di antara pemuka agama, akademisi, kaum cendekiawan, LSM, tokoh masyarakat. Kita memerlukan sebuah panduan kolektif terutama dari para pemuka, masyarakat, soal bagaimana menempatkan wilayah agama sebagai ruang netral, dengan tidak mengontaminasi politik dengan panji-panji rasialisme, dll. Ketimbang membahas HIP, elite-elite politik di DPR seharusnya lebih fokus mendialogkan secara intens dan tulus dengan rakyat bagaimana mewujudkan sistem dan mekanisme politik yang demokratis dan menjamin lahirnya wakil rakyat dan pemimpin Indonesia yang berintegritas, berempati dengan dengan rakyat. Termasuk, elite yang bervisi integrator, menyatukan berbagai perbedaan identitas di masyarakat dalam satu payung sakral, Pancasila. Segala rekayasa politik dan pemaksaan kehendak, yang mengabaikan diskursus publik justru menahan laju bangsa ini "naik level" menjadi negara berdaulat. Sebagaimana lirik lagu Darrion, 'To fi ght for the right, without question or pause. To be willing to march into hell, for a heavenly cause' (Joe Darion dalam Man of La Mancha, 1972). Kita berdoa, semoga elite pemimpin bersama rakyat tak jemu-jemu berjuang membumikan makna Pancasila. Bahkan, rela masuk 'api penyucian', menanggung dan berjibaku melawan ancaman dan tantangan menegakkan kebinekaan dari virus-virus pemecah belah kebangsaan. Amoralitas kekuasaan, pada akhirnya merengkuh surga (kekuasaan): keadilan, kebahagiaan dan ke sejahteraan bersama.

Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/321683-mencegah-degradasi-pancasila

Sumber: MediaIndonesia

Sabtu, 06 Juni 2020

Keunggulan Manusia Indonesia


Tahun 70-an atau 80-an, anak-anak sekolah Indonesia fasih menghafalkan pelajaran pendidikan moral Pancasila. Salah satunya adalah tentang hakikat pembangunan nasional, yakni pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hasilnya lumayan bagus, anak-anak sekolah waktu itu yang memiliki prestasi mendapatkan beasiswa studi lanjut. Bagi siswa yang tidak mendapatkan beasiswa juga dapat berperan sesuai kemampuannya.   Sekarang juga banyak yang mendapat beasiswa studi lanjut, namun ukurannya masih bersifat tes potensi akademik dan penguasaan bahasa. Sementara aspek integritas kepribadian kurang mendapat perhatian yang seimbang. Akibatnya kepedulian terhadap sesama masih kurang.   Sekarang ini kualitas manusia Indonesia diukur dari indeks pembangunan manusia (IPM). Setidaknya ada tiga alasan mengapa IPM ini dipandang penting.   Pertama, banyak negara berkembang yang mencapai pertumbuhan ekonomi, namun gagal dalam mengurangi kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan. Kedua, banyak negara maju dengan pendapatan tinggi namun tidak berhasil dalam menangani persoalan sosial, seperti narkoba, HIV/AIDS, alkohol, tunawisma, dan tindakan kekerasan. Ketiga, beberapa negara berpenghasilan rendah namun dapat mencapai tingkat perkembangan manusia yang tinggi, karena kebijakan publik yang bijaksana.   Padahal pembangunan memiliki tiga nilai, yakni kesanggupan memenuhi kebutuhan dasar, mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian, dan memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup.   Namun persoalannya adalah apakah hakikat pembangunan nasional untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya telah dicapai? Kalau memang sudah tercapai mengapa IPM Indonesia masih memprihatinkan?   Kita lihat data BPS, IPM menggambarkan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan lainnya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak.   Karena itu IPM merupakan indikator yang dinilai penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. Empat indikator yang dinilai, yaitu usia harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran perkapita. Dari keempat indikator ini pembangunan manusia di Indonesia memang terus mengalami kemajuan.   Pada tahun 2019, IPM Indonesia mencapai 71,92. Angka ini meningkat sebesar 0,53 poin atau tumbuh sebesar 0,74 persen dibandingkan tahun 2018.   Namun versi UNDP (United Nations Development Programme), tahun 2019, IPM Indonesia masih berada di peringkat 6 di ASEAN, dan 111 di dunia dari 189 negara. Jadi Indonesia masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura ranking pertama.   Sebagai bangsa yang besar tentu Indonesia tidak perlu berkecil hati, karena indikator IPM tersebut hanya melihat dari segi lahiriyah semata, belum melihat indikator batiniahnya.   Faktor batiniah memang sulit diukur dengan indikator statistik, karena menyangkut tentang suasana hati dan kualitas moral. Hal ini bisa dimengerti dengan Budi pekerti yang luhur, tata Krama sosial, dan keteguhan dalam menjalankan ibadah.   Karena itu kita harus ingat pesan-pesan para pendiri republik, "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya". Jadi pembangunan sumberdaya manusia harus seimbangan antara jiwa dan raga. Tentu hal ini akan dapat dicapai dengan pendidikan akhlak mulia bersamaan dengan pendidikan sains dan pendidikan vokasi atau keterampilan.   Pada masa musibah pandemi global Covid-19 ini, para pengambil kebijakan dan para pendidik semoga dapat mengambil tindakan yang tepat untuk keberlanjutan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Selain itu, dalam masa anak-anak sekolah sedang belajar di rumah, peran orang tua sangat penting guna menjalankan fungsi pendidik dan sekaligus sahabat bagi anak agar tetap semangat menuntut ilmu dan beribadah. Wallahu a'lam Penulis adalah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/120562/keunggulan-manusia-indonesia

