PENYAMBUNG WARTA: Opini
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Juni 2020

Mencegah Degradasi Pancasila

SETELAH menuai protes dari pelbagai kalangan, pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang diusulkan DPR akhirnya ditunda pembahasannya olehpemerint. Sikap tegas pemerintah tersebut sudah benar. Seperti Editorial Media Indonesia (17/6) 'Demi Eksistensi Pancasila', pembahasan tersebut tidak tepat momen dan urgensi. Penyederhanaan Pancasila menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketahuhanan yang berkebudayaan (Pasal 7, ayat 2), yang kemudian diekstraksi lagi menjadi gotong royong (Pasal 7 ayat 3) dianggap potensial mendemistifikasi Pancasila sebagai pandangan hidup integral bangsa. Kata "ketuhanan berkebudayaan" juga terkesan rancu, seolah-olah mendiskualifi kasi esensi ketuhanan sebagai identitas religiositas masyarakat. Selain itu, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dalam materi RUU HIP itu juga bisa dianggap sebagai sikap anakronistis dalam kaitannya dengan menjaga dan melestarikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi penuntun perjalanan hidup bangsa ini. Padahal Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan telah menegaskan bahwa Pancasila merupakan ideologi fi nal. Penegasan ini menjadi 'iman' membangun konstruksi berbangsa dan bernegara di tengah berbagai upaya untuk mendegradasi fondasi konstitusionalitas kita. Berbagai aksi yang berintensi menggantikan Pancasila merupakan tantangan yang harus disikapi dengan tegas oleh seluruh elemen bangsa (pemimpin, para elite tokoh kunci, hingga masyarakat). Dan ini lebih urgen untuk dijadikan sebagai orientasi pemraktikkan nilai Pancasila ke depan ketimbang berdebat soal struktur makna Pancasila tersebut. Keteguhan profetik Sekurang-kurangnya ada tiga hal mendesak yang perlu dimaknai dalam meneguhkan nilai-nilai fundamen Pancasila dalam penghayatan dan pengamalannya. Pertama, keteguhan profetik seluruh elemen bangsa memperjuangkan kebenaran dan dasar bernegara Indonesia. Pancasila merupakan nilai dasar yang perlu terus dipertahankan dan dirayakan pencarian intisarinya oleh setiap manusia untuk membebaskannya dari penafsiran parsial dalam menciptakan relasi antarwarga yang humanis, berbasis pada kebajikan sosial. Di zaman Niccolo Machiavelli (1469-1527) misalnya, kekuasaan dianggap sebagai centre of universe dari keseluruhan prosedur tatanan kenegaraan. Nilai-nilai tersebut juga yang kemudian diwariskan rezim Orde Baru yang menyebabkan kekuasaan mengokupasi Pancasila. Pancasila tak lebih sebagai candu moral dalam berbagai aktivitas penataran, kuliah, dan seminar. Selama itu, kekuasaanlah yang memegang kendali bagaimana 'moralitas' nilai Pancasila ditegakkan dan dikenakan sebagai ikat pinggang dalam bernegara. Itu karena kekuasaan dianggap sebagai sumber legitimasi kebenaran yang absolut. Padahal, kekuasaan bukanlah representasi absolut dari kebenaran, bahkan Lord Acton mengatakan, power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely, bahwa kekuasaan yang tak terbatas akan melahirkan tabiat korupsi (perilaku menyimpang) tak terbatas pula. Karena itu, kekuasaan harus dibatasi pengendalian diri berdasarkan prinsip-prinsip inklusifitas, solidaritas, empati, dan kerja sama yang dipedagogi peranti sakral Pancasila. Maka mendefinisikan kebenaran dalam perspektif kekuasaan yang demokratis hanya dapat dimungkinkan sejauh nilainilai perbedaan dapat didialogkan secara setara, tanpa terjadi dikotomisasi yang menegasi pelaksanaan hakhak menjalankan prinsip keyakinan antarsesama sebagaimana spirit dari suatu bangsa yang pancasilais.