Minggu, 14 Juli 2019

Sabtu, 01 Juni 2019

HUKUM MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA ORANG TUA

PERTANYAAN :

Salam. Bolehkah memberikan zakat [ maal atau fithrah ] untuk kedua orang tua sewaktu keduanya termasuk mustahiq ?

JAWABAN :

Wa'alaikumussalam. Memberikan zakat fitrah ataupun zakat maal kepada kedua orang tua dengan atas nama fakir miskin tidak diperbolehkan. Selama nafaqoh kedua orang tua masih dicukupi oleh anaknya.

Referensi : 1. Al Majmu’ juz 6 hal. 191 – 192 ( Al Maktabah Assalafiyah ), 2. Bughyatul Mustarsyidin hal. 105 – 106 ( Darul Fikr ), 3. At Turmusi juz 4 hal. 102 ( Al Mathba’aah Al ‘Amiroh Asy Syarofiyah )

1. المجموع الجزء السادس ص : 191 – 192 المكتبة السلفية

( فرع ) المكفى بنفقة أبيه أو غيره ممن يلزمه نفقته والفقيرة التى لها زوج غنى ينفق عليها هل يعطيان من سهم الفقراء فيه خلاف منتشر ذكره جماعة منهم إمام الحرمين ولخصه الرافعى فقال هو مبنى على مسألة وهى لو وقف على فقراء أقاربه أوصى لهم فكانا فى أقاربه هل يستحقان سهما فى الوقف والوصية فيه أربعة أوجه ( أصحها ) لا يستحقان قاله الشيخ أبو زيد الخضرى وصححه الشيخ أبو على السنجى وغيره ( والثانى ) يستحقان قاله ابن الحداد ( والثالث ) يستحق القريب دون الزوجة لأنها تستحق عوضا يثبت فى ذمة الزوج ويستقر قاله الأودنى ( والرابع ) عكسه والفرق أن القريب يلزمه كفايته من كل وجه حتى الدواء وأجرة الطبيب فاندفعت حاجاته والزوجة ليس لها إلا مقدر وربما لا يكفيها قال فأما مسألة الزكاة فإن قلنا لا حق لهما فى الوقف والوصية فالزكاة أولى وإلا فوجهان ( الأصح ) يعطيان كالوقف والوصية ( والثانى ) لا وبه قال ابن الحداد والفرق أن الاستحقاق فى الوقف باسم الفقر ولا يزول اسم الفقر بقيام غيره بأمره وفى الزكاة بالحاجة ولا حاجة مع توجه النفقة فأشبه من يكتسب كل يوم كفايته فإنه لا يجوز له الأخذ من الزكاة وإن كان معدودا من الفقراء والخلاف فى القريب إذا أعطاه غير من تلزمه نفقته من سهم الفقراء أو المساكين ويجوز له أن يعطيه من غيرهما بلا خلاف ( وأما ) المنفق فلا يجوز له أن يعطيه من سهم الفقراء والمساكين بلا خلاف لأنه مستغن بنفقته ولأنه يدفع عن نفسه النفقة وله أن يعطيه من سهم العامل والغارم والغازى والمكاتب إذا كان بتلك الصفة وكذا من سهم المؤلفة إلا أن يكون فقيرا فلا يجوز أن يعطيه لئلا يسقط النفقة عن نفسه ويجوز أن يعطيه من سهم ابن السبيل مؤنة السفر دون ما يحتاج إليه سفرا وحضرا لأن هذا القدر هو المستحق عليه بسبب القرابة.

2. بغية المسترشدين ص : 105 - 106 دار الفكر

( مسئلة ى ش ) لا خفاء أن مذهب الشافعى وجوب استيعاب الموجودين من الأصناف فى الزكاة والفطرة ومذهب الثلاثة جواز الاقتصار على صنف واحد وأفتى به ابن عجيل والأصبعى وذهب إليه أكثر المتأخرين لعسر الأمر ويجوز تقليد هؤلاء فى نقلها ودفعها إلى شخص واحد كما أفتى به ابن عجيل وغيره ويجوز دفع الزكاة إلى من تلزمه نفقته من سهم الغارمين بل هم أفضل من غيرهم لا من سهم الفقراء أو المساكين إلا أن لا يكفيهم ما يعطيهم إياه ولو دفع نحو الأب لأولاده زكاته أو فطرته بشرطه فردها الولد له عنها بشرطه أيضا جاز مع الكراهة كما لو ردها له بمعاوضة أو هبة وبرىء الجميع. ( مسئلة ب ك ) يجوز دفع زكاته لولده المكلف بشرطه إذ لا تلزمه نفقته ولا تمامها على الراجح وإن كان فقيرا ذا عيلة وكان ينفق عليه تبرعا بخلاف من لا يستقل بنفسه كصبى وعاجز عن الكسب بمرض أو زمانة أو عمى لوجوب نفقته على الوالد فلا يعطيه المنفق قطعا ولا غيره على الراجح حيث كفته نفقة المنفق وإلا كأكول لم يكفه ما يعطاه فيجوز أخذ ما يحتاج إليه ومثله فى ذلك الزوجة وكالزكاة كل واجب كالكفارة زاد ب نعم إن تعذر أخذها من المنفق بمنع أو إعسار أو غيبة ولم يترك منفقا ولا ما لا يمكن التوصل إليه وعجزت الزوجة عن الاقتراض أعطى كفايته أو تمامها أما إذا لم تطالبه الزوجة بها مع قدرتها على التوصل منه كأن سامحته بلا موجب فلا تعطى لا ستغنائها بها حينئذ ككسوب ترك اللائق به من غير عذر وكناشزة لقدرتها عليها حالا بالطاعة وللزوجة إعطاء زوجها من زكاتها وعكسه بشرطه ويجوز تخصيص نحو قريب بل يسن إذ لا تجب التسوية بين آحاد الصنف بخلافها بين الأصناف. ( مسألة ى ) استأجر شخصا بالنفقة جاز إعطاؤه من زكاته إن كان من أهلها إذ ليس هذا ممن تجب نفقته كالأصول والفروع والزوجة نعم إن أعطاه بقصد التودد أو صلته بها لخدمته أحبط ثوابه وإن أجزأت ظاهرا. اهـ ( قلت ) وقال ابن زياد ولا يجوز إعطاء من يخدمه بالنفقة والكسوة وإن لم يجر عقد إجارة لأنهم مكفيون حينئذ نعم له إعطاؤه من سهم الغارمين بشرطه. اهـ فليحمل كلام ى على ذلك اهـ