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/321683-mencegah-degradasi-pancasila
Di sinilah ruang demokrasi yang subtil terbangun, tatkala kekuasaan (negara) misalnya, mampu melegitimasi dan memberikan ruang toleransi bagi setiap pemeluk agama beribadah. Termasuk, melakukan pencerahan religi di dalam interaksi kehidupan berbangsa, dan menghindari intimidasi terhadap ekspresi keagamaan. Di tengah ancaman memudarnya toleransi dan kesetiakawanan sosial yang mendera bangsa, negara (baca: pemerintah sebagai wakil Tuhan di dunia) sudah saatnya hadir secara tegas untuk menyelamatkan hakhak rakyat dari berbagai pelecehan minoritas sehingga tidak direnggut sisi gelap demokrasi (Man, 2005). Jika mau jujur, media sosial kita hari-hari ini paling 'berisik', yang menyumbang banyak polusi stigma, prasangka, kebencian, sebagai bagian dari politik identitas atau komunal, ketimbang menyumbang inspirasi nilainilai kedamaian, kerukunan, dan persatuan. Paradoks yang sejatinya dibibiti spirit meminjam Herbert Marcuse one dimensional man, manusia yang berorientasi pada 'politik' semata. Semua urusan selalu dihubungkan dengan politik yang selalu dikaitkaitkan dengan agama. Kedua, para elite harus membangkitkan optimisme kesadaran refl ektif terhadap rakyat, untuk mendasarkan orientasi politik kekuasaan melampaui parokialitas, tetapi jauh mencapai tujuan-tujuan peradaban luhur yang menjamin pemenuhan kepentingan kolektif dan kesejahteraan bersama. Sikap ini, termasuk tidak memberi ruang bagi praktik korupsi yang telah merenggut impian rakyat untuk menikmati distribusi kemakmuran secara adil. Berkaca dari perilaku korupsi yang masif saat ini, tak bisa dipungkiri lagi bahwa bangsa ini sedang terancam virus post modernisme yang menurut profesor sastra Amerika, Frederic Jameson, (dalam Anderson, 2008) ditandai superfi sialitas (kedangkalan), kemunafi kan, hilangnya historisitas, dan emosi yang labil. Itu pula yang terlihat dari perilaku para elite politik yang makin enigmatis dengan memilih memperjuangkan libido kepentingan diri/kelompoknya ketimbang menyuarakan secara sungguh-sungguh persoalan dan penderitaan rakyat. Budaya inklusif Ketiga, pentingnya peran pemerintah menularkan budaya dialog inklusif di antara pemuka agama, akademisi, kaum cendekiawan, LSM, tokoh masyarakat. Kita memerlukan sebuah panduan kolektif terutama dari para pemuka, masyarakat, soal bagaimana menempatkan wilayah agama sebagai ruang netral, dengan tidak mengontaminasi politik dengan panji-panji rasialisme, dll. Ketimbang membahas HIP, elite-elite politik di DPR seharusnya lebih fokus mendialogkan secara intens dan tulus dengan rakyat bagaimana mewujudkan sistem dan mekanisme politik yang demokratis dan menjamin lahirnya wakil rakyat dan pemimpin Indonesia yang berintegritas, berempati dengan dengan rakyat. Termasuk, elite yang bervisi integrator, menyatukan berbagai perbedaan identitas di masyarakat dalam satu payung sakral, Pancasila. Segala rekayasa politik dan pemaksaan kehendak, yang mengabaikan diskursus publik justru menahan laju bangsa ini "naik level" menjadi negara berdaulat. Sebagaimana lirik lagu Darrion, 'To fi ght for the right, without question or pause. To be willing to march into hell, for a heavenly cause' (Joe Darion dalam Man of La Mancha, 1972). Kita berdoa, semoga elite pemimpin bersama rakyat tak jemu-jemu berjuang membumikan makna Pancasila. Bahkan, rela masuk 'api penyucian', menanggung dan berjibaku melawan ancaman dan tantangan menegakkan kebinekaan dari virus-virus pemecah belah kebangsaan. Amoralitas kekuasaan, pada akhirnya merengkuh surga (kekuasaan): keadilan, kebahagiaan dan ke sejahteraan bersama.

Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/321683-mencegah-degradasi-pancasila

Sumber: MediaIndonesia

Sabtu, 06 Juni 2020

Keunggulan Manusia Indonesia


Tahun 70-an atau 80-an, anak-anak sekolah Indonesia fasih menghafalkan pelajaran pendidikan moral Pancasila. Salah satunya adalah tentang hakikat pembangunan nasional, yakni pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hasilnya lumayan bagus, anak-anak sekolah waktu itu yang memiliki prestasi mendapatkan beasiswa studi lanjut. Bagi siswa yang tidak mendapatkan beasiswa juga dapat berperan sesuai kemampuannya.   Sekarang juga banyak yang mendapat beasiswa studi lanjut, namun ukurannya masih bersifat tes potensi akademik dan penguasaan bahasa. Sementara aspek integritas kepribadian kurang mendapat perhatian yang seimbang. Akibatnya kepedulian terhadap sesama masih kurang.   Sekarang ini kualitas manusia Indonesia diukur dari indeks pembangunan manusia (IPM). Setidaknya ada tiga alasan mengapa IPM ini dipandang penting.   Pertama, banyak negara berkembang yang mencapai pertumbuhan ekonomi, namun gagal dalam mengurangi kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan. Kedua, banyak negara maju dengan pendapatan tinggi namun tidak berhasil dalam menangani persoalan sosial, seperti narkoba, HIV/AIDS, alkohol, tunawisma, dan tindakan kekerasan. Ketiga, beberapa negara berpenghasilan rendah namun dapat mencapai tingkat perkembangan manusia yang tinggi, karena kebijakan publik yang bijaksana.   Padahal pembangunan memiliki tiga nilai, yakni kesanggupan memenuhi kebutuhan dasar, mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian, dan memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup.   Namun persoalannya adalah apakah hakikat pembangunan nasional untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya telah dicapai? Kalau memang sudah tercapai mengapa IPM Indonesia masih memprihatinkan?   Kita lihat data BPS, IPM menggambarkan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan lainnya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak.   Karena itu IPM merupakan indikator yang dinilai penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. Empat indikator yang dinilai, yaitu usia harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran perkapita. Dari keempat indikator ini pembangunan manusia di Indonesia memang terus mengalami kemajuan.   Pada tahun 2019, IPM Indonesia mencapai 71,92. Angka ini meningkat sebesar 0,53 poin atau tumbuh sebesar 0,74 persen dibandingkan tahun 2018.   Namun versi UNDP (United Nations Development Programme), tahun 2019, IPM Indonesia masih berada di peringkat 6 di ASEAN, dan 111 di dunia dari 189 negara. Jadi Indonesia masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura ranking pertama.   Sebagai bangsa yang besar tentu Indonesia tidak perlu berkecil hati, karena indikator IPM tersebut hanya melihat dari segi lahiriyah semata, belum melihat indikator batiniahnya.   Faktor batiniah memang sulit diukur dengan indikator statistik, karena menyangkut tentang suasana hati dan kualitas moral. Hal ini bisa dimengerti dengan Budi pekerti yang luhur, tata Krama sosial, dan keteguhan dalam menjalankan ibadah.   Karena itu kita harus ingat pesan-pesan para pendiri republik, "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya". Jadi pembangunan sumberdaya manusia harus seimbangan antara jiwa dan raga. Tentu hal ini akan dapat dicapai dengan pendidikan akhlak mulia bersamaan dengan pendidikan sains dan pendidikan vokasi atau keterampilan.   Pada masa musibah pandemi global Covid-19 ini, para pengambil kebijakan dan para pendidik semoga dapat mengambil tindakan yang tepat untuk keberlanjutan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Selain itu, dalam masa anak-anak sekolah sedang belajar di rumah, peran orang tua sangat penting guna menjalankan fungsi pendidik dan sekaligus sahabat bagi anak agar tetap semangat menuntut ilmu dan beribadah. Wallahu a'lam Penulis adalah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/120562/keunggulan-manusia-indonesia

Ad Placement