3. الترمسى الجزء الرابع ص : 102 المطبعة العامرة الشرفية بمصر المحمية

( وهم الفقير ) والفقير من ليس له زوج ولا أصل ولا فرع تكفيه نفقته ولا مال ولا كسب يقع موقعا من كفايته مطعما وملبسا ومكسبا. ( قوله من ليس له زوج ولا أصل ولا فرع يكفيه نفقته ) أى ليس له واحد من الثلاثة وهو صادق بما إذا لم يوجدوا أصلا أو وجدوا ولكن معهم كفاية من ذكر فالمكفى بنفقة قريب أصل أو فرع أو زوج ليس فقيرا ولا مسكينا أيضا فلا يعطى من سهمهما فى الأصح لأنه غير محتاج كالمكتسب كل يوم قدر كفايته ويفهم من ذلك أن الكلام فى زوج موسر أما معسر لا يكفى كفايتها ولو من الزوج كما استظهره فى التحفة ولا تكلف الزوجة فسخ النكاح كما بحثه القمولى وغيره ويؤخذ من ذلك أيضا أن الغائب زوجها ولا مال له هناك يقدر على التوصل إليه وعجزت عن الاقتراض تأخذ الزكاة وهو متجه وصرح الماوردى بأن المعتدة التى تجب نفقتها كالتى فى العصمة.

4. الترمسى الجزء الرابع ص : 104 - 105 المطبعة العامرة الشرفية بمصر المحمية

وللمكفى بنفقة قريبه الأخذ من باقى السهام إن كان من أهلها حتى ممن تلزمه نفقته ولو لم تكتف الزوجة بنفقة زوجها أعطيت من سهم المساكين يسن لها أن تعطى زوجها المستحق من زكاتها. ( قوله وللمكفى بنفقة قريبه ) أى من أصل أو فرع ومثلهما الزوج كما هو ظاهر ( قوله الأخذ من باقى السهام ) أى غير الفقر والمسكنة فلم يجز الأخذ بهما لاستغنائه بالنفقة اللازمة له كالمكتسب كل يوم قدر كفايته بخلاف المكفى بنفقة متبرع ( قوله إن كان من أهلها ) أى تلك السهام كأن كان غارما أو حاشرا مثلا إذ لا محذور حينئذ قال فى الايعاب وإن كان المفرق هو المالك ولا ينافيه ما يأتى أن المالك إذا فرق سقط سهم العامل لأن الأصح أنه يتولى الصرف إلى المؤن التى تحتاج العامل إلى صرفها مما يأتى فاندفع قول ابن الصباغ أرادوا بقولهم يعطى ولده ووالده من سهم الغانمين إذا كان الدافع هو الإمام ( قوله حتى ممن تلزمه نفقته ) أى حتى يجوز له الأخذ ممن تلزمه نفقته لكن لا يعطيه قريبه الذى تلزمه نفقته وهو فقير بدونها من سهم الؤلفة لأنه يسقط النفقة عن نفسه بذلك ولا ابن السبيل إلا ما زاد بسبب السفر لأن نفقته الواجبة مستحقة عليه سفرا وحضرا ومثل ذلك الزوجة نعم لا تكون المرأة غازية ولا عاملة قال فى الايعاب والحاصل أن المكفى بنفقة قريبه لا يعطيه غير المنفق من سهم الفقراء على الأصح لغناه بل من غيرها بلا خلاف وكذا المنفق إلا أنه لا يعطيه من سهم المؤلفة إن كان فقيرا أو مسكينا وإذا أعطاه هو أو غيره من سهم ابن السبيل أعطاه ما يزيد على نفقة الحضر والركوب والحمولة.

Kesimpulannya : Memberikan zakat fitrah ataupun zakat maal kepada kedua orang tua dengan atas nama fakir miskin tidak diperbolehkan selama nafaqoh kedua orang tua "masih dicukupi "oleh anaknya. Wallohu a'lam.

Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah
laduni.id

Jumat, 31 Mei 2019

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT SEBELUM JATUH WAKTU WAJIBNYA



Di bulan Ramadhan ini Allah Swt melipat gandakan pahala ibadah, kebaikan bernilai luhur dan tinggi, sehingga sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan kebaikan di bulan ini. Zakat adalah salah satu kewajiban bagi umat muslim yang kedudukannya sama seperti sholat. Sering Allah menyebutkan kata sholat kemudian digandeng setelahnya dengan zakat seperti ayat

واقيموا الصلاة و آتوا الزمكاة
“ Dirikanlah sholat dan tunaikan zakat “
Sering kita lihat umat muslim di bulan Ramadhan terutama saat malam terakhirnya, mereka mengeluarkan zakat mal atau zakat harta, mungkin beralasan ingin mendapat nilai lebih menunaikan zakat harta di bulan Ramadan, padahal kita tahu di antara syarat zakat mal adalah mencapai nishob dan haul yaitu sampai satu tahun. Sehingga mereka sebenarnya mengeluarkan zakat terkadang belum jatuh temponya artinya mereka mendahulukan zakat. Nah bagaimana fiqih memandangnya ?

Mendahulkan zakat atau dalam istilah fiqihnya disebut dengan Ta’jilz zakat atau Az-Zakah Al-Mu’ajjal, misalnya si Fulan memulai bisnis perdagangannya sejak bulan Juni kemudian bulan Agustus sudh masuk bulan Ramadhan, seharusnya Fulan mengeluarkan zakatnya di bulan Mei genap setahun, berhubung Agustus bulan Ramadhan maka si Fulan mngeluarkan zakat malnya di bulan agustus.

Ta’jiluz zakah dalam fiqih diperbolehkan asal memenuhi beberapa syarat berikut :

  1. Harus sampai nishob kecuali zakat tijarah
  2. Tetapnya si pemilik zakat atas syarat-syarat wajibnya zakat, maka jika sipemilik zakat wafat sebelum genap setahun, atau menjadi faqir sbelum genap setahun, maka zakatnya tidak sah.
  3. Tetapnya sifat-sifat penerima (mustahiq) pada waktu wajib mengeluarkan zakat (saat sempurna haul/genap setahun). Maka jika si penerima zakat menjadi kaya bukan dengan harta zakat di akhir tahun (genap khol), atau murtad atau meninggal, maka zakatnhya tidak sah dan jatuhnhya jadi sedekah sunnah.

Berbeda dengan pendapat Imam Abi Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan tetap sah walaupun tidak bersifat mustahiq lagi.

Catatan : tidak sahnya zakat mu’ajjal tersebut menurut pendapat madzhab Syafi’i, jika perubahan sifat-sifat penerima zakat diketahui dengan yakin. Namun jika meragukan apakah penerima zakat masih hidup atau sudah mati, menjadi kaya atau tetap miskin dimasa haul, maka zakatnya tetap sah. Wallohu a'lam. (Ibnu Abdillah Al-Katibiy).

Sumber :
- Kitab Tuhfah Al-Muhtaj juz 13 halaman : 113
- Asy-Syarh Al-Kabir juz 2 halaman 687
- At-Taqrirat As-Sadidah halaman : 421-422

dilansir dari laduni.id

HUKUM MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA GURU NGAJI DAN ANAK YATIM



PERTANYAAN :

Di daerah saya petani kalau ngasih zakat kok sama tokoh masyarakat yang dianggp pintar di bidang agama. bukannya yang berhak menerima zakat adalah anak yatim dan fakir miskin. Anehya anak yatim / fakir miskin tersebut tdak pernah mendapat jatah zakat tersebut. Silahkan tadz diterangaken.

JAWABAN :

MEMBERIKAN ZAKAT PADA KYAI / GURU NGAJI ITU TIDAK BOLEH, karena mereka bukan termasuk golongan delapan walaupun sabiilillah sebab yang dimaksud dengan sabilillah adalah orang-orang yang perang dengan cuma-cuma demi agama Allah, namun demikian terdapat pendapat mereka juga termasuk sabiilillah.

والسابع سبيل الله تعالى وهو غاز ذكر متطوع بالجهاد فيعطى ولو غنيا إعانة له على الغزو اهل سبيل الله الغزاة المتطوعون بالجهاد وان كانوا اغنياء ويدخل في ذلك طلبة العلم الشرعي ورواد الحق وطلاب العدل ومقيموا الانصاف والوعظ والارشاد وناصر الدين الحنيف

Yang ke tujuh SABILILLAAH Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan Cuma-Cuma demi agama Allah, maka ia diberi meskipun ia kaya raya sebagai bantuan untuk biaya perangnya. “SABIILILLAH” Ialah lelaki pejuang yang berperang dengan Cuma-Cuma demi agama Allah meskipun ia kaya raya. Dan masuk dalam kategori sabiilillah adalah para pencari ilmu syar’i, pembela kebenaran, pencari keadilan, penegak kebenaran, penasehat, pengajar, penyebar agama yang lurus. [ al-Jawaahir al-Bukhaari, Iqna Li Assyarbiiny I/230 ].
MEMBERIKAN ZAKAT PADA YATIM PIATU ITU BOLEH DAN SAH 

Menerimakan zakat pada yatim piatu apabila mereka memang termasuk salah satu delapan orang yang berhak menerima zakat seperti keberadaan mereka memang fakir miskin dan tidak keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib menurut pendapat yang shahih

( فرع ) الصغير إذا لم يكن له من ينفق عليه فقيل لا يعطى لاستغنائه بمال اليتامى من الغنيمة والأصح أنه يعطي فيدفع إلى قيمة لأنه قد لا يكون في نفقته غيره ولا يستحق سهم اليتامى لأن أباه فقير قلت أمر الغنيمة في زماننا هذا قد تعطل في بعض النواحي لجور الحكام فينبغي القطع بجواز إعطاء اليتيم إلا أن يكون شريفا فلا يعطى وإن منع من خمس الخمس على الصحيح والله أعلم

[ CABANG BAHASAN ] Anak yatim yang masih kecil jika memang tidak ada orang yang menafkahinya maka sebagian pendapat menyatakan bahwa anak tersebut tidak boleh diberi zakat karena ia sudah cukup mendapatkan bagian dari ghanimah (harta rampasan), menurut pendapat yang lebih shahih bahwa anak tersebut boleh diberi zakat dan disalurkan pada pembinanya. Menurutku, perihal ghanimah pada masa sekarang ini sudah tidak ada disebagian daerah karena kebobrokan para penguasanya karenanya diputuskan kebolehan memberikan zakat kepada anak yatim tersebut kecuali bila ia termasuk kalangan bani hasyim maka ia juga tidak boleh diberi meskipun ia juga terhalang menerima bagian dari khumus menurut pendapat yang shahih. [ Kifaayah al-Akhyaar I/191  ]. Wallaahu A'lamu Bis Showaab.

Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah 
- laduni.id

Ad Placement